Puasa Bagi Wanita Hamil dan Menyusui
Para ulama sepakat bahwa wanita hamil dan menyusui diperbolehkan berhenti berpuasa (ifthar) pada bulan ramadlan, dengan syarat khawatir ak...
"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain". (QS. Al-Baqarah: 184)
"Sesungguhnya Allah meletakkan hukum wajib puasa dan shalat (secara sempurna) bagi musafir. Allah juga meletakkan hukum wajib puasa bagi wanita hamil dan menyusui".
Dalam hadits lafadz al-Hamil dan al-murdli' adalah lafadz muthlaq (tidak spesifik [muqayyad]), sehingga memasukkan semua hamil walaupun dari hasil hubungan yang diharamkan (zina [na'udzubillah]), menyusui anaknya sendiri atau bukan, di dalam bulan ramadlan atau tidak.
Jika wanita hamil atau menyusui melakukan ifthar, karena khawatir akan berdampak negatif pada dirinya saja atau dirinya juga anaknya, dikemudian hari sesudah ramadlan ia wajib menggantinya (qadla) tanpa membayar kafarah (fidyah).
Namun jika ia melakukan ifthar hanya karena khawatir akan kesehatan bayi yang dikandung atau anak yang disusui, maka disamping wajib qadla' ia juga wajib membayar fidyah berupa satu mud (6 ons) makanan pokok yang biasa dikonsumsi di daerahnya (seperti beras) untuk setiap harinya. Satu mud beras tersebut diberikan hanya kepada fakir atau miskin, bukan ashnaf lain seperti dalam masalah golongan yang berhak menerima zakat (ashnaf zakat). Satu mud untuk satu orang. Allah berfirman :
"dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin". (QS. Al-Baqarah: 184)
Menurut Imam Al-Qaffal dalam kitab Fatawanya, kewajiban membayar fidyah ini dilakukan jika yang bersangkutan mempunyai simpanan makanan pokok melebihi kebutuhan makan untuk dirinya. Namun, kewajiban ini tetap berlaku hingga ia mampu walaupun melewati beberapa tahun.
Orang yang tidak segera melakukan qadla puasa ramadlan hingga tiba ramadlan berikutnya, wajib mengganti keterlambatan tersebut dengan satu mud untuk setiap harinya dan terus bertambah jika ditunda lagi hingga tiba bulan ramadlan berikutnya. Hal ini juga berlaku untuk kewajiban membayar fidyah. Contoh: Sebut saja Zainab, melakukan ifthar selama 15 hari, karena ia hamil dan khawatir akan keselamatan anak yang dikandungnya, jika ia berpuasa. Disamping ia wajib qadla 15 hari, ia juga wajib membanyar fidyah 15 mud. Ternyata fidyah tersebut tidak dibayarkan hingga datang bulan ramadlan lagi, padahal ia mampu. Maka fidyah yang asalnya 15 mud bertambah menjadi 30 mud.