Aurangzeb dan Pemerintahan Islam Mughal di India
Begitu pedih ketika mengingat kembali kehancuran Bagdad akibat invasi pasukan Tartar Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan. Invasi ini men...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2013/06/aurangzeb-dan-pemerintahan-islam-mughal.html
Begitu pedih ketika mengingat kembali kehancuran Bagdad akibat invasi pasukan Tartar Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan. Invasi ini menghakhiri kekuasaan Dinasti Abbasiah yang saat itu dipimpin oleh Khalifah Al-Mu’tashim, setelah berkuasa selama lebih dari 500 tahun. Akan tetapi dengan penyerangan kaum Mongol ke wilayah Islam menjadikan Islam masuk ke dalam jiwa-jiwa para penjagal itu.
Di anak benua India pernah terdapat kerajaan Islam yang besar yang didirikan oleh keturunan raja Mongol. Kerajaan ini berkuasa selama kurang lebih tiga abad. Dalam kurun waktu tersebut Islam telah memberi warna di tengah masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Gaung kebesaran Islam masih terlihat hingga kini, seperi Taj Mahal, serta istana dan masjid-masjid megah dengan arsitektur yang bernilai tinggi dan menjadi acuan bagi kemajuan arsitektur modern. Di samping itu populasi muslim di anak benua India ini merupakan salah satu populasi muslim terbesar di dunia. Inilah kerajaan Mughal atau Mogul yang didirikan oleh Zahiruddin Babur pada tahun 1526 M, yang merupakan cucu dari Timur Lenk dari pihak ayah dan cucu Jengis Khan dari pihak ibu. Kerajaan ini beribukota di Delhi India.
Salah satu raja Mughal yang mengantarkan kerajaan Mughal kepada sebuah kejayaan adalah Abul Muzaffar Muhyiddin Muhammad Aurangzeb Alamgir. Ia memerintah Mughal selama 47 tahun sejak tahun 1659 hingga 1707.
Dalam catatan sejarawan, secara umum pemerintahan Muslim di India menampilkan kesimpulan yang berbeda-beda sesuai dengan perspektif mereka dalam menyajikan karakter sejarah. Sebagai pemimpin dianggap sebagai pemimpin besar, dan sebagian lain dianggap sebagai pemimpin tiran yang kejam. Kaisal Aurangzeb Alamgir adalah salah seorang pemimpin Mughal yang dianggap oleh sejarawan sebagai pemimpin yang kontroversial, kejam dan intoleran.
Menurut pandangan kalangan Hindu dan Sikh, Aurangzeb dipandang sebagai kaisar bengis, memberlakukan kebebasan terbatas, pemeras, dan memberlakukan rezim agama yang intoleran, sebagaimana diadopsi oleh para sejarawan pada umumnya. Namun, pada hakikatnya Kaisar Aurangzeb adalah orang yang religius, dan adil, lebih dari seorang raja.
Memandang latar belakang kehidupan awal Aurangzeb adalah sangat penting ketika dalam masa pemerintahannya selama 49 tahun, kerajaan Mughal setelah 150 tahun bercokol di India menjadi sebuah kerajaan yang berada di puncak kejayaan, yang menguasai sebagian besar wilayah anak benua India, dan menjadi salah satu negara terkaya di dunia.
Aurangzeb lahir pada tahun 1618 dalam lingkungan istana dengan kekayaan yang berlimpah. Ayahnya adalah Kaisar Shah Jehan yang membangun Taj Mahal di Agra, sebuah bangunan makam yang sangat indah yang dipersembahkan untuk ibunya, Mumtaz Mahal. Namun, di tengah kemewaan istana dan bergelimangnya harta, Aurangzeb dididik ayahnya dengan pendidikan yang baik. Ia dikirim kepada para ulama untuk menimba ilmu agama, hingga dalam usia muda ia sudah menjadi seorang yang menguasai berbagai disiplin ilmu, al-Qurah, hadits, fiqh dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Ia juga terlatih dalam seni kaligrafi. Beberapa hasil karya kaligrafinya masih ada hingga kini.
Ketika Aurangzeb diangkat menjadi penguasa Mughal menggantikan ayahnya, ia berkomitmen untuk membawa Mughal kepada pemerintahan Islam, setelah sebelumnya tidak begitu mewarnai dalam permerintahan. Saat pemerintahan dirinyalah sebuah kodifikasi hukum islam diterbitkan sebagai sarana rujukan penerapan hukum islam. Buku setebal 6 jilid ini disusun oleh Lajnah Ulama Mughal yang dipimpin oleh Nizamuddin Al-Balkhi. Al-Fatawa Al-Hindiyah, begitu buku kodifikasi hukum Islam berdasar madzhab Imam Hanafi ini dikenal.
Aurangzeb mengirimkan kitab fatawa ini ke seluruh penjuru kekuasaannya, untuk memberlakukan hukum Islam. Alcoholisme diberantas, perjudian dan prostitusi diperangi, pajak-pajak dihapuskan, dan acara-acara yang mengandung kemunkaran, baik yang dilakukan masyarakat maupun pemerintah dihapuskan.
Prestasi Aurangzeb dalam mengisi pemerintahan dan warna Islam memang tidak dapat dibantah lagi. Tetapi sebagian para ahli sejarah dan kalangan akademisi masih tetap bersuara lantang, bahwa warisan Aurangzeb bagi rakyat India adalah intoleransi dan penindasan. Ia sering disebut sebagai penggusur kuil, pembunuh non muslim dan sewenang-wenang kepada rakyatnya.
