Merajut Ukhuwah Tanpa Kacaukan Aqidah
Maraknya wacana-wacana baru di bidang keagamaan, seperti halnya di berbagai bidang yang lain, tentu tidak lepas dari pengaruh Barat yang ...
http://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2011/09/merajut-ukhuwah-tanpa-kacaukan-aqidah.html
Maraknya wacana-wacana baru di bidang keagamaan, seperti halnya di berbagai bidang yang lain, tentu tidak lepas dari pengaruh Barat yang terus menguat, mendominasi, melemahkan, dan melumpuhkan bangsa-bangsa inferior, termasuk Indonesia. Pada level pemikiran, bangsa-bangsa di Dunia Ketiga seakan terisolasi, dan pemikiran mereka nyaris tak bisa berkembang melampaui batas-batas pemikiran hegemonik yang mengitarinya, yakni pemikiran Barat Sekular.
Secara garis besar, Dr Hamid Fahmi Zarkasyi mengklasifikasi peradaban Barat pada dua periode penting, yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan pada abad pencerahan, abad industri, dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-cirinya adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara berfikir dikotomis, desakralisasi, pragamatisme, dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Modernisme yang terkadang disebut Westernisme juga membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme, liberalisme, sekularisme, dan sebagainya.
Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya. Postmodernisme berbeda dari modernisme, karena ia telah bergeser pada paham-paham baru, seperti nihilisme, relativisme, pluralisme, dan persamaan gender, dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme, dan pluralismenya. Itulah sekurang-kurangnya elemen penting peradaban Barat yang kini sedang menguasai dunia.
Namun kendati bagaimana pun, para pakar agaknya bersepakat bahwa elemen terpenting dari suatu peradaban adalah agama. Huntington misalnya, menyatakan bahwa, “Agama adalah sentral yang menentukan karakteristik peradaban-peradaban.” Barangkali bertolak dari titik ini, dalam Clash of Civilization selanjutnya ia menunjuk Islam sebagai ancaman paling serius bagi Barat, setelah tumbangnya Komunisme.
Pernyataan Huntington di atas memberikan kejelasan bahwa hingga detik ini mesti terus disadari jika kita masih ada dalam zona perang pemikiran (ghazwu al-fikr). Nah, di sinilah kemudian pluralisme, salah satu unsur yang membentuk peradaban Barat, bermain. Disadari atau tidak, saat ini isme tersebut kini telah menjadi salah satu konsep pemikiran yang—sayangnya—ditangkap secara mentah justru oleh masyarakat Muslim level menengah ke atas.
Secara terminologis, pluralisme agama berarti hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti luas) yang berbeda-beda dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama. Namun dari segi konteks di mana “pluralisme agama” sering digunakan dalam studi-studi dan wacana-wacana sosio-ilmiah pada era modern, istilah ini telah menemukan definisinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula, bahwa pluralisme agama, sebagaimana ditegaskan oleh Jon Hick, adalah sebuah faham bahwa agama merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama adalah sama, tak ada yang lebih baik dari yang lain.
Sangat jelas, bahwa rumusan Hick tentang pluralisme agama di atas adalah berangkat dari pendekatan substantif, yang mengungkung agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial. Dengan demikian, telah terjadi pengebirian dan reduksi pengertian agama yang sangat dahsyat. Sesungguhnya pemahaman agama yang reduksionistik inilah yang merupakan pangkal permasalahan sosio-teologis modern yang sangat akut dan kompleks yang tidak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan agama itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbit yang sebenarnya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komprehensif, tak reduksionistik.
Akan tetapi sungguh mengejutkan, sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Anis Malik Toha, ternyata pemahaman reduksionistik inilah yang justru semakin populer dan bahkan diterima di kalangan para ahli dari berbagai disiplin ilmu dan pemikiran yang berbeda, hingga menjadi sebuah fenomena baru dalam dunia pemikiran manusia yang secara diametral berbeda dengan apa yang sudah dikenali secara umum.
Kenyataan bahwa setiap agama menghendaki kedamaian antar-umat manusia, tidak mengajarkan huru-hara dan pertumpahan darah, tidak lantas bisa disimpulkan bahwa setiap agama dalam tataran esoteris adalah sama, dan dengan begitu pluralisme agama adalah sebuah keniscayaan yang tak perlu disangkal.
