KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah
Lain di Minang, maka lain pula yang terjadi di pulau Jawa. Di pulau yang lazim dulu disebut dengan nama Jawadwipa ini tersebutlah seoran...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2013/08/kh-ahmad-dahlan-dan-muhammadiyah_4.html
Lain di Minang, maka lain pula yang terjadi di pulau Jawa. Di pulau yang lazim dulu disebut dengan nama Jawadwipa ini tersebutlah seorang tokoh pembaharu bernama KH. Ahmad Dahlan. Sebagaimana rekannya dari Minang KH. Ahmad Dahlan yang bernama asli Muhammad Darwis ini, pun adalah murid dari Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Kaum Wahabi mengatakan bahwa beliau adalah salah seorang tokoh pembaharu Islam di Indonesia yang berfaham Wahabi dengan alibi bahwa fiqih kaum Muhamadiyah, organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan mirip dengan mereka.
Memang, kaum Muhammadiyin saat ini melaksanakan shalat dengan tanpa membaca “Usholi”. Shalat Shubuh dengan tidak memakai doa qunut, anti ziarah kubur, tahlilan dan menjauhi segala macam praktek agama Islam yang menurut mereka mengandung TBC (Takhayul, Bid'ah dan Churafat). Selama puluhan tahun semenjak berdirinya Muhammadiyah dianggap sebagai representasi dari golongan Islam modernis di Indonesia dan merupakan rival serta antitesis dari golongan Islam tradisional NU, Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy'ari.
Dan memang benar bahwa KH. Ahmad Dahlan sangat akrab dengan ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dari majalah al-Manar. Dan saat berada di Mekkah beliau seperti para pelajar asal Indonesia lainnya juga ramai mendiskusikan bagaimana cara agar negeri asal mereka segera lekas merdeka dari belenggu penjajahan kolonialis Belanda.
Keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani semakin memperparah keadaan umat Islam di negeri-negeri terjajah dan memaksa banyak orang berfikiran maju seperti KH. Ahmad Dahlan harus mencari solusi atas permasalahan yang ada.
Dan ide-ide modernisasi pendidikan, ekonomi, sosial dan kesadaran politik yang dipropagandakan oleh Abduh dan Ridha sedikit memberi gambaran apa langkah yang harus dia lakukan. Maka terbentuklah pemikiran seorang Ahmad Dahlan dari sini, sosok seorang santri dan Kiyai Jawa yang besar di daerah yang juga kental budaya Jawa dan pengajaran Islamnya di daerah Kauman Jogjakarta Hadiningrat yang terbuka matanya.
Dari dalam dirinya lahirlah kesadaran bahwa umat saat itu perlu mengejar ketinggalan-ketinggalan mereka, atau mau tak mau akan tergilas oleh perubahan zaman dan tetap tunduk di bawah kaki penjajahan Belanda.
Belum lagi saat itu misi Zending yang diback-up penuh oleh pemerintah kolonial Belanda gencar sekali melakukan misi pemurtadannya terhadap rakyat di daerah-daerah di pulau Jawa. Hal ini tentu saja merisaukan dirinya sebagai seorang ulama dan pejuang kemerdekaan karena ternyata umat saat itu tak hanya terjajah fisik dan mentalnya namun juga akidahnya.
Sementara kehidupan beragama masyarakat saat itupun semakin tak jelas, kekakuan sikap sebagian besar kalangan Islam tradisional pesantren saat itu tidak memberi solusi apapun atas keadaan yang terjadi waktu itu baginya.
Maka diapun membuka dirinya terhadap hal-hal yang baru bahkan tabu bagi sebagian besar kalangan kiyai Jawa saat itu. Yang pertama kali dia lakukan saat itu adalah membangun sebuah madrasah sekolah diniyah yang menggunakan metode pengajaran Barat yang mengkombinasikan antara pelajaran agama dengan pelajaran umum diajarkan di sekolah-sekolah resmi Belanda saat itu, seperti bahasa Inggris dan ilmu bumi.
Kemudian dia juga tak segan bergabung dengan organisasi modern pribumi pertama saat itu yaitu Boedi Oetomo. Padahal kalangan kiyai dan pesantren saat itu menganggap Boedi Oetomo adalah perkumpulan berbasis sekuler-kejawen yang tentunya kurang pantas dimasuki oleh seorang kiyai seperti Ahmad Dahlan.
