Muslim Filipina, Penderitaan Tak Kunjung Berakhir
Penduduk Filipina Selatan, seperti halnya warga Thailand Selatan, sebagian Malaysia dan Singapura, Brunei Darussalam, serta sebagian pe...
http://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2014/02/muslim-filipina-penderitaan-tak-kunjung.html
Penduduk Filipina Selatan, seperti halnya warga Thailand Selatan, sebagian Malaysia dan Singapura, Brunei Darussalam, serta sebagian penduduk Indonesia, berasal dari rumpun antropologi yang sama, yaitu Austronesian/Malayo Polynesian. Maka, tak mengherankan, terdapat kesamaan ciri-ciri fisik dan bahasa (etnolinguistik) yang hampir sama.
Dalam bahasa Tagalog (Filipino), yang kini menjadi bahasa nasional Filipina, terdapat kurang lebih 5.000 kata yang hampir sama dengan bahasa Melayu (Indonesia) walau kadang artinya berbeda, seperti pintu, kanan, murah, mahal, gunting, anak, balai, aku (ako), kita, dan hitungan angka (1 sampai 10, yang amat mirip dengan bahasa Indonesia, Jawa, dan Sunda sekaligus).
Kesamaan ini semakin kental karena kesamaan agama, yakni Islam. Ketika muslim Melayu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand Selatan, Brunei, dan Filipina berkumpul bersama-sama, katakanlah ketika beribadah haji di Tanah Suci, tak ada yang dapat memastikan asal kewarganegaraan mereka. Kecuali, tentu saja, ketika mereka mulai berbicara.
Batas negara memang tidak sama dengan batas kultural. Muslim Nusantara boleh berbeda kewarganegaraan, tapi secara budaya hampir sama. Di pusat suvenir Aldevinco, Davao City, misalnya, di antara barang-barang yang dijual adalah sarung Samarinda dan batik asli Solo dan Pekalongan.
Sayangnya, eksistensi dan “status” muslim Nusantara tersebut tidaklah sama. Muslim menjadi mayoritas di Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Namun menjadi minoritas di Thailand, Singapura, dan Filipina. Memang, mayoritas bukanlah jaminan bahwa hidup akan lebih baik. Apalagi menjadi minoritas. Demikianlah yang terjadi dengan minoritas muslim Moro di Mindanao, Filipina.
Tersebarnya Islam
Penyebaran Islam di Sulu dan Mindanao diyakini berasal dari para pedagang, guru-guru dan sufi keturunan Arab yang berlayar hingga ke Sulu dan Mindanao. Hampir sama dengan model penyebaran Islam di Indonesia. Mereka kemudian mengislamkan dan menikahi penduduk setempat.
Masjid pertama di Filipina tercatat berada di Tubig-Indangan di Pulau Simunul. Didirikan oleh Makhdum Karim alias Sharif Awliya, keturunan Arab, sekitar tahun 1380.
Berikutnya para musafir keturunan Arab secara berturut-turut membangun Kesultanan Sulu pada 1390, dan Kesultanan Maguindanao dan Buayan pada akhir abad ke-15.
Seorang sejarawan, Abhoud Syed M. Lingga, menyebutkan, sultan pertama Sulu, Paduka Mahasari Maulana Al-Sultan Sharif Ul-Hashim, yang memerintah tahun 1450-1480, berasal dari Sumatera. Sultan ini menikah dengan putri Rajah Baguinda, yang berasal dari Minangkabau (“Menangkabaw” dalam istilah di Mindanao).
Sharif Muhammad Kabungsuwan, pendiri Kesultanan Maguindanao, yang tiba di Mindanao pada 1515, ayahnya berasal dari Arab dan ibunya adalah keluarga Kesultanan Johor (kini bagian dari Malaysia). Sementara itu, Sultan Sulu ke-7 memiliki darah Brunei (kini Brunei Darussalam).
Kesultanan Makassar dan Ternate pada masa silam turut memainkan peranan penting di Mindanao. Ketika Gubernur Spanyol Corcuera menyerbu Sulu pada 1638, Rajah Bongsu, Sultan Sulu, mendapat bantuan dari para prajurit Makassar. Sementara itu, Kesultanan Ternate kerap membantu Sultan Buisan di Maguindanao dalam perangnya melawan penjajah Spanyol.
Sampai kini masih cukup banyak keturunan Indonesia yang tinggal di Mindanao. Namun kini lebih banyak berasal dari Sulawesi Utara, utamanya Kepulauan Sangir Talaud dan Miangas (Pulau Miangas adalah pulau terluar Indonesia yang berjarak sangat dekat dengan Mindanao, dan sebaliknya amat jauh dari Manado, ibu kota Sulawesi Utara). “Saat ini ada sekitar 8.000 orang Indonesia yang masih berkewarganegaraan Indonesia di Mindanao. Belum lagi mereka yang tak terdaftar dan mereka yang telah berkewarganegaraan Filipina,” ujar Bernard Loesi, konsul Indonesia di Konsulat Jenderal RI di Davao City.
Tak hanya menyebarkan Islam di Mindanao, pergerakan Islam kemudian melaju ke utara, merambah area Visayan, yaitu Cebu, Mactan, kemudian Palawan, hingga Luzon, pulau tempat metropolitan Manila. Disinyalir, metropolitan Manila pada abad ke-16 berada di bawah kekuasaan raja muslim, yaitu Rajah Sulaiman Mahmud. Sama halnya dengan daerah Tondo, Cebu, dan Mactan di Visayan.