Namun sebenarnya, sikap Aurangzeb tidaklah demikain. Ia tidak pernah bertindak sewenang-wenang, tidak pernah bersikap diskriminatif dan tidak pernah melakukan perbuatan yang bersifat Intoleransi. Hal ini dapat dibuktikan dengan struktur pemerintahannya yang majemuk. Puluhan pemeluk Hindu dan Sikh bekerja di Istana sebagai pejabat, penasihat dan anggota militer. Maka, dari sini jelas, bahwa Aurangzeb bukan seorang yang kaku dalam beragama yang serta merta menolak kontribusi non muslim.
Isu negatif lainnya yang ditudingkan kepada Aurangzeb adalah, masa pemerintahannya diwarnai dengan penghancuran kuil-kuil Hindu dan Shikh serta menolak adanya pembangunan rumah ibadah yang baru. Hal ini seolah-olah menjadi fakta sejarah yang tak terbantahkan.
Perlu diketahui, penjagaan dan pelestarian candi dan kuil oleh umat Islam –dengan standar legal dalam hukum Islam- telah berlangsung sekian lama. Pasukan Islam pertama kali datang ke India pada tahun 711 M di bawah pimipinan Muhammad bin Qasim yang telah memberikan jaminan beragama dan keamanan pada kuil-kuil Hindu dan Budha. Aturan yang sama pun diberlakukan selama ratusan tahun sebelum kerajaan Mughal berkuasa. Aurangzeb tidak mengabaikan hukum-hukum Islam terhadap kelompok minoritas atau kelompok mayoritas yang tidak memiliki kekuasaan. Ia juga mengetahui bahwa syariat Islam melarang penodaan-penodaan terhadap tempat ibadah. Ia mengatakan, “Menurut keyakinan dan syariat Islam, kuil-kuil yang merupakan peninggalan zaman sebelumnya tidak selayaknya dihancurkan.”
Jika Aurangzeb berkeyakinan bahwa penghancuran kuil-kuil atau tempat peribadatan adalah bertentangan dengan syariat Islam, lalu bagaimana isu bahwa ia melakukan pengrusakan bisa muncul? Jawabannya adalah hal tersebut merupakan kebohongan yang dibuat-buat oleh lingkungan politik kuil.
Perlu diketahui, kuil-kuil Hindu dan Shikh bukan hanya tempat untuk beribadah semata, akan tetapi kuil juga memiliki pengaruh politik yang siknifikan. Kuil berfungsi sebagai pusat perpolitikan dan bagian dari negara, kepala kuil juga bekerja kepada pemerintah. Saat raja-raja Mughal atau raja Hindu di luar daerah Mughal ingin mendekati rakyat, maka mereka terlebih dahulu mendekati tokoh-tokoh agama di kuil untuk mendapatkan simpatik dari rakyat di wilayah tersebut. Dengan demikian, kuil pada saat itu lebih dari sekedar bangunan yang bersifat religius, akan tetapi ia juga merupakan sebuah potensi untuk menggapai pengaruh politik.
Setelah mengetahui fungsi kuil yang signifikan, barulah kita membahas dan memahami mengapa Aurangzeb sampai menghancurkan kuil-kuil tertentu. Tidak ada catatan minor dalam sejarah yang mengisahkan bahwa Aurangzeb menghancurkan kuil di India secara serampangan. Kuil-kuil yang ia hancurkan benar-benar telah diputuskan dengan kebijakan yang matang dan juga hanya sebagian kecil dari total kuil-kuil Hindu yang ada di India. Keputusan penghancuran kuil itu tidak dilandasi oleh sentiment keagamaan, akan tetapi lebih kepada faktor politik yang dapat membahayakan stabilitas kerajaan dan masyarakat Mughal.
Kepala-kepala suku dan tokoh-tokoh agama mengadakan pemberontakan di masa Aurangzeb juga dilatarbelakangi kekecewaan mereka terhadap kepemimpinan Shah Jahan –ayah Aurangzeb- yang mengutamakan kemewahan dan menyebabkan himpitan perekonomian. Ketika pemberontakan pecah di salah satu wilayah Mughal, maka kuil-kuil setempat merupakan corong utama yang memprovokasi masyarakat untuk mengadakan pemberontakan. Oleh karena itu, selama pemimpin pemberontakan ada dan kuil-kuil pendukung mereka tetap eksis, maka stabilitas keamanan di wilayah Mughal akan sulit diwujudkan.
Oleh karena itu ditegakkan aturan, perang terhadap para pemberontak berkonsekuensi menghancurkan tempat pemberontakan itu dirancang, yaitu kuil. Contohnya adalah pemberontakan yang terjadi pada tahun 1669 M, di Banaras yang dipimpin oleh rival politik Mughal, Shivaji. Ia menggunakan kuil setempat untuk mendukung aksinya. Setelah memberantas kelompok Shivaji, Aurangzeb menghancurkan kuil di Banaras yang digunakan sebagai tempat penyusunan strategi untuk memberontak kepada pemerintah. Peristiwa serupa juga terjadi pada tahun 1670 M di Mathura, pemberontak di daerah tersebut membunuh tokoh-tokoh agama Islam. Metode pemberantasan yang sama diterapkan Aurangzeb, yakni menghancurkan kuil yang menyeponsori pemberontakan tersebut.
Dengan demikian, kebijakan penghancuran kuil-kuil Hindu ini adalah sebuah hukuman bagi orang-orang Hindu yang telah berhianat kepada negara, bukan sebagai bentuk intoleran yang dilakukan oleh Aurangzeb.
Dari berbagai Sumber