Hukum Puasa Di Bulan Rajab
Bulan ini kita telah memasuki dalam bulan Rajab. Tidak sedikit kaum Muslimin di Indonesia, yang mentradisikan puasa Sunnah ketika memasuk...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/05/hukum-puasa-di-bulan-rajab.html
Bulan ini kita
telah memasuki dalam bulan Rajab. Tidak sedikit kaum Muslimin di Indonesia,
yang mentradisikan puasa Sunnah ketika memasuki bulan-bulan mulia seperti bulan
Rajab. Persoalannya, setelah merebaknya aliran Salafi-Wahabi di Indonesia,
beragam tradisi ibadah dan keagamaan yang telah berlangsung sejak masuknya
Islam ke Nusantara, seperti puasa Sunnah di bulan Rajab selalu dipersoalkan
oleh mereka dengan alasan bid’ah, haditsnya palsu dan alasan-alasan lainnya.
Seakan-akan mereka ingin menghalangi umat Islam dari mendekatkan diri kepada
Allah SWT dengan beribadah puasa. Oleh karena itu tulisan ini, berupaya
menjernihkan hukum puasa Rajab berdasarkan pandangan para ulama yang
otoritatif.
Hukum
Puasa Rajab
Para ulama
berbeda pendapat tentang hukum puasa Rajab.
Pertama,
mayoritas ulama dari kalangan Madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i berpendapat
bahwa puasa Rajab hukumnya Sunnah selama 30 hari. Pendapat ini juga menjadi
qaul dalam madzhab Hanbali.
Kedua,
para ulama madzhab Hanbali berpendapat bahwa berpuasa Rajab secara penuh (30
hari) hukumnya makruh apabila tidak disertai dengan puasa pada bulan-bulan yang
lainnya. Kemakruhan ini akan menjadi hilang apabila tidak berpuasa dalam satu
atau dua hari dalam bulan Rajab tersebut, atau dengan berpuasa pada bulan yang
lain. Para ulama madzhab Hanbali juga berbeda pendapat tentang menentukan
bulan-bulan haram dengan puasa. Mayoritas mereka menghukumi sunnah, sementara
sebagian lainnya tidak menjelaskan kesunnahannya.
Berikut
pernyataan para ulama madzhab empat tentang puasa Rajab.
Madzhab
Hanafi
Dalam al-Fatawa
al-Hindiyyah (1/202) disebutkan:
في الفتاوي الهندية
1/202 : ( المرغوبات من الصيام أنواع ) أولها صوم المحرم والثاني صوم رجب والثالث
صوم شعبان وصوم عاشوراء ) اه
“Macam-macam
puasa yang disunnahkan adalah banyak macamnya. Pertama, puasa bulan Muharram,
kedua puasa bulan Rajab, ketiga, puasa bulan Sya’ban dan hari Asyura.”
Madzhab
Maliki
Dalam kitab Syarh
al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/241), ketika menjelaskan puasa yang
disunnahkan, al-Kharsyi berkata:
(والمحرم ورجب وشعبان ) يعني : أنه يستحب صوم شهر المحرم وهو أول الشهور الحرم , ورجب وهو الشهر الفرد
عن الأشهر الحرم ) اه وفي الحاشية عليه : ( قوله : ورجب ) , بل يندب صوم بقية
الحرم الأربعة وأفضلها المحرم فرجب فذو القعدة فالحجة) اه
“Muharram,
Rajab dan Sya’ban. Yakni, disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram – bulan
haram pertama -, dan Rajab – bulan haram yang menyendiri.” Dalam catatan
pinggirnya: “Maksud perkataan pengaram, bulan Rajab, bahkan disunnahkan berpuasa
pada semua bulan-bulan haram yang empat, yang paling utama bulan Muharram, lalu
Rajab, lalu Dzul Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.”
Pernyataan
serupa bisa dilihat pula dalam kitab al-Fawakih al-Dawani (2/272), Kifayah
al-Thalib al-Rabbani (2/407), Syarh al-Dardir ‘ala Khalil (1/513)
dan al-Taj wa al-Iklil (3/220).
Madzhab
Syafi’i
Imam al-Nawawi
berkata dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/439),
قال الإمام النووي في
المجموع 6/439 : ( قال أصحابنا : ومن الصوم المستحب صوم الأشهر الحرم , وهي ذو
القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب , وأفضلها المحرم , قال الروياني في البحر : أفضلها رجب , وهذا غلط ; لحديث أبي هريرة الذي
سنذكره إن شاء الله تعالى { أفضل الصوم بعد رمضان شهر الله المحرم ) اه
“Teman-teman
kami (para ulama madzhab Syafi’i) berkata: “Di antara puasa yang disunnahkan
adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan
Rajab, dan yang paling utama adalah Muharram. Al-Ruyani berkata dalam al-Bahr:
“Yang paling utama adalah bulan Rajab”. Pendapat al-Ruyani ini keliru, karena
hadits Abu Hurairah yang akan kami sebutkan berikut ini insya Allah (“Puasa
yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan Muharram.”)”.
