Thalhah bin Ubaidillah RA: Bersatu di Akhir Jalan
Hidup dan mati setiap insan memang menjadi rahasia Allah SWT. Begitu pula dengan yang dialami sahabat Thalhah bin Ubaidillah. Meskipun di...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2013/01/thalhah-bin-ubaidillah-ra-bersatu-di.html
Hidup dan mati setiap insan memang menjadi rahasia Allah SWT. Begitu pula dengan yang dialami sahabat Thalhah bin Ubaidillah. Meskipun dirinya telah disebut oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Asy-Syahidul Hayy (Syahid yang Hidup) dan bahwa kelak di akhirat akan masuk surga, perjalanan hidupnya tidaklah mulus, bahkan ia wafat di tangan pemeluk Islam lainnya.
Peristiwanya terjadi dalam Perang Unta atau Waq’atul Jammal, yang terjadi 26 tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW. Perang itu melibatkan para sahabat dekat Rasulullah.
Ketika itu Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat terpaksa berhadapan dengan sahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam, yang menggabungkan diri dengan Ummul Mu’minin Siti Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq, yang juga istri Rasulullah SAW.
Kala itu, orang masih mempertanyakan siapa sebenarnya pembunuh Khalifah Utsman bin Affan, yang meninggal lantaran dibantai di rumahnya sendiri.
Kisahnya, rumah khalifah ketiga itu telah dikepung massa dari berbagai penjuru wilayah kekuasaannya, seperti Kufah, Mesir, Basrah, yang tidak setuju dengan kebijakannya selama dia memerintah, yang dipandang nepotis.
Ketika tengah membaca Al-Qur’an di dalam kamarnya, Khalifah Utsman diintai oleh tiga orang, yaitu Qutaurah, Saudan, dan Al-Ghafiqi. Yang disebut terakhir itulah yang kemudian memukulkan sebatang besi ke tubuh Khalifah, yang sudah sepuh, hingga darah mengucur dari kepala sang khalifah dan menetes pada lembaran-lembaran kitab suci yang tengah dibacanya. Peristiwa yang disaksikan langsung oleh istri dan anak-anak Khalifah itu terjadi di Madinah pada tanggal 18 Dzulhijjah 35 H/657 M. Saat itu Khalifah Utsman berusia 82 tahun.
Para pembunuh Khalifah Utsman itulah yang kemudian dipertanyakan oleh pengikut-pengikut Utsman, apakah mereka orangnya Ali bin Abi Thalib. Karena, sejak awal, di antara keduanya sudah sering terjadi perbedaan pendapat.
Bagi Imam Ali, memang peristiwa pembunuhan itu menempatkan dirinya pada kedudukan yang serba sulit, bahkan pada gilirannya dia menjadi kambing hitam.
Dengan terbunuhnya Khalifah, terjadi kekosongan kepemimpinan yang sulit diatasi, sementara wilayah Islam telah meluas membentang dari barat sampai timur.
Lima hari setelah pembunuhan Khalifah Utsman, atas desakan orang banyak, Ali bersedia dibai’at sebagai amirul mu’minin. Ia lantas memerintahkan dilakukan penyelidikan untuk mengetahui siapa sebenarnya pembunuh Utsman.
Kelompok Makkah
Di lain pihak, Thalhah mengajukan permintaan kepada Ali agar diangkat sebagai penguasa di Kufah, sementara Zubair bin Awwam minta diangkat sebagai penguasa di Basrah.
Dengan tegas Ali menolak permintaan itu, karena ia menilai bahwa permintaan itu aneh.
Ternyata penolakan ini berbuntut panjang dan kian merawankan kedudukan Imam Ali sebagai amirul mu’minin.
Keduanya segera bertolak ke Makkah, yang telah menjadi tempat berkumpulnya tokoh-tokoh yang terkena tindakan penertiban Amirul Mu’minin, seperti Marwan bin Hakam, tangan kanan Utsman. Saat itu Siti Aisyah, yang termasuk tokoh yang bersimpai terhadap Khalifah Utsman, juga tengah berada di Makkah, sesudah melaksanakan ibadah haji.