Datangnya penjajah Spanyol pada tahun 1521 mengubah semuanya. Perluasan dakwah Islam dari selatan (Mindanao dan Sulu) terhambat, dan pertempuran terjadi di banyak tempat selama tiga abad lebih kekuasaan kolonial Spanyol. Perang dengan Spanyol baru mereda pada tahun 1898, saat beralihnya kekuasaan negeri Filipina dari Spanyol ke Amerika Serikat melalui Perjanjian Paris 10 December 1898.
Penjajahan Spanyol dan Amerika Serikat
Pada tahun 1521, Spanyol, dipimpin Ferdinand de Magelllans, datang ke Filipina dan langsung membuat onar. Ia menaklukkan seantero negeri, hanya wilayah selatan yang tak bisa mereka kuasai.
Berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya, penduduk wilayah selatan, yang mayoritas muslim, tidak sudi hidup dalam penjajahan. Spanyol menghabiskan 375 tahun untuk menaklukkan kaum muslimin.
Setelah Spanyol berkuasa, merekalah yang menciptakan image buruk tentang kaum muslim Filipina. Spanyol menyebut kaum muslimin dengan sebutan “moor.” Dalam bahasa Spanyol, moor berarti buta huruf, jahat, tidak bertuhan, dan huramentados (tukang bunuh). Disesuaikan dengan muatan lokal Filipina, moor kemudian diganti menjadi moro. Inilah cikal-bakal penyebutan muslim Moro dan terus melekat sampai sekarang.
Spanyol tidak hanya menjajah, tapi juga membawa misi Kristen di bumi Islam tersebut. Pada 1578, Negeri Matador ini mengadu domba rakyat Filipina untuk memereangi orang-orang Islam di selatan. Spanyol melabelinya dengan nama perang suci, hingga dari sinilah kemudian timbul kebencian dan rasa curiga orang-orang Kristen Filipina terhadap bangsa Moro, yang Islam hingga sekarang. Sejarah mencatat, orang Islam pertama yang masuk Kristen akibat politik yang dijalankan penjajah Spanyol ini adalah istri Raja Humabon dari Pulau Cebu, kemudian Raja Humabon sendiri dan rakyatnya.
Spanyol berakhir, datanglah AS. Spanyol, dengan tanpa rasa malu, seolah-olah Mindanao dan Sulu kepunyaan mereka, menjual Filipina kepada AS. Harganya? Konon mencapai US$ 20 juta, harga yang sangat tinggi pada tahun 1898. Penjualan ini diatur dalam Traktat Paris.
Sadar bahwa orang Islam Filipina telah telanjur benci terhadap penjajah, AS pun bersiasat dengan berpura-pura mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak. Periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan Bangsa Moro. Strategi AS tidak hanya secara fisik dalam peperangan. Melainkan juga melalui pendidikan dan ajakan, dan ini efeknya bagi muslim Moro lebih dahsyat. Hasilnya, kesatuan politik dan perlawanan kaum muslim tidak terkendali.
Dan yang paling ironis, budaya Islam sedikit demi sedikit semakin hilang dari masyarakat muslim Moro.
AS mengganti semua sistem yang digunakan bangsa muslim Moro. Pada intinya ketentuan tentang hukum AS merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah kaum muslimin (tanah adat dan ulayat) oleh pemerintah kolonial AS dan pemerintah Filipina di Utara yang menguntungkan para kapitalis.
Manuel L. Quezon, seorang senator (1936-1944), berusaha memperbanyak jumlah bangsa Filipina non-muslim. Konsep penjajahan AS melalui koloni diteruskan oleh pemerintah Filipina begitu AS hengkang dari negeri tersebut. Sehingga perlahan tapi pasti orang-orang Moro menjadi minoritas di tanah kelahiran mereka sendiri.
Pasca-Kemerdekaan hingga Sekarang
Filipina merdeka tahun 1946. Tapi nasib bangsa Moro tidak pernah berubah sampai sekarang. Filipina menjelma menjadi penjajah yang lainnya, bahkan sama kejamnya. Dalam masa kemerdekaan Filipina, muslim Moro sadar bahwa perjuangannya harus bersatu, tidak boleh bercerai-berai. Kemudian dibentuklah MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF.
Namun kekurangannya, pada saat yang sama juga hal itu memecah kekuatan bangsa Moro menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka sendiri secara keseluruhan. Dibandingkan dengan masa pemerintahan semua presiden Filipina dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos, masa pemerintahan Ferdinand Marcos merupakan masa pemerintahan paling represif bagi bangsa Moro. Pembentukan Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation Front (MLF) pada 1971 tak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos.
Perkembangan berikutnya, kita semua tahu. MLF sebagai induk perjuangan bangsa Moro akhirnya terpecah. Pertama, Moro National Liberation Front (MNLF), pimpinan Nurulhaj Misuari, yang berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF), pimpinan Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan.
Namun dalam perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan kembali menjadi kelompok MNLF-Reformis, pimpinan Dimas Pundato (1981), dan kelompok Abu Sayyaf, pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993).
Tentu saja perpecahan ini lagi-lagi memperlemah perjuangan bangsa Moro secara keseluruhan dan memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapi mereka. Setiap waktu, muslim Moro menghadapi teror yang terus memakan korban jiwa. Bagi mereka, maut senantiasa mengintai.
Sumber: http://majalah-alkisah.com
Sumber: http://majalah-alkisah.com