Bagaimana Seharusnya Seorang Guru Mengajar
Pendidik atau guru adalah orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran, yang ikut bertanggung jawab dalam mendidik dan men...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2013/10/bagaimana-seharusnya-seorang-guru.html
Pendidik atau guru adalah orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran, yang ikut bertanggung jawab dalam mendidik dan mengajar, membantu anak untuk mencapai kedewasaan. Pendidik menempati kedudukan yang terhormat di masyarakat. Peranan dan kewibawaan yang menyebabkan seorang guru dihormati, sehingga masyarakat tidak meragukan figur seorang guru. Masyarakat yakin bahwa pendidiklah yang mendidik mereka agar menjadi orang yang berkepribadian mulia.
Pendidik adalah komponen yang penting dalam pendidikan, yakni orang yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan anak didik, dan bertanggung jawab atas segala sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam rangka membina anak didik agar menjadi orang yang bersusila yang cakap, berguna bagi agama dan bangsa di masa yang akan datang.
Pandangan tentang citra pendidik atau guru sebagai orang yang wajib digugu (dipatuhi) dan ditiru (diteladani) tidak perlu diragukan kebenarannya. Konsep keguruan klasik tersebut mengandaikan pribadi pendidik serta perbuatan kependidikan atau keguruan adalah tanpa cela, sehinga pantas hadir sebagai manusia model yang ideal.
Maka upaya menyiapkan tenaga pendidik yang ideal merupakan langkah utama dan pertama yang harus dilakukan. Dalam arti formal tugas keguruan bersikap profesional, yaitu tugas yang tidak dapat diserahkan kepada sembarang orang. Dalam artian, pendidik harus mempunyai dan menjalankan semua etika dan adab yang dibebankan kepadanya, baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri, atau dengan Sang Pencipta, para peserta didik dan segala sesuatu yang bertalian dengan pendidikan.
Menurut Al-Ghazali Seorang yang berprofesi pendidik berarti telah melaksanakan pekerjaan besar dan menghadapi bahaya yang tidak kecil. Di punggungnya beban tanggungjawab atas masa depan peserta didik dan di tangannya pula masa depan agama dan negara dikendalikan. Ia adalah orang yang disebutkan oleh Rasulullah sebagai pewaris para nabi, penyampai cita-cita risalah, dimana segala gelar keutamaan dan kemuliaan disandangkan kepadanya. Ia adalah orang yang disebut sebagai orang besar di alam malakut, bagaikan matahari yang menyinari semuanya sementara ia tetap bersinar dan bagaikan cendana, dimana ia dapat memberi keharuman bagi yang lain, sementara dia sendiri harum. Maka semua etika dan adab harus selalu dijaga, agar keutamaan dan kemualiaan yang disandang tidak terlepas dan tidak malah menjadi biang kebobrokan moral, penyebab kemunduran bangsa dan agama, dan sumber malapetaka dan fitnah.
Etika-etika pendidik menurut al-Ghazali adalah sebagai berikut:
1. Etika Pertama
Mempunyai rasa belas kasih kepada para peserta didik dan memperlakukan mereka sebagaimana anak sendiri. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ مَثْلُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ (رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه وابن حبان)
Artinya: “Sesungguhnya saya bagimu adalah seperti orang tua kepada anaknya” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Yang beliau maksudkan ialah menyelamatkan mereka dari neraka di akhirat, dimana ini lebih penting dari pada penyelamatan orang tua dari neraka dunia. Oleh sebab itu, hak-hak pengajar lebih besar daria pada hak-hak kedua orang tua. Orang tua adalah lantaran kehidupan fana, semenyara guru adalah lantaran bagi kehidupan baka.
2. Etika Kedua
Mengikuti jejak Rasulullah SAW dalam mengajar. Maka hendaknya tidak mencari gaji, balasan dan terima kasih atas pengajaran yang dilakukan. Tetapi mengajar karena Allah SWT. dan mencari kedekatan diri kepadaNya. Ia tidak memandang dirinya sebagai sebuah anugerah bagi muri-muridnya, meskipun anugerah tersebut adalah lazim bagi mereka. Sebaliknya ia melihat mereka sebagai anugerah, karena mereka mau mendidik hati untuk mendekatkan diri kepada Allah SAW dengan menanamkan ilmu pengetahuan dalam hati mereka. Mereka seperti orang-orang yang meminjamkan tanah kepada seseorang untuk ditanami, dimana manfaat yang diperoleh si penanam akan melebihi manfaat yang diperoleh oleh si pemberi tanah. Bagaimana seorang guru memandang telah memberikan sesuatu kepada muridnya, sementara pahala yang di dapat seorang guru lebih besar dari pada pahala murid-muridnya. Seandainya para murid itu tidak ada, tentu guru tidak akan mendapat pahala. Allah SWT berfirman:
وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالاً إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللهِ (هود: 29)
Artinya: “Wahai kaumku, saya tidak minta harta kepadamu. Upahku tidak ada selain atas tanggungan Allah” (Hud: 29)
3. Etika Ketiga
Tidak meninggalkan nasehat kepada peserta didik sedikitpun, seperti melarang mereka untuk mempelajari suatu tingkatan ilmu sebelum mereka berhak. Contohnya lagi ialah mengingatkan mereka bahwa tujuan mencari ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk kedudukan, kebanggaan, dan berkompetisi. Sejauh mungkin, dahulukanlah usaha untuk mendoktrin bahwa menuntut ilmu bukan untuk mendekatkan diri kepadaNya adalah sesuatu yang buruk.