Belakangan saat Syarekat Islam, sebuah organisasi massa modern Islam pertama di Indonesia terbentuk, KH. Ahmad dahlan pun ikut bergabung di sana. Dan yang terakhir dia bergabung pula dengan Jami'at Kheir, sebuah organisasi modern yang didirikan oleh kalangan keturunan Arab di Indonesia wabil khusus dari kalangan Ahlul Bait Dzuriyat Rasulullah Saw.
Dengan demikian KH. Ahmad Dahlan tak hanya akrab dengan pemikiran Islam, namun juga dengan pemikiran-pemikiran modern di luar Islam yang dikenalnya dari sosok tokoh-tokoh pergerakan nasional saat itu seperti Dr. Sutomo, Dr. Wahidin Sudirohusodo, HOS. Tjokroaminoto dan yang lainnya.
Putera Kauman ini lalu berubah menjadi sosok yang modern, berfikiran maju dan kritis dalam mengahadapi setiap permasalahan. Dan bagi sebagian orang saat itu tindak tanduk dan gaya berfikir KH. Ahmad Dahlan telah keluar dari pakem-pakem kalangan pesantren.
Pergesekan tentunya terjadi, namun KH. Ahmad Dahlan tentunya melakukan semua itu bukan tanpa tujuan. Semua itu ia lakukan karena ia ingin belajar dan menyerap ilmu berorganisasi secara modern yang dimiliki kalangan Indonesia non pesantren saat itu, yaitu kalangan orang-orang terpelajar pribumi yang telah mendapatkan pendidikan modern ala Eropa.
Jadi betul sekali kalau KH. Ahmad Dahlan adalah seorang kiyai yang berfikiran modern dan visioner jauh ke depan, namun mereka menyembunyikan beberapa hal penting seputar sejarah berdirinya Muhammadiyah dan figur pendirinya tersebut.
KH. Ahmad Dahlan seperti layaknya ulama-ulama pada zamannya berguru kepada banyak ulama dalam hidupnya. Selain kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekkah beliau juga berguru kepada banyak ulama lainya.
Salah satu guru beliau dan yang paling mempengaruhi diri dan pemikirannya adalah KH. Sholeh Darat Semarang, seorang ulama yang cukup terkenal di masanya dan berasal dari kota Semarang Jawa tengah. Beliau adalah salah seorang ulama generasi tua di pulau Jawa dan merupakan orang yang mempelopori penulisan penerjemahan kitab al-Quran dengan menggunakan huruf Jawa pegon (huruf hijaiyah yang dipakai untuk melafalkan bahasa Jawa).
Mbah Sholeh Darat, begitu beliau biasa dikenal adalah seorang ulama yang tidak saja berilmu tinggi dan banyak sekali menulis kitab semasa hidupnya, namun juga sangat merakyat, dekat dengan masyarakat, memikirkan keadaannya dan pastinya sangat anti terhadap fihak penjajah Belanda.
Saat mondok di Pesantren Darat ini pada usia 16 tahunlah KH. Ahmad Dahlan yang saat itu masih dikenal dengan nama kecilnya Muhammad Darwis mengenal kesadaran akan cita-cita kemerdekaan dari gurunya tersebut. Di pesantren ini jugalah ia saat itu bertemu dan berkawan sangat akrab dengan seorang remaja berusia 14 tahun yang berasal dari Dusun Gedang Karas Jombang, Jawa timur. Remaja sederhana, santun dan cenderung pendiam itu bernama Hasyim Asy'ari, seorang yang kelak menjadi seorang ulama besar bergelar Hadhratus Syeikh dan pendiri NU, ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan dunia.
Mereka berdua bahkan tinggal di dalam kamar yang sama di pondokan Mbah Sholeh Darat dan merupakan santri-santri kesayangan beliau yang sangat patuh dan manut dengan dawuh kiyainya tersebut.
Selama kurang lebih 2 tahun mereka sama-sama mondok di pesantren Mbah Sholeh Darat dalam asuhan kasih sayang serta curahan ilmu dari sang guru tercinta. Setelah itu mereka sama-sama menyusuri jalannya masing masing.
Dan walaupun saat telah sama-sama menjadi tokoh besar mereka mempunyai beberapa perbedaan pandangan namun kenangan manis saat sama-sama nyantri kepada Kyai Sholeh Darat dulu adalah perekat persaudaraan mereka yang tak pernah hilang. KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari yang saat mondok dulu sering berebut untuk berkhidmat kepada gurunya tersebut bagaikan dua sisi mata koin yang saling melengkapi.
