Kyai Kholil Bangkalan
Nama lengkapnya adalah KH. Muhammad Kholil bin KH. Abdul Lathif bin Kyai Hamim bin Kyai Abdul Karim bin Kyai Muharram bin Kyai Asrar Kar...
http://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/04/kyai-kholil-bangkalan.html
Nama lengkapnya adalah KH. Muhammad Kholil bin KH. Abdul Lathif bin Kyai Hamim bin Kyai Abdul Karim bin Kyai Muharram bin Kyai Asrar Karamah bin Kyai Abdullah bin Sayid Sulaiman. Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah adalah putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra.
Kyai Kholil lahir pada tanggal 11 J. Akhir 1235 H./ 27 Januari 1820 M. di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langasung oleh ayah Beliau. Setelah dewasa beliau belajar diberbagai pondok pesantren. Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kyai Kholil belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok-Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Sewaktu menjadi santri Kyai Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik, disamping itu juga beliau juga seorang hafiz al-Quran. Beliau mampu membaca alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran).
Pada tahun 1276 H (1859 M), Kyai Kholil Belajar di Mekah. Di Mekah beliau belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani (Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani. Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Kyai Kholil sewaktu Belajar di Mekkah seangkatan dengan KH. Hasym Asy’ari, KH.Wahab Hasbullah dan KH. Ahmad Dahlan. Ulama-ulama saat itu mempunya kebiasaan memanggil guru ke sesama rekannya, dan Kyai Kholil yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka.
Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Kyai Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Kyai Kholil dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaidah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
Kiyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya.
Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperoleh, Kyai Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Kyai Kholil adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku Madura seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristen. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kyai Kholil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata, tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasasnya. Kyai Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Kyai Kholil.
Menurut KH. Ghozi cucu KH. Wahab Chasbullah, dalam peristiwa 10 November, Kyai Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kyai-kyai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Kyai Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar. Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, para pejuang bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan.
Kesaktian lain dari Kyai Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub. Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Kyai Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Kyai Kholil. Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Kyai Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu.
di antara sekian banyak murid Kyai Kholil yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah Kh Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas NU), KH. Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); KH. Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); KH. Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan KH. As’ad Syamsul ‘Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo).
Kyai Kholil wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada tanggal 29 Ramadan 1341 H/14 Mei 1923 H. Nafa’ana bihi wa bi’ulumihi wa bibarakatihi.