Menyatakan ajaran-ajaran tersebut adalah bagian dari doktrin setiap agama adalah benar, namun menyimpulkan paham pluralitas keagamaan dari bagian doktrin agama tersebut adalah keliru total. Sebab ajaran-ajaran tersebut tidaklah mewakili agama secara keseluruhan. Selain mengajarkan kedamaian, setiap agama juga punya konsep Kebenaran, konsep Tuhan, Kitab Suci, syariat, dan tata-nilai yang berbeda-beda. Nah, kesatuan dari unsur-unsur doktrin, ajaran, dan tata-nilai itulah yang disebut agama. Maka adalah tidak proporsional jika dengan segelintir persamaan dan segudang perbedaan, lalu yang jadi dominan adalah persamaannya, kemudian dengan enteng dinyatakan bahwa setiap agama adalah sama, dan dengan demikian kebenaran ada pada setiap agama. Karenanya, mengharapkan kedamaian dengan pluralisme agama adalah suatu estimasi (perkiraan) yang tidak realistis.
Tidak jauh berbeda dengan pluralisme agama, adalah pemikiran pluralisme sekte dalam agama (Islam). Jika dilakukan pembacaan secara historis atau sosio-politis, pluralisme sekte tidaklah terjadi akibat kontak dengan Barat, sebagaimana pluralisme agama. Sebab sekte-sekte dalam Islam telah berkembang pada periode awal. Jadi, pemikiran pluralistis dalam lingkup ini (antar sekte) muncul dari umat Islam sendiri, barangkali untuk meredam konflik yang rentan terjadi.
Mengenai hal ini, Ahmad Amin dalam Dhuru al-Islâm agaknya menilai bahwa pemikiran seperti ini mulai berkembang sejak abad pertengahan, setidaknya sejak al-Anbari mengambil keputusan untuk abstain dan tidak menyalahkan akidah siapa pun, baik Jabariyah maupun Qadariyah. “Orang yang bilang status pezina adalah mukmin tentu benar, yang menuduh ia kafir juga tak bisa disalahkan, begitu pula yang mengklaim fasik atau munafik. Sebab al-Quran memang berisyarat pada arti-arti yang beragam itu," demikian kata al-Anbari.
Nah, saat ini, sikap yang semula dimunculkan al-Anbari ini agaknya mengalami perkembangan mengiringi perkembangan pluralisme agama. Ketika pluralisme agama meniscayakan untuk mengikis habis agama-agama yang ada, maka pluralisme antar-sekte meniscayakan seseorang untuk melepaskan akidah masing-masing, sehingga dengan demikiran diharapkan tidak ada pertikaian masalah akidah yang tidak perlu dan seringkali merugikan.
Sebetulnya, di sini para pemeluk faham pluralisme sekte salah perhitungan dan terjebak dalam sikap absolutisme yang arogan. Hal ini dapat diperjelas dengan beberapa alasan. Pertama, dapat dipastikan bahwa siapa pun tidak bisa lepas dari suatu nilai yang dianggapnya benar secara mutlak. Jadi, mereka yang mengajak setiap orang untuk keluar dari akidah yang mereka yakini, sebetulnya juga mengajak untuk masuk pada akidah baru yang bernama “pluralisme sekte”. Kedua, berdasarkan alasan pertama, maka keberadaan akidah merupakan perangkat yang paling mendasar dalam diri setiap penganut sekte. Jika perangkat ini hilang, maka seseorang tidak bisa dikatakan lepas dari setiap ideologi (akidah), sebab dapat dipastikan jika ia akan masuk pada ideologi baru yang diyakini kebenarannya secara mutlak. Jika tidak pada pluralisme sekte, maka ia akan masuk pada faham agnostisisme atau “tidak tahu-isme” (al-lâ adriyah).
Dengan demikian, para penganjur pluralisme sekte berupaya untuk keluar dari segenap ideologi, namun tanpa disadari ternyata ia masuk pada ideologi yang lain. Maka, keyakinan bahwa “hanya firqah dan kelompok saya yang benar” adalah hal yang fitrah dan karenanya tak perlu dirisaukan. Kita tinggal menunggu untuk membuktikan, apakah kebenaran itu mampu melewati seleksi dan mampu mengatasi ujian waktu atau tidak?