Kiyai Sholeh Darat sendiri adalah seorang penganut akidah Asy'ariyah-Maturidiyah, dan pembela madzhab akidah tersebut. Dan sebagai seorang murid tentunya KH. Ahmad Dahlan manut taqlid dengan akidah yang sama dengan gurunya tersebut. Ditambah lagi saat ia belajar di Mekkah pun ia berguru kepada masyaikh berakidah Asy'ariyah-Maturidiyah dan berfiqih Syafi'iyah pula. Maka sebagaimanapun akrabnya dia dengan ide-ide gerakan tajdid yang digaungkan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha ia tetaplah tiada sejengkalpun jua beranjak apalagi berani membelakangi akidah yang dipelajari dari guru-gurunya dan kaidah taqlid bermadzhab kepada madzhab imam yang empat, dalam hal ini Syafi'iyah.
Saat ia pulang dari Tanah Suci, bahkan ia mendapat dawuh atau perintah langsung dari gurunya Kiyai Sholeh Darat untuk berdakwah di kalangan masyarakat perkotaan modern. Hal inilah yang membuat beliau kamudian terdorong untuk mendirikan Muhammadiyah yang memang dirancang untuk memajukan pendidikan umat di perkotaan dan membentengi umat dari misi Kristenisasi Zending.
Ditambah lagi saat masa-masa awal pendirian Muhammadiyah beliau yang saat itu menjadi anggota Jamiat Kheir mendapatkan bantuan baik moril maupun materil yang tak sedikit dari Sayyid Abdullah bin Alwi Alattas seorang staf Jamiat Kheir. Sebagai seorang keturunan dari Sayyid Maulana Malik Ibrahim, salah seorang Walisongo, tentunya beliau memiliki pertalian darah dengan komunitas Arab Dzuriyah Alawiyin dan membuatnya cukup akrab dengan mereka.
Dan tentunya telah maklumlah kita adanya bahwa para Dzuriyah Rasulullah dari kalangan Alawiyin adalah orang-orang yang sangat gigih memegang teguh akidah Asy'ariyah-Maturidiyah serta madzhab Syafi'i, tak terkecuali dengan KH. Ahmad Dahlan.
Walaupun ia tidak terang-terangan menolak mentah-mentah dengan tegas seruan serta ide Abduh dan Ridha untuk keluar dari madzhab imam yang empat namun dalam keyakinan serta prakteknya beliau tetaplah menafikkan seruan mereka tersebut. Sejauh apapun ilmu dituntut, semodern apapun fikiran dikembangkan yang namanya pondasi akidah dan kaidah bermadzhab adalah hal yang niscaya mutlak bagi KH. Ahmad Dahlan.
Begitupulalah pandangan beliau terhadap permasalahan thariqat, beliau juga membuang jauh-jauh ide untuk keluar dari thariqat-thariqat yang mu'tabarah. Tak banyak yang tahu bahwa di balik jubah seorang modernisnya KH. Ahmad Dahlan tetaplah seorang sufi dan tokoh thariqat di tanah Jawa yang berbaiat kepada guru mursyidnya yaitu KH. Sholeh Darat Semarang.
Sejauh apapun ilmu suthur (ilmu fiqih syariat) dituntut dan dikumpulkan di kepala tetaplah takkan lengkap kiranya jika tak dibarengi dengan ilmu shudur (ilmu bathin yang menata dan mengolah hati). Hal ini sangat disadari oleh KH. Ahmad Dahlan. Di hadapan gurunya ia tetaplah Muhammad Darwis yang manut dengan dawuh dari guru dan mursyidnya tercinta KH. Sholeh Darat Semarang.
Hal inilah juga yang beliau terapkan saat beliau mendirikan ormas/jemaah Muhammadiyah. Walaupun tak terang-terangan menggariskan bahwa Muhammadiyah adalah jemaah bermadzhab Syafi'iyah seperti yang kelak dilakukan oleh sahabatnya KH. Hasyim Asy'ari saat mendirikan NU, namun dalam amalannya Muhammadiyah tetaplah mengamalkan fiqih sesuai madzhab Imam Syafi'i.