Pernyataan
serupa dapat dilihat pula dalam Asna al-Mathalib (1/433), Fatawa
al-Kubra al-Fiqhiyyah (2/53), Mughni al-Muhtaj (2/187), Nihayah
al-Muhtaj (3/211) dan lain-lain.
Madzhab
Hanbali
Ibnu Qudamah
al-Maqdisi berkata dalam kitab al-Mughni (3/53):
قال ابن قدامة في
المغني 3/53 :( فصل : ويكره إفراد رجب بالصوم . قال أحمد : وإن صامه رجل , أفطر فيه يوما أو أياما , بقدر ما لا يصومه كله ... قال
أحمد
: من كان يصوم السنة صامه , وإلا فلا يصومه متواليا ,
يفطر فيه ولا يشبهه برمضان ) اهـ
“Pasal.
Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah puasa. Ahmad bin Hanbal
berkata: “Apabila seseorang berpuasa Rajab, maka berbukalah dalam satu hari
atau beberapa hari, sekiranya tidak berpuasa penuh satu bulan.” Ahmad bin
Hanbal juga berkata: “Orang yang berpuasa satu tahun penuh, maka berpuasalah
pula di bulan Rajab. Kalau tidak berpuasa penuh, maka janganlah berpuasa Rajab
terus menerus, ia berbuka di dalamnya dan jangan menyerupakannya dengan bulan
Ramadhan.”
Ibnu Muflih
berkata dalam kitab al-Furu’ (3/118):
وفي الفروع لابن مفلح
3/118 : ( فصل : يكره إفراد رجب بالصوم نقل حنبل : يكره , ورواه عن عمر وابنه وأبي
بكرة , قال أحمد : يروى فيه عن عمر أنه كان يضرب على صومه , وابن عباس قال : يصومه
إلا يوما أو أياما ... وتزول الكراهة بالفطر أو بصوم شهر آخر
من السنة , قال صاحب المحرر : وإن لم يله .
“Pasal.
Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa. Hanbal mengutip: “Makruh,
dan meriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar dan Abu Bakrah.” Ahmad berkata: “Memuku
seseorang karena berpuasa Rajab”. Ibnu Abbas berkata: “Sunnah berpuasa Rajab,
kecuali satu hari atau beberapa hari yang tidak berpuasa.” Kemakruhan puasa
Rajab bisa hilang dengan berbuka (satu hari atau beberapa hari), atau dengan
berpuasa pada bulan yang lain dalam tahun yang sama. Pengarang al-Muharrar
berkata: “Meskipun bulan tersebut tidak bergandengan.”
DALIL
PUASA RAJAB
Dalil
Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama
yang berpandangan bahwa puasa Rajab hukumnya sunnah sebulan penuh, berdalil
dengan beberapa banyak hadits dan atsar. Dalil-dalil tersebut dapat
diklasifikasi menjadi tiga:
Pertama,
hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan puasa sunnah secara mutlak. Dalam
konteks ini, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam al-Fatawa al-Kubra
al-Fiqhiyyah (2/53) dan fatwa beliau mengutip dari fatwa al-Imam Izzuddin
bin Abdussalam (hal. 119):
قال ابن حجر كما في
الفتاوى الفقهية الكبرى 2/53 :( ويوافقه إفتاء العز بن عبد السلام فإنه سئل عما
نقل عن بعض المحدثين من منع صوم رجب وتعظيم حرمته وهل يصح نذر صوم جميعه فقال في
جوابه :نذر صومه صحيح لازم يتقرب إلى الله تعالى بمثله والذي نهى عن صومه جاهل
بمأخذ أحكام الشرع وكيف يكون منهيا عنه مع أن العلماء الذين دونوا الشريعة لم يذكر
أحد منهم اندراجه فيما يكره صومه بل يكون صومه قربة إلى الله تعالى لما جاء في
الأحاديث الصحيحة من الترغيب في الصوم مثل : قوله صلى الله عليه وسلم
{ يقول الله كل عمل ابن آدم له إلا الصوم } وقوله صلى الله عليه وسلم { لخلوف فم
الصائم أطيب عند الله من ريح المسك } وقوله { إن أفضل الصيام صيام أخي
داود كان يصوم يوما ويفطر يوما } وكان داود يصوم من غير تقييد بما عدا رجبا من
الشهور ) اهـ
“Ibnu Hajar,
(dan sebelumnya Imam Izzuddin bin Abdissalam ditanya pula), tentang riwayat
dari sebagian ahli hadits yang melarang puasa Rajab dan mengagungkan
kemuliaannya, dan apakah berpuasa satu bulan penuh di bulan Rajab sah? Beliau
berkata dalam jawabannya: “Nadzar puasa Rajab hukumnya sah dan wajib, dan dapat
mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukannya. Orang yang melarang puasa
Rajab adalah orang bodoh dengan pengambilan hukum-hukum syara’. Bagaimana
mungkin puasa Rajab dilarang, sedangkan para ulama yang membukukan syariat,
tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan masuknya bulan Rajab dalam bulan
yang makruh dipuasai. Bahkan berpuasa Rajab termasuk qurbah (ibadah sunnah yang
dapat mendekatkan) kepada Allah, karena apa yang datang dalam hadits-hadits
shahih yang menganjurkan berpuasa seperti sabda Nabi SAW: “Allah berfirman,
semua amal ibadah anak Adam akan kembali kepadanya kecuali puasa”, dan sabda
Nabi SAW: “Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menurut Allah
dari pada minyak kasturi”, dan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya puasa yang paling
utama adalah puasa saudaraku Dawud. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.”