Kenyataan ini sesungguhnya telah membuyarkan mimpi kalangan yang “mendambakan” terjalinnya persatuan umat dengan cara mengikis habis warna-warna ideologis yang disandang masing-masing sekte dan golongan tadi. Sebab selain tidak mungkin dan absurd, dengan logika tadi, sejatinya kalangan ini hendak menarik setiap sekte untuk masuk pada ideologinya sendiri, yang diyakini kebenarannya secara mutlak. Sahingga yang terjadi di sini bukan ajakan untuk berjalan bersama, namun tetap pada konflik pemikiran dan ideologi yang terjadi sebelumnya. Artinya, penganjur “persatuan umat” yang memberikan solusi agar mengacuhkan keyakinan-keyakinan ideologis itu, sejatinya juga larut dalam peperangan ideologis dan pemikiran yang tengah terjadi. Ini adalah hal yang riil dan tidak bisa dipungkiri.
Alhasil, menciptakan persatuan, kebersamaan, kehidupan tenteram, dan suasana damai dalam dunia Islam, di samping keberagaman sekte yang selalu tarik-menarik dengan keyakinan akan “kebenaran” masing-masing, sejatinya bukanlah proyek yang tabu atau fiktif. Mengupayakan kemajuan dan kejayaan peradaban Islam di tengah kotak-kotak sekte, dengan tetap mempertahankan akidah, keyakinan, dan kebenaran versi masing-masing, adalah hal yang sangat mungkin dicapai, baik secara logis maupun historis. Justru adalah absurd, jika mimpi persatuan itu diharapkan muncul dari ranah yang memang berhadap-hadapan secara diametral. Bagaimana mungkin dapat dipersatukan jika standar yang mungkin dipakai untuk itu (akidah) juga berbeda? Tidakkah upaya sedemikian nantinya malah berbuah kekacauan akidah?
Maka, kesadaran akan perbedaan akidah ini, barangkali memang mengharuskan kita untuk mencari celah ukhuwah di ranah lain, yakni pada ranah non-teologis atau administratif. Bahwa dalam konteks pluralitas (bukan pluralisme) agama di Madinah pada masa Rasulullah saw, Islam menawarkan pendekatan non-teologis dalam rangka melakukan harmonisasi antara Islam dan non Muslim. Karena secara teologis, Islam sudah tuntas, final, dan tak perlu dilakukan pembahasan ulang, sehingga penyelesaian yang mendesak adalah penyelesaian praktikal administratif; bagaimana mengatur kehidupan bersama, berdampingan, saling membantu, dan kerjasama. Semua itu dilakukan di luar ranah teologis, dan aturan-aturan administratif itu diwujudkan dalam bentuk Piagam Madinah (Dustûr al-Madînah). Jadi, pada masa Rasulullah saw, Piagam Madinah mengatur hubungan antara umat beragama secara administratif, dan tak menyinggung masalah teologis sama sekali.
Maka, seperti halnya kenyataan akan pluralitas agama, pluralitas sekte dalam agama (Islam) juga membutuhkan toleransi, sehingga di sini, toleransi adalah suatu hajat bagi setiap individu sekte-sekte agama yang ada. Mereka tak mungkin eksis tanpa adanya toleransi, dan di sini, pemersatuan secara administratif (aspek non-teologis) adalah langkah yang paling mungkin untuk ditempuh dalam rangka memupuk toleransi dan harmoni antar-sekte tersebut. Namun yang perlu diperhatikan adalah, bahwa toleransi bukanlah pluralisme antar-sekte. Toleransi hanya sebatas menghargai mereka yang memiliki keyakinan lain dan tidak mengganggu hak-hak hidupnya.
Jadi secara historis, ukhuwah seperti itu sudah dibuktikan oleh sejarah, dengan keberhasilan Nabi Muhammad saw dalam membina masyarakat madani di Madinah, di tengah keberagaman agama: Islam, Yahudi, Kristen, Majusi, dll. Demikian pula halnya pada periode Khulafâ’ ar-Râsyidûn dan dinasti-dinasti Islam selanjutnya, seperti kegemilangan pemerintahan Islam di Spanyol, yang berhasil membangun peradaban yang paling unggul di Eropa di tengah keberagaman agama: Islam, Yahudi, dan Kristen. Nah, jika pada skala yang lebih besar (perbedaan antar agama) perdamaian dapat dicapai, maka secara logis, pada lingkup yang lebih kecil (perbedaan antar sekte), perdamaian, kemajuan, dan bahkan kejayaan peradaban Islam sangat mungkin untuk diraih. Allâhu al-Musta‘ân.
