Serabi dan Bulan Rajab
Bulan rajab adalah bulan yang paling afdhol ketiga sesudah Ramadhan dan Muharram. Dibulan ini, tepatnya tanggal 27 rajab umat Islam memp...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2013/05/serabi-dan-bulan-rajab.html
Bulan rajab adalah bulan yang paling afdhol ketiga sesudah Ramadhan dan Muharram. Dibulan ini, tepatnya tanggal 27 rajab umat Islam memperingati kejadian diwajibkannya shalat lima waktu dalam sehari semalam, yakni isra’ mi’raj. Ada banyak keutamaan dalam bulan rajab, diantaranya adalah puasa rajab. Masyarakat Indonesia memperingati Isra’ Mi’raj dengan beragam cara diantaranya dengan menggelar pengajian, mendatangkan muballigh untuk memberikan mau’idhoh hasanah.
Dalam tradisi masyarakat Indonesia ada semacam kenduri pada malam tanggal 27 rajab dengan kue khas apem atau serabi. Disamping untuk memperingati isra’ mi’raj, kenduri ini juga ditujukan untuk kirim doa kepada leluhur yang mendahului. Sejarah awal mula tradisi rajab dengan kue serabi ini masih belum diketahui. Tradisi inipun mulai terkikis oleh perkembangan zaman, sehingga tradisi ini hanya dilakukan oleh sebagian kalangan tua, dan sebagian besar mereka juga tidak tahu apa hikmah, manfaat atau arti filosofi tradisi serabi itu sendiri. Tentu tidak ada hadits yang menjelaskan. Dan ini adalah bid’ah dholalah menurut kaum wahabi.
Dalam tradisi masyarakat Aceh serabi rajab disebut dengan Khanduri Apam, hingga bulan rajab mereka sebut dengan bulan Apam. Menurut tradisi masyarakat di sana kenduri apam ini adalah berasal dari seorang sufi yang amat miskin di Tanah Suci Mekkah. Si miskin yang bernama Abdullah Rajab adalah seorang zahid yang sangat taat pada agama Islam. Berhubung amat miskin, ketika ia meninggal tidak satu biji kurma pun yang dapat disedekahkan orang sebagai kenduri selamatan atas kematiannya. Keadaan yang menghibakan/menyedihkan hati itu; ditambah lagi dengan sejarah hidupnya yang sebatangkara, telah menimbulkan rasa kasihan masyarakat sekampungnya untuk mengadakan sedikit kenduri selamatan di rumah masing-masing. Mereka memasak Apam untuk disedekahkan kepada orang lain. Itulah ikutan tradisi toet Apam (memasak Apam) yang sampai sekarang masih dilaksanakan masyarakat Aceh.
HC Snouck Hurgronje dalam buku Aceh di Mata Kolonial mengemukakan pula versi yang berbeda mengenani latar belakang pelaksanaan kenduri apam ini.
Menurut kisah pernah ada seorang aceh yang ingin mengetahui nasib orang di dalam kubur, terutama tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh malaikat-malaikat kubur munkar Nakir dan hukuman-hukuman yang mereka jatuhkan, ia berpura-pura mati dan dikuburkan hidup-hidup. Segera ia diperiksa oleh malaikat mengenai agama dan amalnya, karena banyak kekurangan maka orang tersebut dipukul dengan pentungan besi. Tetapi pukulan tersebut tidak dapat mengenainya, sebab ada sesuatu yang tidak dapat dilihatnya dengan jelas dalam kegelapan dan mempunyai bentuk seperti bulan seolah-olah melindunginya dari pukulan. Ia berhasil keluar dari tempatnya yang sempit (kuburan) dan segera menemui anggota keluarganya dan terkejut melihatnya kembali. Ketika pengalaman ini diceritakan, diketahuilah bahwa yang menolongnya sewaktu dipukul di kubur bulat seperti bulan adalah kue apam yang sedang dibuat oleh keluarganya.
Kue apam memiliki pengaruh baik terhadap nasib mereka yang meninggal. Sebab itu dapat dikatakan bahwa asal mulanya orang aceh membuat kue apam dan membaginya sebagai kenduri dalam bulan ke 7 dari tahun Hijrah, demi leluhur dan anggota keluarga mereka yang sudah meninggal. Selain itu kenduri apam juga dilaksankan dirumah pada hari ke 7 sesudah orang meninggal, juga kalau terjadi gempa bumi.
