Pembantaian Sistematis terhadap Muslim Rohingya (2-Habis)


Pakta Repatriasi Rohingya Prematur

Organisasi Dokter Lintas Batas mengkhawatirkan nasib etnis Rohingya yang masih di Negara Bagian Rakhine. Terlebih bantuan dari pelbagai lembaga kemanusiaan independen dihalang-halangi ke distrik Maungdaw.

“Akses ke Rakhine sangat terbatas dalam beberapa bulan ke belakang. Dan bukan hanya kepada MSF, tapi juga semua lembaga kemanusiaan,” ujar Natasha Reyes.

Situasi itu membuat kesepakatan pemulangan kembali pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar, yang diteken kedua negara tersebut pada November 2017, dinilai prematur.

“Mereka harus mendapatkan jaminan keselamatan dari pemerintah Myanmar sebelum kita bicara pemulangan. Dan mereka harus kembali secara sukarela,” tegas Reyes.

Dalam pakta soal repatriasi tersebut, kedua pemerintah itu sepakat bahwa pemulangan pengungsi mulai dilakukan dalam waktu dua bulan setelah perjanjian diteken.

“Kami siap memulangkan mereka (para pengungsi Rohingya) secepatnya setelah Bangladesh mengirim kembali dokumen kepada kami,” ujar Myint Kyaing, sekretaris kementerian ketenagakerjaan, imigrasi, dan kependudukan Myanmar kepada The Guardian.

Dokumen yang dimaksud merupakan formulir yang sudah diisi oleh para pengungsi terkait nama keluarga, alamat sebelumnya, tanggal lahir, dan kesediaan sukarela untuk dibawa kembali ke Myanmar.

Nantinya, mereka dijamin akan mendapat tempat tinggal permanen serta status kependudukan sebagai warga negara Myanmar, selama mereka tidak terlibat dalam kegiatan "kelompok teroris."

Kendati demikian, tak sedikit pengungsi Rohingya yang skeptis terhadap janji manis pemerintah Myanmar tersebut. Sejumlah pengungsi yang memilih kembali ke Myanmar masih ditempatkan di kamp pengungsian selama bertahun-tahun.

“Kami tidak bisa memercayai pemerintah dan militer sama sekali. Tidak ada yang harus kembali jika tetap ditempatkan di kamp pengungsian, bukan di desa asal mereka. Pemerintah Myanmar harus mengembalikan status kependudukan mereka segera setelah mereka dipulangkan,” ujar Nay Say Lwin, aktivis Rohingya yang tinggal di Eropa, kepada CNN.

Kesepakatan ini juga menyebutkan bahwa bukti kependudukan yang dimiliki etnis Rohingya jelas memberatkan lantaran banyak dokumen para penyintas ini disita oleh pemerintah atau terbakar saat penyerangan tentara-tentara Myanmar dan kelompok milisi Buddha.

“Saya tidak yakin setengah warga Rohingya dapat dipulangkan” tandas Lwin.

Sementara itu, Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) melalui juru bicaranya, Vivian Tam, berkata pihaknya tak dimintai pendapat soal kesepakatan tersebut. Padahal kesepakatan ini seharusnya melibatkan pihak PBB sebagai organisasi yang mengurusi pengungsi.

Hingga saat ini, pengungsi Rohingya masih hidup dalam kondisi memprihatinkan. Mereka menghadapi segudang persoalan, dari kelaparan, wabah penyakit, keterbatasan akses air bersih dan obat-obatan. Kematian mengintai para pengungsi setiap hari.

Dokter Natasha Reyes dari Dokter Lintas Batas berkata bahwa ratusan ribu muslim Rohingya, yang tinggal di kamp-kapm pengungsi di Bangladesh, kini bertahan hidup dengan bergantung pada bantuan dari pelbagai organisasi kemanusiaan.

“Harus diakui ini merupakan situasi yang membuat mereka depresi. Dan kondisi ini akan terus berlangsung dalam waktu lama,” ujar Reyes. (Sumber: tirto.id)

Related

BeritaInternasional 5492557315462941619

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Facebook

TERBARU

Arsip

Statistik Blog

item