4. Etika Keempat
Melarang para peserta didik untuk melakukan hal-hal yang keluar dari etika yang baik, dengan jalan halus sebisa mungkin, dan disertai kasih sayang. Cara yang tidak halus dalam hal ini mengakibatkan rusaknya tirai kewibawaan dan mengakibatkan perlawanan, dan membangkitkan semangat untuk terus melakukan perilaku yang buruk tersebut.
Rasulullah SAW sebagai pembimbing semua pendidik bersabda:
لَوْ مُنِعَ النَّاسُ عَنْ فَتِّ الْبَعْرِ لَفَتَوْهُ وَقَالُوْا مَا نُهِيْنَا عَنْهُ إِلَّا وَفِيْهِ شَيْءٌ
Artinya: “Seandainya manusia dilarang dari menghancurkan kotoran onta dengan jari, maka mereka akan menghancurkannya dengan jari sambil berkata: ‘Kami tidak dilarang melakukannya, kecuali karena di dalamnya ada sesuatu”
5. Etika Kelima
Seorang pendidik yang membidangi salah satu mata pelajaran, tidak boleh mencela mata pelajaran lain di hadapan muridnya. Jika ia membidangi beberapa mata pelajaran, hendaknya ia memelihara pentahapan dalam meningkatkan peserta didik dari satu tingkat ke tingkat yang lain.
6. Etika Keenam
Pendidik harus melakukan pengajaran sesuai dengan kadar kepahaman para peserta didik, dan tidak memberikan ilmu pengetahuan yang tidak mampu diserap peserta didik, yang justru membuat kecerdasan peserta didik berkurang, sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, dimana beliau bersabda:
نَحْنُ مَعَاشِرَ الْأَنْبِيَاءِ أُمِرْنَا أَنْ نُنْزِلَ النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ وَنُكَلِّمُهُمْ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ (رواه العراقي من حديث أبي بكر بن الشخير)
Artinya: “Kami golongan para Nabi diperintah untuk menempatkan manusia pada kedudukan mereka, dan berbicara kepada mereka menurut kadar akal mereka” (HR. Al-‘Iraqi dari hadits Abu Bakr bin al-Syakhir)
Dalam hadits lain Rasulullah SAW:
مَا أَحَدٌ يُحَدِّثُ قَوْماً بِحَدِيْثٍ لاَ تَبْلُغُهُ عُقُوْلُهُمْ إِلَّا كَانَ فِتْنَةً (رواه ابن سني وأبو نعيم ومسلم)
Artinya: “Tidaklah seseorang itu berbicara kepada suatu kaum dengan suatu pembicaraan di mana akal mereka tidak sampai padanya melainkan pembicaraan itu menjadi fitnah” (HR. Ibnu Sunniy, Abu Naim dan Muslim).
7. Etika Ketujuh
Kepada peserta didik yang tidak begitu cerdas, hendaknya diberi pelajaran yang jelas yang layak baginya. Jangan disebut kepadanya, bahwa dibalik keterangan itu ada lagi pembahasan yang mendalam, sedang ia menyembunyikannya. Karena akan mengakibatkan berkurangnya keingintahuan pada keterangan sebelumnya dan mengacau-balaukan pikiran.
Dari keterangan ini dapat diketahui bahwa seorang awam yang terikat syariat, meresap di hatinya akidah-akidah yang benar tanpa ada tasybih dan takwil, dan mempunyai perilaku yang baik, tetapi akalnya tidak mampu memuat lebih dari hal itu, maka seharusnya pendidik membiarkan pekerjaannya dan tidak mengacaukan akidahnya. Karena jika disebutkan kepadanya takwilan-takwilan zahir, akan berakibat terlepasnya ikatan awam, sementara mengikatnya dengan ikatan orang khusus tidak mudah. Selanjutnya, tabir yang memisahkan dirinya dengan maksiat akan hilang dan menjadi setan yang durhaka yang akan membinasakan dirinya dan orang lain.
8. Etika Kedelapan
Pendidik harus mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi perbuatannya. Ilmu dilihat dengan mata hati dan amal dilihat dengan mata kepala. Jika amal tidak sesuai dengan ilmu maka terhalanglah petunjuk. Orang yang mengkonsumsi sesuatu dan ia berkata: “Jangan kalian menkonsumsinya, karena ia adalah racun yang mematikan!”, maka manusia akan menertawakannya dan semakin berani untuk melakukannya.
Allah SWT berfirman:
أَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ (البقرة: 44)
Artinya: “Apakah kamu menyuruh manusia untuk berbuat kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu?” (QS. Al-Baqarah: 44)
Oleh sebab itu dosa orang yang berilmu dalam kemaksiatan lebih besar dari pada dosa orang yang bodoh. Karena dengan kesesatan yang ia lakukan dapat menyesatkan orang banyak.
Sumber: Ihya' Ulumiddin
Sumber: Ihya' Ulumiddin