Ada lagi yang mengatakan bahwa dasar dilaksanakan kenduri apam pada mulanya ditunjukkan kepada orang laki-laki yang tidak shalat jumat di masjid 3 kali berturut-turut sebagai dendanya diperintahkan membuat kue apam sebanyak 100 buah untuk diantar ke mesjid dan akan dikenduri (dimakan bersama) sebagai sedekah. Dengan seringnya orang membawa kue apam ke mesjid akan menimbulkan rasa malu karena diketahui oleh masyarakat bahwa orang bersangkutan sering meninggalkan kewajiban salat jumat. Dan baru-baru ini ada usulan dari masyarakat Aceh untuk mempraktekkan hal ini bagi lelaki Aceh yang tidak melaksanakan jumatan sampai tiga kali berturut-turut.
Dari berbagai sumber
Dalam tradisi masyarakat Indonesia ada semacam kenduri pada malam tanggal 27 rajab dengan kue khas apem atau serabi. Disamping untuk memperingati isra’ mi’raj, kenduri ini juga ditujukan untuk kirim doa kepada leluhur yang mendahului. Sejarah awal mula tradisi rajab dengan kue serabi ini masih belum diketahui. Tradisi inipun mulai terkikis oleh perkembangan zaman, sehingga tradisi ini hanya dilakukan oleh sebagian kalangan tua, dan sebagian besar mereka juga tidak tahu apa hikmah, manfaat atau arti filosofi tradisi serabi itu sendiri. Tentu tidak ada hadits yang menjelaskan. Dan ini adalah bid’ah dholalah menurut kaum wahabi.
Dalam tradisi masyarakat Aceh serabi rajab disebut dengan Khanduri Apam, hingga bulan rajab mereka sebut dengan bulan Apam. Menurut tradisi masyarakat di sana kenduri apam ini adalah berasal dari seorang sufi yang amat miskin di Tanah Suci Mekkah. Si miskin yang bernama Abdullah Rajab adalah seorang zahid yang sangat taat pada agama Islam. Berhubung amat miskin, ketika ia meninggal tidak satu biji kurma pun yang dapat disedekahkan orang sebagai kenduri selamatan atas kematiannya. Keadaan yang menghibakan/menyedihkan hati itu; ditambah lagi dengan sejarah hidupnya yang sebatangkara, telah menimbulkan rasa kasihan masyarakat sekampungnya untuk mengadakan sedikit kenduri selamatan di rumah masing-masing. Mereka memasak Apam untuk disedekahkan kepada orang lain. Itulah ikutan tradisi toet Apam (memasak Apam) yang sampai sekarang masih dilaksanakan masyarakat Aceh.
HC Snouck Hurgronje dalam buku Aceh di Mata Kolonial mengemukakan pula versi yang berbeda mengenani latar belakang pelaksanaan kenduri apam ini.
Menurut kisah pernah ada seorang aceh yang ingin mengetahui nasib orang di dalam kubur, terutama tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh malaikat-malaikat kubur munkar Nakir dan hukuman-hukuman yang mereka jatuhkan, ia berpura-pura mati dan dikuburkan hidup-hidup. Segera ia diperiksa oleh malaikat mengenai agama dan amalnya, karena banyak kekurangan maka orang tersebut dipukul dengan pentungan besi. Tetapi pukulan tersebut tidak dapat mengenainya, sebab ada sesuatu yang tidak dapat dilihatnya dengan jelas dalam kegelapan dan mempunyai bentuk seperti bulan seolah-olah melindunginya dari pukulan. Ia berhasil keluar dari tempatnya yang sempit (kuburan) dan segera menemui anggota keluarganya dan terkejut melihatnya kembali. Ketika pengalaman ini diceritakan, diketahuilah bahwa yang menolongnya sewaktu dipukul di kubur bulat seperti bulan adalah kue apam yang sedang dibuat oleh keluarganya.
Kue apam memiliki pengaruh baik terhadap nasib mereka yang meninggal. Sebab itu dapat dikatakan bahwa asal mulanya orang aceh membuat kue apam dan membaginya sebagai kenduri dalam bulan ke 7 dari tahun Hijrah, demi leluhur dan anggota keluarga mereka yang sudah meninggal. Selain itu kenduri apam juga dilaksankan dirumah pada hari ke 7 sesudah orang meninggal, juga kalau terjadi gempa bumi.
Ada lagi yang mengatakan bahwa dasar dilaksanakan kenduri apam pada mulanya ditunjukkan kepada orang laki-laki yang tidak shalat jumat di masjid 3 kali berturut-turut sebagai dendanya diperintahkan membuat kue apam sebanyak 100 buah untuk diantar ke mesjid dan akan dikenduri (dimakan bersama) sebagai sedekah. Dengan seringnya orang membawa kue apam ke mesjid akan menimbulkan rasa malu karena diketahui oleh masyarakat bahwa orang bersangkutan sering meninggalkan kewajiban salat jumat. Dan baru-baru ini ada usulan dari masyarakat Aceh untuk mempraktekkan hal ini bagi lelaki Aceh yang tidak melaksanakan jumatan sampai tiga kali berturut-turut.
Dari berbagai sumber