Hukum Update Status di Facebook
Pertanyaan: Bagaimana hukum update status di Facebook, karena ingin “jempol” atau komentar? lubabzuher@yahoo.com
http://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/03/hukum-update-status-di-facebook.html
Pertanyaan:
Bagaimana hukum update status di Facebook, karena ingin “jempol” atau komentar?
lubabzuher@yahoo.com
Jawaban:
Ingin jempol (like/suka) disini kami kategorikan riya’. Menurut al-Ghazali riya’ berasal dari lafadz ru’yah berarti pandangan. Riya’ pada dasarnya berarti mencari perhatian orang lain agar mendapat kedudukan di mata mereka. Kedudukan ini bisa berupa pujian, jabatan, nilai tambah bagi dirinya atau sekadar mempertahankan kedudukan yang sudah disandang.
Riya’ ada dua macam. Ada riya’ yang dilakukan pada pekerjaan-pekerjaan ibadah dan ada riya’ yang dilakukan pada pekerjaan yang tidak berupa ibadah.
Riya’ yang dilakukan pada pekerjaan yang bukan ibadah seperti berusaha selalu berpakaian rapi dan bersih, berusaha kulit selalu bersih, rambut disisir rapi dan lain-lain. Riya’ yang dilakukan dalam pekerjaan ibadah seperti memperpanjang ruku’ atau sujud dalam shalat ketika berada di hadapan orang lain. Riya’ dalam ibadah ini hukumnya haram dan dapat menghilangkan pahala ibadah.
Riya’ yang dilakukan pada selain ibadah pada dasarnya boleh, seperti hadits Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha, beliau berkata bahwa Rasulullah SAW ketika hendak keluar menemui para sahabatnya, selalu berkaca ke air dan meluruskan serban dan rambutnya. Aisyah bertanya: “Adakah Anda melakukan itu, Wahai Rasulullah?”. Rasulullah menjawab: “Ya! Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang berhias diri ketika akan keluar menuju saudara-saudaranya”.
Namun jika dalam riya seperti ini terdapat tujuan pamer (muru’ah) atau ada talbis (berpura-pura/memperlihatkan yang bukan sebenarnya), maka hukumnya haram.
Update status di Facebook bisa dimasukkan pada pekerjaan ibadah juga bisa tidak. Termasuk pekerjaan ibadah jika statusnya berupa penyampaian ilmu dan sejenisnya.
Referensi: Mukhtashar Ihya' Ulumiddin; 184-185
Referensi: Mukhtashar Ihya' Ulumiddin; 184-185