Baik Dan Buruk Semuanya Berdasar Kehendak Allah
Beriman bahwa kebaikan dan keburukan terjadi berdasarkan kehendak Allah hukumnya wajib bagi setiap muslim. Dalam ratibnya, Al-Habib Abdullah...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2013/05/baik-dan-buruk-semuanya-berdasar.html
Beriman bahwa kebaikan dan keburukan terjadi berdasarkan kehendak Allah hukumnya wajib bagi setiap muslim. Dalam ratibnya, Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad mencantumkan kalimah “wal khairu wasy syarru bi masyi’atillah (kebaikan dan keburukan berdasarkan kehendak Allah)” yang merupakan sebuah pernyataan bahwa beliau beriman akan hal itu.
Dalam kitab al-‘Aqidah al-Syaibaniyah disebutkan:
ونؤمن أن الخير والشر كله ** من الله تقديرا على العبد عددا
فما شاء رب العرش كان كما يشاء ** وما لم يشأ لا كان في الخلق موجد
“Kami beriman bahwa kebaikan dan keburukan semunya ditakdirkan Allah untuk hambaNya. Maka apa yang dikehendaki Allah yang menguasai ‘arsy akan terjadi sesuai kehendakNya. Dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terwujud dalam ciptaanNya”.
Banyak ayat al-Quran yang menjelaskan tentang hal ini, diantaranya adalah firman Allah:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ (القمر: 49)
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut qadar”. (QS. Al-Qamar: 49)
Demikian pula dalam hadits, sebagaimana yang disebutkan dalam As-Shahihain:
كل شيء بقضاء وقدر ، حتى العجز والكسل
“Setiap sesuatu (terjadi) berdasarkan qadla’ dan qadar, sampai-sampai sifat lemah dan malas”. (HR. Bukhari Muslim)
Inilah keyakinan Rasulullah SAW dan menjadi keyakinan para ulama salaf, serta dianut sebagian besar umat hingga kini.
Kaum Mu’tazilah mengingkari hal ini. Mereka berpendapat bahwa Allah tidak mungkin menghendaki terjadinya sebuah keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menghendaki keimanan seorang kafir atau ketaatan dari seorang pembuat maksiat. Dengan demikian, -menurut mereka- segala bentuk perbuatan buruk yang dilakukan oleh makhluk bukan berdasar pada kehendak Allah SWT. Padahal terdapat banyak ayat yang bertentangan dengan pendapat mereka, seperti firman Allah:
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ (الأنعام: 125)
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”. (QS. Al-An’am: 125)
Dalam riwayat al-Baihaqi, disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Bakar:
يا أبا بكر ، لو أراد الله إن لا يعصى ما خلق إبليس
“Wahai Abu Bakar!, Jika Allah menghendaki Dia tidak didurhakai, maka Dia tidak akan menciptakan Iblis”. (HR. Al-Baihaqi)
Jika kamu Mu’tazilah mengatakan bahwa kehendak buruk adalah sebuah keburukan, maka itu adalah benar. Akan tetapi jika hal itu dinisbatkan kepada manusia. Jika hal itu dinisbatkan kepada Allah, maka hal tersebut bukan sebuah keburukan. Sebab Dia adalah pemilik segala sesuatu, bebas mengerjakan apa yang Dia kehendaki dan Dia tidak dimintai pertanggungjawaban atas apa yang Dia lakukan.
Firman Allah dalam al-Quran surat An-Nisa’ ayat 79 secara dzahir menjadi dalil dari apa yang menjadi keyakinan kaum Mu’tazilah. Ayat tersebut ialah:
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا (النساء: 79)
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi”. (QS. An-Nisa’: 79)
Yang dijelaskan dalam ayat ini bahwa keburukan tidak disandarkan kepada Allah SWT adalah sebuah pengajaran Allah untuk menjaga adab (tata krama) yang baik kepada Allah, ketika sebuah menyebutkan keburukan secara khusus. Sehingga adalah sebuah adab yang buruk jika kita mengucapkan dalam doa “Wahai dzat yang menciptakan babi!”, meskipun pada hakikatnya Allah yang menciptakannya.
Nabi Ibrahim mengatakan –seperti yang tersebut dalam al-Quran—“Jika aku sakit maka Dia (Allah) yang menyembuhkanku”. Ungkapan nabi Ibrahim ini adalah sebuah adab yang baik kepada Allah. Beliau menisbatkan sakit kepada dirinya dan menisbatkan kesembuhan kepada Allah SWT.
Al-Ghazali mengatakan: “Kami tidak mengatakan kepada Allah ‘Ya Mudzillu’, tetapi kami mengatakan kepadaNya: ‘Ya Mu’izzu Ya Mudzillu’”. Inilah salah satu bentuk adab yang baik kepada Allah dengan tidak menyebutkan keburukan secara khusus kepada Allah SWT.
Dalam kitab Sabilul Hidayah War Rasyad, Sayid Ahmad bin Al-Hasan bin Abdullah al-Haddad –nafa’anallahu bihi—menjelaskan bahwa barang siapa tidak menyandarkan kebaikan dan keburukan kepada kehendak Allah, akan menyebabkan haramnya membaca banyak ayat al-Quran, hadits-hadits, doa-doa nabawi, dan ulasan tentang aqidah, karena di dalamnya banyak dijelaskan tentang masalah ini.
Dalam kitab Qawaid al-‘Aqaid Al-Ghazali mengatakan bahwa segala maksiat dan dosa, jika tidak dikehendaki Allah dan dianggap berdasarkan kehendak iblis, maka yang banyak terjadi di dunia ini adalah apa yang berdasarkan kehendak iblis. Padahal iblis adalah musuh Allah. Maka hal ini adalah bentuk ketidakkuasaan Allah, karena Dia kalah dengan musuhNya. Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan. Wallahu A’lam Bish Shawab.
Disarikan dari Kitab Syarh Ratib Al-Haddad, Karya Al-Habib Alawi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah bin Alawi al-Haddad Ba’alawi