Secara garis besar, Dr Hamid Fahmi Zarkasyi mengklasifikasi peradaban Barat pada dua periode penting, yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan pada abad pencerahan, abad industri, dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-cirinya adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara berfikir dikotomis, desakralisasi, pragamatisme, dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Modernisme yang terkadang disebut Westernisme juga membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme, liberalisme, sekularisme, dan sebagainya.
Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya. Postmodernisme berbeda dari modernisme, karena ia telah bergeser pada paham-paham baru, seperti nihilisme, relativisme, pluralisme, dan persamaan gender, dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme, dan pluralismenya. Itulah sekurang-kurangnya elemen penting peradaban Barat yang kini sedang menguasai dunia.
Namun kendati bagaimana pun, para pakar agaknya bersepakat bahwa elemen terpenting dari suatu peradaban adalah agama. Huntington misalnya, menyatakan bahwa, “Agama adalah sentral yang menentukan karakteristik peradaban-peradaban.” Barangkali bertolak dari titik ini, dalam Clash of Civilization selanjutnya ia menunjuk Islam sebagai ancaman paling serius bagi Barat, setelah tumbangnya Komunisme.
Pernyataan Huntington di atas memberikan kejelasan bahwa hingga detik ini mesti terus disadari jika kita masih ada dalam zona perang pemikiran (ghazwu al-fikr). Nah, di sinilah kemudian pluralisme, salah satu unsur yang membentuk peradaban Barat, bermain. Disadari atau tidak, saat ini isme tersebut kini telah menjadi salah satu konsep pemikiran yang—sayangnya—ditangkap secara mentah justru oleh masyarakat Muslim level menengah ke atas.
Secara terminologis, pluralisme agama berarti hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti luas) yang berbeda-beda dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama. Namun dari segi konteks di mana “pluralisme agama” sering digunakan dalam studi-studi dan wacana-wacana sosio-ilmiah pada era modern, istilah ini telah menemukan definisinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula, bahwa pluralisme agama, sebagaimana ditegaskan oleh Jon Hick, adalah sebuah faham bahwa agama merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama adalah sama, tak ada yang lebih baik dari yang lain.
Sangat jelas, bahwa rumusan Hick tentang pluralisme agama di atas adalah berangkat dari pendekatan substantif, yang mengungkung agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial. Dengan demikian, telah terjadi pengebirian dan reduksi pengertian agama yang sangat dahsyat. Sesungguhnya pemahaman agama yang reduksionistik inilah yang merupakan pangkal permasalahan sosio-teologis modern yang sangat akut dan kompleks yang tidak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan agama itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbit yang sebenarnya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komprehensif, tak reduksionistik.
Akan tetapi sungguh mengejutkan, sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Anis Malik Toha, ternyata pemahaman reduksionistik inilah yang justru semakin populer dan bahkan diterima di kalangan para ahli dari berbagai disiplin ilmu dan pemikiran yang berbeda, hingga menjadi sebuah fenomena baru dalam dunia pemikiran manusia yang secara diametral berbeda dengan apa yang sudah dikenali secara umum.
Kenyataan bahwa setiap agama menghendaki kedamaian antar-umat manusia, tidak mengajarkan huru-hara dan pertumpahan darah, tidak lantas bisa disimpulkan bahwa setiap agama dalam tataran esoteris adalah sama, dan dengan begitu pluralisme agama adalah sebuah keniscayaan yang tak perlu disangkal.
