Membedah Tauhid Ala Wahabi
Di kalangan kaum Wahabi ada faham bahwa tauhid terbagi menjadi tiga. Pertama, Tauhid Rububiyah, yaitu iman kepada Allah sebagai satu-satunya...
http://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2011/06/membedah-tauhid-ala-wahabi.html
Di kalangan kaum Wahabi ada faham bahwa tauhid terbagi menjadi tiga. Pertama, Tauhid Rububiyah, yaitu iman kepada Allah sebagai satu-satunya pencipta (al-Khaliq), penguasa(al-Malik), dan pengatur seluruh makhluk (al-Mudabbir). Kedua, Tauhid Uluhiyah, yaitu meyakini bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah. Dan ketiga, Tauhid al-Asma wa al-Shifat, yaitu menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur'an dan hadits, tanpa melakukan ta’thil (penolakan), tahrif (perubahan dan penyimpangan lafadz dan makna), tamtsil (penyerupaan) dan takyif (menanya terlalu jauh tentang sifat Allah).
Menyikapi pembagian tauhid ala Wahabi tersebut, Syeikh Salim Alwan al-Hasani , Mufti Australia mengatakan, bahwa menurut Ulama Ahlussunnah, pembagian tauhid menjadi tiga yang dilakukan oleh sebagian orang adalah bid’ah yang batil dan munkar. Pembagian tersebut tidak ada di dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Tidak pula dikatakan oleh seorangpun ulama salaf ataupun ulama yang mu’tabar. Pembagian tersebut hanya dilakukan oleh kelompok musyabbihah zaman ini (kaum wahabi.red) meskipun mereka mengira bahwa mereka memerangi bid’ah.
Di dalam majalah Nurul Islam yang di terbitkan oleh Ulama al-Azhar Mesir (edisi Rabiul Akhir 1352 H), al-Imam Yusuf al-Dijwi al-Azhari mengatakan, bahwa perkataan mereka bahwa tauhid terbagi menjadi tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah adalah pembagian yang tidak dikenal oleh seorangpun sebelum Ahmad ibn Taimiyah dan pembagian (tersebut) adalah pembagian yang tidak masuk akal.
Dalam pembagian tauhid menjadi tiga ala Wahabi di atas, sekilas memang tidak ada masalah. Karena setiap muslim memang wajib meyakini seluruh yang terkandung dalam makna ketiga pembagian tersebut. Namun permasalahannya adalah ketika kita meneliti, ternyata kaum Wahabi mempunyai maksud tertentu dibalik pembagian tauhid tersebut. Kaum Wahabi mengklasifikasikan tauhid menjadi tiga bukan tidak ada maksud dan tujuan.
Untuk istilah tauhid rububiyah dan uluhiyah mereka jadikan kaidah untuk mengkafirkan kaum muslimin yang melakukan tawassul dan tabarruk. Karena kaum muslimin yang melakukan tawassul dan tabarruk mereka anggap telah menyembah selain Allah dan ini berarti telah menyalahi yang mereka sebut sebagai tauhid uluhiyah. Bahkan mereka berani mengatakan bahwa Abu Jahal, Abu Lahab dan kaum musyrikin lainnya beriman kepada Allah dan ber-tauhid rububiyah. Mereka sama sekali tidak menyekutukan Allah dalam hal ini. Lebih parah lagi mereka mengatakan bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab Tauhid-nya lebih banyak dan keimanannya lebih murni dibandingkan dengan kaum muslimin yang bertawassul dengan para auliya’ dan shalihin dan memohon syafa’at kepada Allah sebab mereka. (Lihat kitab Kaifa Nafhamu al Tauhid karangan Muhammad Ahmad Basyamil, hal: 16). Bukankah ini pengkafiran terhadap kaum muslimin secara membabi buta? Bukankah mayoritas kaum muslimin mulai dari zaman Nabi, sahabat, dan salaf yang saleh sampai sekarang melakukan tawassul dan tabarruk?
Adapun istilah Tauhid al-Asma wa al-Shifat mereka jadikan kaidah untuk mengkafirkan kaum muslimin yang melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Mereka menganggap bahwa kaum muslimin yang melakukan ta’wil telah melakukan ta’thil (penolakan) terhadap shifat-shifat Allah. Karena mereka mempunyai kaidah “Takwil adalah Ta’thil”. Sementara kita tahu bahwa barang siapa yang melakukan ta’thil berarti kafir. Jadi menurut mereka barang siapa yang men-ta’wil ayat-ayat shifat berarti kafir. Menurut mereka apabila kita menta’wil lafal istawa dalam al-Qur’an dengan Qahara atau istaula (menguasai) berarti kita telah melakukan ta’thil dan tahrif. Dan ini berarti menurut mereka, kita adalah kafir. Padahal ta’wil model seperti ini juga dilakukan oleh sebagian ulama salaf, diantaranya adalah Ibn Jarir al-Thabari dalam Tafsir-nya.
Klasifikasi tauhid rububiyah dan uluhiyah bertentangan dengan hadits mutawatir yang diriwayatkan sekelompok sahabat termasuk didalamnya adalah sepuluh orang yang dijamin masuk surga. Hadits ini diriwayakan al Bukhari dalam kitab Shahih-nya bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwasanya tiada tuhan yang wajib disembah melainkan Allah (la ilaha illallah) dan sesungguhya aku adalah utusan Allah……...”
Dalam hadits ini Rasulullah menganggap cukup akan keislaman seseorang yang telah mengakui akan keesaan Allah dalam ketuhanan (uluhiyah) dan mengakui beliau sebagai Rasulullah. Adapun kaum Wahabi mensyaratkan akan keislaman seseorang tidak hanya dengan pengakuan terhadap tauhid rububiyah saja tapi harus mengakui juga terhadap tauhid uluhiyah, padahal antara tauhid rububiyah dan uluhiyah tidak ada bedanya dalam pandangan syara’.
Menurut Imam al-Haddad disebutkan, tauhid uluhiyah masuk dalam keumuman tauhid rububiyah dengan dalil bahwasanya ketika Allah mengambil perjanjian (mitsaq) dengan keturunan Nabi Adam, Allah mengatakan, "Alastu birabbikum (bukankah Aku Tuhan kalian)?" Dalam hal ini Allah tidak mengatakan, alastu biilahikum, karena Allah menganggap cukup dengan tauhid rububiyah tersebut dari mereka. Sudah maklum bahwa orang yang menetapkan ke-rububiyah-an Allah berarti ia juga mengakui akan ke-uluhiyah-an-Nya. Karena rabb pasti ilah, dan ilah pasti rabb, yaitu sama-sama bermakna Dzat Yang Wajib Disembah.
Di dalam hadits juga disebutkan bahwa ketika Malaikat Munkar dan Nakir ketika bertanya kepada orang yang meninggal, mereka berkata, “Man Rabbuka? (siapa Tuhanmu),” tanpa menambah dengan pertanyaan, “Man ilahuka?". Wallahu a'lam.
Ditulis Oleh : Ust. Mastur, Lc; Dosen STAIFAS Kencong