Kami tidak bicara kosong dan melakukan klaim yg mengada ada seperti layaknya kebiasaan kaum Wahabi di sini. Berikut kami kutipkan ringkasan fiqih yang diamalkan kalangan Muhammadiyah di masa awal berdirinya organisasi Islam yang sempat menjadi sangat besar di masa lalu tersebut, dan tetaplah terpandang dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara hingga hari ini. Berikut ini ringkasannya:
Ringkasan KITAB FIQIH MUHAMMADIYAH, penerbit Muhammadiyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan th 1343 H (sekitar th 1926):
1. Niat sholat pakai “USHOLLI FARDLA..” (h. 25)
2. Setelah takbir baca “KABIRAN WAL HAMDULILLAHI KATSIRA..” (h. 25)
3. Membaca al-Fatihah pakai “BISMILLAH” (h. 26)
4. Setiap Shubuh baca QUNUT (h. 27)
5. Membaca sholawat pakai “SAYYIDINA”, termasuk bacaan sholawat dalam sholat (h. 29)
6. Setelah sholat disunnahkan WIRIDAN: Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x (h. 40-42)
7. Sholat Tarawih 20 rokaat, tiap 2 rokaat 1 salam (h. 49-50)
8. Tentang sholat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (h. 57-60).
E-Book Kitab berbahasa Jawa ini dapat didownload di SINI
Pertanyaan kami, apakah kaum pemegang teguh manhaj salaf dan pewaris gerakan tajdid Pan Islamisme radikal-fundamental saat ini mengamalkan hal yang juga diamalkan oleh KH. Ahmad Dahlan dan orang-orang Muhammadiyah di masa awalnya seperti yang tercantum di atas?
Jika iya, maka selamat Anda telah menjadi seorang Aswaja Syafi'iyah seperti halnya kami, namun jika tidak maka janganlah mempermalukan diri tuan-tuan dengan mengklaim bahwa KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah berfiqih dan berfaham Wahabiyah seperti yang kalian anut.
sHingga akhir hayatnya di tahun 1923 beliau KH.Ahmad Dahlan adalah murni seorang Asy'ariyah-Maturidiyah bermadzhab Syafi'iyah dan tak pernah sejengkalpun beranjak dari kaidah-kaidah bermadzhab.
Lalu dari manakah datangnya amalan-amalan warga Muhammadiyah yang saat ini konon katanya persis dengan apa yang diamalkan oleh kaum berfaham Wahabi? Setelah KH. Ahmad Dahlan meninggal, perkumpulan Muhammadiyah disemarakkan oleh banyaknya diskusi-diskusi keagamaan oleh anggotanya baik secara pribadi dalam pertemuan-pertemuan maupun melibatkan perkumpulan, seperti yang terjadi pada kongres Islam di Surabaya tahun 1924.
Topik utama yang didiskusikan dalam kongres ini antara lain adalah masalah ijtihad di seputar ajaran Muhammadiyah dan al-Irsyad. Diantara keputusan penting yang dihasilkan dalam kongres ini adalah bahwa Muhammadiyah dan al-Irsyad tidak sama dengan orang- orang Wahabi, bahwa kedua organisasi ini tidak dianggap menyimpang dari madzhab-madzhab hukum Islam, dan mereka yang melakukan tawassul tidak dianggap kafir.
Setelah terjadi perdebatan panjang, hangat dan tajam dalam kongres, para pemimpin muslim yang hadir sepakat bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan dapat dilakukan oleh mereka yang memahami Bahasa Arab dan menguasai teks-teks al-Quran dan Hadits, menguasai ijma’ ulama, mengetahui para perawi hadits dan riwayat mereka, dan mengetahui alasan-alasan turunnya al-Quran dan dikeluarkannya matan-matan hadits.
Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang, termasuk dalam hal keputusan Tarjih. Hal ini karena dalam penentuan sebuah keputusan Tarjih diambil dengan cara mencari yang paling kuat dasarnya, bahkan bisa terjadi tidak sejalan dengan praktik yang dilakukan pendirinya KH.Ahmad Dahlan.
Salah satu pemimpin Muhammadiyah selanjutnya adalah KH. Mas Mansur. Atas idenya Muhammadiyah mendirikan Majlis Tarjih pada tahun 1927. Sehingga dengan berdirinya Majlis Tarjih, gerak langkah Muhammadiyah dalam menimbang Hukum Agama tidak lagi bertaqlid kepada satu madzhab dan lebih jelasnya bahwa Muhammadiyah berubah menjadi tidak lagi bermadzhab Syafi'i.
Di masa KH. Mas Mansyur inilah terjadi revisi-revisi dalam amalan-amalan warga Muhammadiyah setelah melakukan kajian mendalam, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih menjadi sebelas rakat. Sebuah hal yang nyaris mustahil terjadi jika KH. Ahmad Dahlan masih hidup, dimana saat itu Muhammadiyah sepi dari perdebatan yg melahirkan keputusan yang berkenaan dengan khilafiyah dan keluar dari kaidah bermadzhab.
Sumber: http://annangws.blogspot.com