Nabi Dawud AS berpuasa tanpa dibatasi oleh bulan misalnya selain bula Rajab.”
Al-Syaukani
berkata dalam Nail al-Authar (4/291):
وقال الشوكاني في نيل
الأوطار 4/291 : ( وقد ورد ما يدل على مشروعية صومه على العموم والخصوص : أما
العموم : فالأحاديث الواردة في الترغيب في صوم الأشهر الحرم وهو منها بالإجماع .
وكذلك الأحاديث الواردة في مشروعية مطلق الصوم) اهـ
“Telah
datang dalil yang menunjukkan pada disyariatkannya puasa Rajab, secara umum dan
khusus. Adapun hadits yang bersifat umum, adalah hadits-hadits yang datang
menganjurkan puasa pada bulan-bulan haram. Sedangkan Rajab termasuk bulan haram
berdasarkan ijma’ ulama. Demikian pula hadits-hadits yang datang tentang
disyariatkannya puasa sunnat secara mutlak.”
Kedua,
hadits-hadits yang menganjurkan puasa bulan-bulan haram, antara lain hadits
Mujibah al-Bahiliyah. Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam al-Sunan
(2/322) sebagai berikut ini:
عن مجيبة الباهلية عن
أبيها أو عمها أنه : أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم
انطلق فأتاه بعد سنة وقد تغيرت حالته وهيئته فقال يا رسول الله أما تعرفني قال ومن
أنت قال أنا الباهلي الذي جئتك عام الأول قال فما غيرك وقد كنت حسن الهيئة قال ما
أكلت طعاما إلا بليل منذ فارقتك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لم عذبت نفسك
ثم قال صم شهر الصبر ويوما من كل شهر قال زدني فإن بي قوة قال صم يومين قال زدني قال
صم ثلاثة أيام قال زدني قال صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك صم من الحرم
واترك وقال بأصابعه الثلاثة فضمها ثم أرسلها
Dari Mujibah
al-Bahiliyah, dari ayah atau pamannya, bahwa ia mendatangi Rasulullah SAW
kemudian pergi. Lalu datang lagi pada tahun berikutnya, sedangkan kondisi
fisiknya telah berubah. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau masih
mengenalku?” Beliau bertanya: “Kamu siapa?” Ia menjawab: “Aku dari suku Bahili,
yang datang tahun sebelumnya.” Nabi SAW bertanya: “Kondisi fisik mu kok
berubah, dulu fisikmu bagus sekali?” Ia menjawab: “Aku tidak makan kecuali
malam hari sejak meninggalkanmu.” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Mengapa kamu
menyiksa diri?” Lalu berliau bersabda: “Berpuasalah di bulan Ramadhan dan satu hari
dalam setiap bulan.” Ia menjawab: “Tambahlah kepadaku, karena aku masih mampu.”
Beliau menjawab: “Berpuasalah dua hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah,
aku masih kuat.” Nabi SAW menjawab: “Berpuasalah tiga hari dalam sebulan.” Ia
berkata: “Tambahlah.” Nabi SAW menjawab: “Berpuasalah di bulan haram dan
tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di
bulan haram dan tinggalkanlah.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Mengomentari
hadits tersebut, Imam al-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
(6/439): “Nabi SAW menyuruh laki-laki tersebut berpuasa sebagian dalam
bulan-bulan haram tersebut dan meninggalkan puasa di sebagian yang lain, karena
berpuasa bagi laki-laki Bahili tersebut memberatkan fisiknya. Adapuan bagi
orang yang tidak memberatkan, maka berpuasa satu bulan penuh di bulan-bulan
haram adalah keutamaan.” Komentar yang sama juga dikemukakan oleh Syaikhul
Islam Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib (1/433) dan Ibnu
Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).