Awalnya ia ingin mengucapkan selamat kepada Thalhah, yang diberitakan telah diangkat sebagai khalifah menggantikan Utsman, tapi ternyata berita itu bohong. Apalagi kemudian ia mendengar kabar bahwa yang menjadi khalifah adalah Ali. Maka ketika ketiga orang itu kemudian bertemu, mereka pun bergabung membentuk kelompok yang dikenal sebagai “Kelompok Makkah”. Kelompok ini berusaha menuntut balas kematian Utsman dan ingin menggulingkan Ali dari kursi khalifah.
Mereka kemudian pergi ke Basrah dengan rombongan yang besar. Di kota itu banyak pendukung Zubair dan Thalhah.
Tentu saja Imam Ali ingin mengecek kebenaran kabar tersebut. Ia, bersama pasukannya dari Madinah, berusaha menyusul rombongan Siti Aisyah ke Basrah.
“Menjadi Tetanggaku di Surga”
Di dekat perbatasan kota Basrah, kedua pasukan besar itu bertemu. Maka terjadilah dialog yang mengharukan antara Ali dan Thalhah, Ali dan Zubair, serta Ali dan Aisyah.
Kepada Ahnaf bin Qais, seorang tokoh masyarakat Basrah, Ali menegaskan bahwa penduduk Basrah adalah kaum muslimin. “Anda tidak perlu khawatir saya akan membunuh semua orang lelaki Basrah dan menjadikan kaum wanita Basrah sebagai budak jika saya memenangkan perang ini.”
Kepada Thalhah dan Zubair, yang maju ke depan, Ali mengatakan, “Sekarang terbukti bahwa kalian sudah siap dengan senjata, kuda, dan pasukan. Kuingatkan, kalian jangan berbuat seperti perempuan yang mengurai benang setelah dipintalnya. Bukankah aku ini saudara seagama dengan kalian? Allah SWT dan Rasul-Nya mengharamkan kalian menumpahkan darahku dan mengharamkan diriku menumpahkan darah kalian. Alasan apa yang menghalalkan kalian hendak menumpahkan darahku?”
Thalhah menjawab, “Menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman.”
“Hai Thalhah, patutkah engkau menuntut balas atas kematian Utsman? Allah mengutuk orang yang membunuh Utsman. Engkau mengajak istri Rasulullah SAW untuk dijadikan tameng dalam peperangan, sedangkan istrimu engkau sembunyikan di rumah. Bukankah engkau telah membai’atku?”
Singkat cerita, Zubair kemudian dapat menangkap uraian Ali yang mengingatkan persabatan mereka bertiga dengan Baginda Nabi, sehingga dia tidak bisa berkata apa-apa kecuali air mata berlinang, dan mereka akhirnya saling berpelukan. Dia kemudian mengundurkan diri dan kembali kepada pasukannya.
Tapi, hanya beberapa langkah dari situ, dia tersungkur oleh anak panah yang dilayangkan Amru bin Jarmuz dari kubu Thalhah.
Sedangkan Thalhah, ia masih harus menyaksikan terjadinya peperangan di antara kedua kubu sesama muslim itu. Namun, dia selalu terdesak meski Imam Ali selalu mengingatkan dan melarang pasukannya agar tidak membunuh Thalhah.
Hal itu menimbulkan tanda tanya di benak Thalhah. Dia akhirnya sampai pada kesimpulan, mengapa ia memerangi Ali, apa tujuannya. Dari dalam lubuk hatinya, ia menyatakan penyesalan dan bertekad hendak memulihkan perdamaian.
Pada saat pasukan kedua belah pihak bergembira ria sama-sama mengumandangkan seruan perdamaian, tiba-tiba sebuah anak panah menancap di leher Thalhah tanpa diketahui siapa pelakunya. Seketika Thalhah jatuh tersungkur, tewas. “Allahumma ya Allah,” katanya sambil melihat tetesan darahnya sendiri. “Ambillah pembalasan dariku atas kematian Utsman, supaya ia puas.”
Setelah Ali meninjau orang-orang yang gugur sebagai syuhada, semuanya dishalatkan, baik yang bertempur di pihaknya maupun yang menentangnya, termasuk Thalhah dan Zubair.
Di depan makam kedua sahabatnya itu, Ali berkata, “Kedua telingaku ini telah mendengar sendiri sabda Rasulullah SAW, ‘Thalhah dan Zubair menjadi tetanggaku di surga’.” Semoga Allah SWT memberi keberkahan kepada kaum muslimin.
Sumber: http://www.majalah-alkisah.com