Menyatakan ajaran-ajaran tersebut adalah bagian dari doktrin setiap agama adalah benar, namun menyimpulkan paham pluralitas keagamaan dari bagian doktrin agama tersebut adalah keliru total. Sebab ajaran-ajaran tersebut tidaklah mewakili agama secara keseluruhan. Selain mengajarkan kedamaian, setiap agama juga punya konsep Kebenaran, konsep Tuhan, Kitab Suci, syariat, dan tata-nilai yang berbeda-beda. Nah, kesatuan dari unsur-unsur doktrin, ajaran, dan tata-nilai itulah yang disebut agama. Maka adalah tidak proporsional jika dengan segelintir persamaan dan segudang perbedaan, lalu yang jadi dominan adalah persamaannya, kemudian dengan enteng dinyatakan bahwa setiap agama adalah sama, dan dengan demikian kebenaran ada pada setiap agama. Karenanya, mengharapkan kedamaian dengan pluralisme agama adalah suatu estimasi (perkiraan) yang tidak realistis.
Tidak jauh berbeda dengan pluralisme agama, adalah pemikiran pluralisme sekte dalam agama (Islam). Jika dilakukan pembacaan secara historis atau sosio-politis, pluralisme sekte tidaklah terjadi akibat kontak dengan Barat, sebagaimana pluralisme agama. Sebab sekte-sekte dalam Islam telah berkembang pada periode awal. Jadi, pemikiran pluralistis dalam lingkup ini (antar sekte) muncul dari umat Islam sendiri, barangkali untuk meredam konflik yang rentan terjadi.
Mengenai hal ini, Ahmad Amin dalam Dhuru al-Islâm agaknya menilai bahwa pemikiran seperti ini mulai berkembang sejak abad pertengahan, setidaknya sejak al-Anbari mengambil keputusan untuk abstain dan tidak menyalahkan akidah siapa pun, baik Jabariyah maupun Qadariyah. “Orang yang bilang status pezina adalah mukmin tentu benar, yang menuduh ia kafir juga tak bisa disalahkan, begitu pula yang mengklaim fasik atau munafik. Sebab al-Quran memang berisyarat pada arti-arti yang beragam itu," demikian kata al-Anbari.
Nah, saat ini, sikap yang semula dimunculkan al-Anbari ini agaknya mengalami perkembangan mengiringi perkembangan pluralisme agama. Ketika pluralisme agama meniscayakan untuk mengikis habis agama-agama yang ada, maka pluralisme antar-sekte meniscayakan seseorang untuk melepaskan akidah masing-masing, sehingga dengan demikiran diharapkan tidak ada pertikaian masalah akidah yang tidak perlu dan seringkali merugikan.
Sebetulnya, di sini para pemeluk faham pluralisme sekte salah perhitungan dan terjebak dalam sikap absolutisme yang arogan. Hal ini dapat diperjelas dengan beberapa alasan. Pertama, dapat dipastikan bahwa siapa pun tidak bisa lepas dari suatu nilai yang dianggapnya benar secara mutlak. Jadi, mereka yang mengajak setiap orang untuk keluar dari akidah yang mereka yakini, sebetulnya juga mengajak untuk masuk pada akidah baru yang bernama “pluralisme sekte”. Kedua, berdasarkan alasan pertama, maka keberadaan akidah merupakan perangkat yang paling mendasar dalam diri setiap penganut sekte. Jika perangkat ini hilang, maka seseorang tidak bisa dikatakan lepas dari setiap ideologi (akidah), sebab dapat dipastikan jika ia akan masuk pada ideologi baru yang diyakini kebenarannya secara mutlak. Jika tidak pada pluralisme sekte, maka ia akan masuk pada faham agnostisisme atau “tidak tahu-isme” (al-lâ adriyah).
Dengan demikian, para penganjur pluralisme sekte berupaya untuk keluar dari segenap ideologi, namun tanpa disadari ternyata ia masuk pada ideologi yang lain. Maka, keyakinan bahwa “hanya firqah dan kelompok saya yang benar” adalah hal yang fitrah dan karenanya tak perlu dirisaukan. Kita tinggal menunggu untuk membuktikan, apakah kebenaran itu mampu melewati seleksi dan mampu mengatasi ujian waktu atau tidak?