Ketiga,
hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab secara khusus.
Hadits-hadits tersebut meskipun derajatnya dha’if, akan tetapi masih diamalkan
dalam bab fadhail al-a’mal, seperti ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam
Fatawa-nya (2/53).
Di antara hadits
yang menjelaskan keutamaan puasa Rajab secara khusus adalah hadits Usamah bin
Zaid berikut ini:
في سنن النسائي 4/201
: ( عن أسامة بن زيد قال قلت : يا رسول الله لم أرك تصوم
شهرا من الشهور ما تصوم من شعبان قال ذلك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان ) اه
“Dalam Sunan
al-Nasa’i (4/201): Dari Usamah bin Zaid, berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak
melihatmu berpuasa dalam bulan-bulan yang ada seperti engkau berpuasa pada
bulan Sya’ban?” Beliau menjawab: “Bulan Sya’ban itu bulan yang dilupakan oleh
manusia antara Rajab dan Ramadhan.”
Mengomentari
hadits tersebut, Imam al-Syaukani berkata dalam kitabnya Nail al-Authar
(4/291): “Hadits Usamah di atas, jelasnya menunjukkan disunnahkannya puasa
Rajab. Karena yang tampak dari hadits tersebut, kaum Muslimin pada masa Nabi
SAW melalaikan untuk mengagungkan bulan Sya’ban dengan berpuasa, sebagaimana
mereka mengagungkan Ramadhan dan Rajab dengan berpuasa.”
Keempat,
atsar dari ulama salaf yang saleh. Terdapat beberapa riwayat yang menyatakan
bahwa beberapa ulama salaf yang saleh menunaikan ibadah puasa Rajab, seperti
Hasan al-Bashri, Abdullah bin Umar dan lain-lain. Hal ini bisa dilihat dalam
kitab-kitab hadits seperti Mushannaf Ibn Abi Syaibah dan lain-lain.
Dalil
Madzhab Hanbali
Sebagaimana
dimaklumi, madzhab Hanbali berpendapat bahwa mengkhususkan puasa Rajab secara
penuh dengan ibadah puasa adalah makruh. Akan tetapi kemakruhan puasa Rajab ini
bisa hilang dengan dua cara, pertama, meninggalkan sehari atau lebih dalam
bulan Rajab tanpa puasa. Dan kedua, berpuasa di bulan-bulan di luar Rajab,
walaupun bulan tersebut tidak berdampingan dengan bulan Rajab.
Para ulama yang
bermadzhab Hanbali, memakruhkan berpuasa Rajab secara penuh dan secara khusus,
didasarkan pada beberapa hadits, antara lain:
Hadits dari Zaid
bin Aslam, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Rajab, lalu beliau
menjawab: “Di mana kalian dari bulan Sya’ban?” (HR. Ibnu Abi Syaibah [2/513]
dan Abdurrazzaq [4/292]. Tetapi hadits ini mursal, alias dha’if).
Hadits Usamah
bin Zaid. Ia selalu berpuasa di bulan-bulan haram. Lalu Rasulullah SAW bersabda
kepadanya: “Berpuasalah di bulan Syawal.” Lalu Usamah meninggalkan puasa di
bulan-bulan haram, dan hanya berpuasa di bulan Syawal sampai meninggal dunia.”
(HR. Ibn Majah [1/555], tetapi hadits ini dha’if. Hadits ini juga dinilai
dha’if oleh Syaikh al-Albani.).
Hadits dari Ibnu
Abbas, bahwa Nabi SAW melarang puasa Rajab. (HR. Ibn Majah [1/554], tetapi
hadits ini dinilai dha’if oleh Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa
al-Kubra [2/479], dan lain-lain).
Madzhab Hanbali
juga berdalil dengan beberapa atsar dari sebagian sahabat, seperti atsar bahwa
Umar pernah memukul orang karena berpuasa Rajab, atsar dari Anas bin Malik dan
lain-lain. Tetapi atsar ini masih ditentang dengan atsar-atsar lain dari para
sahabat yang justru melakukan puasa Rajab. Disamping itu, dalil-dalil para
ulama yang menganjurkan puasa Rajab jauh lebih kuat dan lebih shahih
sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.
Demikian catatan
sederhana tentang hukum puasa Rajab. Wallahul muwaffiq.
Ditulis Oleh : Oleh Ustadz Muhammad Idrus Ramli (Ketua LTNNU Kencong)
Sumber: http://solusinahdliyin.net