Fitnah Bagdad; Sejarah Perkembangan Madzhab Hanbali
Madzhab Hanbali adalah madzhab ke-4 madzahib arba’ah yang dianut mayoritas muslimin. Madzhab ini yang dinisbatkan kepada Al-Imam Ahmad...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2013/02/fitnah-bagdad-sejarah-munculnya-madzhab.html?m=0
Madzhab Hanbali adalah madzhab ke-4 madzahib arba’ah yang dianut mayoritas muslimin. Madzhab ini yang dinisbatkan kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani –radliyaallahu ‘anhu--. Imam Ahmad lahir di Baghdad pada tahun 164 H dan wafat di saba pada tahun 241 H. Menurut satu pendapat beliau lahir di Marwi, lalu diboyong ke Baghdad ketika dalam masa menyusui. Beliau adalah salah satu dari murid Imam Asy-Syafi’i –radhiyallahu ‘anhu—dan menemani beliau saat ke Mesir.
Madzhab yang juga terkenal dengan madzhab Ahmad ini muncul di Baghdad lalu menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, walaupun persebarannya masih jauh di bawah madzhab-madzhab yang lain.
Menurut Ibnu Khuldun, pengkut madzhab Ahmad berjumlah kecil karena jauhnya madzhab ini dari ijtihad dan kemurniannya dalam berpegang teguh pada riwayat hadits. Pengikut terbesar madzhab ini ada di Syam dan Bagdad serta daerah-daerah sekitarnya. Madzhab ini sampai di Mesir pada abad ke-7 hijriah.
As-Suyuthi mengatakan bahwa pengikut madzhab Ahmad di Mesir sedikit sekali. Madzhab mulai terlihat di sana pada abad ke-7 setelah runtuhnya dinasti Ubaidiyun yang telah melakukan pembasmian terhadap madzhab-madzhab ahlussunnah dan membangun madzhab Syiah. Sedangkan Al-Imam Ahmad sendiri hidup pada abad ke-3. Imam madzhab Ahmad yang pertama kali muncul di Mesir adalah Al-Hafidz Abdul Ghani al-Maqdisi, pengarang kitab “al-‘Umdah”.
Madzhab ini semakin berkembang di Mesir pada zaman Al-Qadli Abdullah bin Muhammad bin Muhammad Abdul Malik Al-Hujawi Al-Hanbali yang menjabat pada tahun 738 H. dan wafat pada tahun 769 H.
Sedikitnya pengikut Madzhab Ahmad bin Hanbal dalam setiap masa dan tempat, tidak membuat sebagian pembesar mereka berkecil hati, karena menganggap bahwa kelompok yang berjumlah kecil adalah kelompok yang mulia. Al-Khufaji mengatakan:
يَقُولُونَ لِي قَدْ قَلَّ مَذْهَبُ أَحْمَدَ ** وَكُلُّ قَلِيلٍ فِي الأَنَامِ ضَئِيلٌ
فَقُلْتُ لَهُمْ: مَهْلاً غَلَطْتُمْ بِزَعْمِكُمْ ** أَلَمْ تَعْلَمُوا أَنَّ الكِرَامَ قَلِيلُ
وَمَا ضَرَّنَا أَنَّا قَلِيلُ، وَجَارُنَا ** عَزِيزٌ، وَجَارُ الأَكْثَرِينَ ذَلِيلُ
“Mereka berkata: ‘Sungguh sedikit (pengikut) madzhab Ahmad. Dan setiap minoritas adalah lemah’. Maka saya berkata kepada mereka: ‘Jangan tergesa-gesa! Dugaan kalian salah! Adakah kalian tidak tahu bahwa orang yang mulia berjumlah sedikit?’”
Saat ini madzhab ini berkembang pesat di Najd (Saudi Arabia), yang sebelumnya berkembang pesat di Bagdad pada abad ke-4, terutama pada tahun 323 H.
Dalam perkembangannya di Bagdad, sesuai apa yang disampaikan Ibnul Atsir bahwa pada tahun tersebut, pengikut madzhab Hanbali begitu banyak dan mempunyai kekuatan yang besar. Mereka menggerebek tempat-tempat pelacuran maupun tempat-tempat umum. Jika ditemukan arak, mereka tumpahkan. Jika ditemukan biduwanita, mereka memukulnya dan menghancurkan alat-alat musik. Mereka mengawasi transaksi jual beli. Jika ditemukan lelaki dan perempuan berjalan, mereka tanyakan apa hubungan keduanya. Jika tidak dijawab, mereka membawanya ke polisi dan memberikan kesaksian bahwa ia telah melakukan perbuatan fahisyah (zina).
Mereka menebat fitnah dan permusuhan terhadap pengikut madzhab yang lain, terutama madzhab Syafi’i, sehingga disebutkan bahwa mereka menyerang pengikut madzhab syafi’i, memukulnya dengan tongkat hingga hampir mati. Permasalah khilafiyah antar madzhab mereka dengan madzhab syafi’i semisal qunut subuh, membaca keras basmalah dalam shalat maghrib, isyak dan subuh, ziarah kubur, menghormati ahlul bait, permasalahan bersemayamnya Allah di Arsy dan lain-lain, dijadikan bahan untuk menebar fitnah, membid’ahkan, menfasiqkan dan bahkan mengkafirkan, hingga khalifah Ar-Radli Billah memberikan teguran atas apa yang mereka lakukan.
Tidak perlu diragukan lagi bahwa fitnah semacam ini timbul dari mereka yang mempunyai fanatisme yang berlebih terhadap madzhab, serta akidah mereka yang berbeda dengan yang lain. Tajuddin As-Syubki dalam “Ath-Thabaqat” mengatakan bahwa sebenarnya para pembesar kalangan Hanabilah berakidah asy’ariah, tidak pernah keluar dari akidah ini, kecuali mereka yang kerasukan akidah tajsim. Beliau menambahkan: “Pengikut Mujassimah di kalangan Hanabilah lebih besar dari pada yang lain”.
Wallahu A’lam Bish Shawab