Kenyataan ini sesungguhnya telah membuyarkan mimpi kalangan yang “mendambakan” terjalinnya persatuan umat dengan cara mengikis habis warna-warna ideologis yang disandang masing-masing sekte dan golongan tadi. Sebab selain tidak mungkin dan absurd, dengan logika tadi, sejatinya kalangan ini hendak menarik setiap sekte untuk masuk pada ideologinya sendiri, yang diyakini kebenarannya secara mutlak. Sahingga yang terjadi di sini bukan ajakan untuk berjalan bersama, namun tetap pada konflik pemikiran dan ideologi yang terjadi sebelumnya. Artinya, penganjur “persatuan umat” yang memberikan solusi agar mengacuhkan keyakinan-keyakinan ideologis itu, sejatinya juga larut dalam peperangan ideologis dan pemikiran yang tengah terjadi. Ini adalah hal yang riil dan tidak bisa dipungkiri.
Alhasil, menciptakan persatuan, kebersamaan, kehidupan tenteram, dan suasana damai dalam dunia Islam, di samping keberagaman sekte yang selalu tarik-menarik dengan keyakinan akan “kebenaran” masing-masing, sejatinya bukanlah proyek yang tabu atau fiktif. Mengupayakan kemajuan dan kejayaan peradaban Islam di tengah kotak-kotak sekte, dengan tetap mempertahankan akidah, keyakinan, dan kebenaran versi masing-masing, adalah hal yang sangat mungkin dicapai, baik secara logis maupun historis. Justru adalah absurd, jika mimpi persatuan itu diharapkan muncul dari ranah yang memang berhadap-hadapan secara diametral. Bagaimana mungkin dapat dipersatukan jika standar yang mungkin dipakai untuk itu (akidah) juga berbeda? Tidakkah upaya sedemikian nantinya malah berbuah kekacauan akidah?
Maka, kesadaran akan perbedaan akidah ini, barangkali memang mengharuskan kita untuk mencari celah ukhuwah di ranah lain, yakni pada ranah non-teologis atau administratif. Bahwa dalam konteks pluralitas (bukan pluralisme) agama di Madinah pada masa Rasulullah saw, Islam menawarkan pendekatan non-teologis dalam rangka melakukan harmonisasi antara Islam dan non Muslim. Karena secara teologis, Islam sudah tuntas, final, dan tak perlu dilakukan pembahasan ulang, sehingga penyelesaian yang mendesak adalah penyelesaian praktikal administratif; bagaimana mengatur kehidupan bersama, berdampingan, saling membantu, dan kerjasama. Semua itu dilakukan di luar ranah teologis, dan aturan-aturan administratif itu diwujudkan dalam bentuk Piagam Madinah (Dustûr al-Madînah). Jadi, pada masa Rasulullah saw, Piagam Madinah mengatur hubungan antara umat beragama secara administratif, dan tak menyinggung masalah teologis sama sekali.
Maka, seperti halnya kenyataan akan pluralitas agama, pluralitas sekte dalam agama (Islam) juga membutuhkan toleransi, sehingga di sini, toleransi adalah suatu hajat bagi setiap individu sekte-sekte agama yang ada. Mereka tak mungkin eksis tanpa adanya toleransi, dan di sini, pemersatuan secara administratif (aspek non-teologis) adalah langkah yang paling mungkin untuk ditempuh dalam rangka memupuk toleransi dan harmoni antar-sekte tersebut. Namun yang perlu diperhatikan adalah, bahwa toleransi bukanlah pluralisme antar-sekte. Toleransi hanya sebatas menghargai mereka yang memiliki keyakinan lain dan tidak mengganggu hak-hak hidupnya.
Jadi secara historis, ukhuwah seperti itu sudah dibuktikan oleh sejarah, dengan keberhasilan Nabi Muhammad saw dalam membina masyarakat madani di Madinah, di tengah keberagaman agama: Islam, Yahudi, Kristen, Majusi, dll. Demikian pula halnya pada periode Khulafâ’ ar-Râsyidûn dan dinasti-dinasti Islam selanjutnya, seperti kegemilangan pemerintahan Islam di Spanyol, yang berhasil membangun peradaban yang paling unggul di Eropa di tengah keberagaman agama: Islam, Yahudi, dan Kristen. Nah, jika pada skala yang lebih besar (perbedaan antar agama) perdamaian dapat dicapai, maka secara logis, pada lingkup yang lebih kecil (perbedaan antar sekte), perdamaian, kemajuan, dan bahkan kejayaan peradaban Islam sangat mungkin untuk diraih. Allâhu al-Musta‘ân.
Sumber: http://sidogiri.net