Problematika 1 Syawal
1 Syawal adalah hari dimana umat Islam merayakan hari kemenangan; kemenangan setelah berperang selama sebulan ramadlan melawan hawa nafsu ...
http://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2011/08/problematika-1-syawal.html
1 Syawal adalah hari dimana umat Islam merayakan hari kemenangan; kemenangan setelah berperang selama sebulan ramadlan melawan hawa nafsu dengan cara berpuasa. 1 Syawal adalah hari raya bagi umat Islam, selain idul adha, 10 Dzul Hijjah. Pada hari itu Allah mengharamkan berpuasa dan mewajibkan zakat fitrah sebagai upaya berbagi kebahagiaan dengan fakir miskin.
1 Syawal atau hari haya idul fitri bagi sebagian masyarakat digunakan sebagai momen untuk berkumpul bersama keluarga dan menjalin kembali hubungan famili (silaturrahmi), yang mungkin tidak pernah dilakukan sebelumnya. Di hari ini juga umat Islam berhalal-bihalal, yakni sebuah kegiatan untuk saling memaafkan, baik dilakukan secara perorangan atau secara berkelompok dengan mengadakan sebuah haflah.
Pada tahun ini (1432 H./2011 M), berdasarkan Sidang Itsbat Kementerian Agama Republik Indonesia, 1 syawal jatuh pada hari rabu, 31 Agustus 2011. Keputusan ini dibuat karena hilal tidak dapat dirukyah pada hari senin, 29 Agustus 2011 di sejumlah tempat pelaksanaan rukyah di seluruh Indonesia.
Keputusan ini bertentangan dengan penetapan 1 Syawal berdasarkan hisab yang sebagian besar menetapkan bahwa 1 syawal jatuh pada hari selasa, 30 Agustus 2011. Hasil hisab menetapkan demikian, karena pada tanggal 29 Agustus 2011, saat matahari terbenam, hilal diperkirakan mencapai ketinggian 4 derajat (markaz Kencong, 8,16° LS / 113,25° BT), sebuah ketinggian yang memungkinkan hilal untuk dirukyah.
Seperti penetapan awal ramadlan, penetapan awal syawal harus berdasar informasi bahwa hilal telah berhasil dirukyah, dan ini juga berlaku pada bulan-bulan lain, dengan hukum fardlu kifayah. Jika tidak berhasil, maka bulan yang bersangkutan harus disempurnakan 30 hari.
Rasulullah SAW bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ , فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukakah karena melihat hilal. Jika mendung, maka sempurnakanlan bulan Sya’ban menjadi 30 hari”.
Para ulama berbeda pendapat tentang dari berapa orangkah informasi hilal berhasil dirukyah. Jumhur ulama mengatakan bahwa penetapan awal syawal dapat dilakukan hanya dengan berdasar informasi satu orang yang adil. Kalangan Hanafiyah memberikan qayyid bahwa diterimanya informasi seorang yang adil ini, kalau memang keadaan cuaca cerah. Jika tidak, maka dibutuhkan informasi beberapa orang yang mampu menetapkan sebuah keyakinan dan mampu menghilangkan adanya dugaan bahwa informasi yang disampaikan tidak benar.
Dalil ulama yang memperbolehkan penetapan awal bulan hanya berdasar informasi seorang adil hadits riwayat Abdullan bin Amr RA:
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ , فَأَخْبَرْت النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَنِّي رَأَيْته فَصَامَهُ , وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Manusia melakukan rukyah hilal. Lalu saya mengabarkan kepada Nabi SAW bahwa saya telah melihatnya, maka Nabi berpuasa, dan memerintahkan manusia untuk berpuasa”.
Penetapan Awal Bulan berdasar Hisab
Pada kurun awal hijriyah, umat islam masih mengandalkan rukyah untuk menetapkan awal bulan. Namun di akhir kurun awal ini muncul pendapat penetapan awal bulan dengan metode hisab. Hal ini berpicu dari sebuah lafadz hadits yang dirasa musykil. Hadits itu ialah :
لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ , وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Jangan kalian berpuasa, kecuali kalian melihat hilal. Dan jangan kalian ifthar kecuali kalian melihat hilal. Jika mendung, maka kira-kirakanlah hilal itu”.
Dalam menta’wil dan memaknai lafadz “faqduru lahu”, para berbeda pendapat. Maka, sebagian ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk menetapkan awal bulan hijriyah dengan menggunakan hisab. Pendapat ini dinisbatkan kepada Mutharrif bin Abdillah bin As-Syakhir –salah satu tabi’in–, Abil Abbas bin Suraij dari kalangan Syafi’iyah dan Ibnu Qutaibah dari kalangan muhaditsin.
Ibnu Abdil Bar mengatakan bahwa pendapat ini tidak shahih untuk dinisbatkan kepada Mutharrif. Beliau juga manafikan penisbatan pendapat ini kepada Ibnu Suraij, sebab pendapat yang telah dikenal dari Ibnu Suraij adalah apa yang menjadi pegangan jumhur ulama.
Ibnu Rusyd menukil dari Mutharrif bahwa penetapan awal bulan dengan hisab hanya jika cuaca mendung dan pernyataan ini juga diriwayatkan dari Imam Syafi’i. Bahkan pendapat yang telah dikenal dari Mutharrif sendiri adalah seperti apa yang dikatakan jumhur ulama.
Riwayat lain dari Mutharrif bahwa yang bisa menetapkan awal bulan dengan hisab hanya ahli hisab itu sendiri. Adapun Ibnu Suraij menyatakan bahwa lafadz hadits “faqduru lahu”, hanya menjadi khithab untuk orang yang diberi kemampuan dalam ilmu hisab. Sedangkan lafadz hadits “fa akmilul iddah” diperuntukkan untuk umum. Walaupun demikian, lafadz hadits “faqduru lah” yang menjadi khithab untuk ahli hisab, bukan menjadi khitab wajib, sehingga sebagian Hanafiyah hanya mengatakan boleh menetapkan awal bulan berdasar perhitungan ahli hisab.
Mayoritas ulama jelas tidak memperbolehkan menetapkan awal bulan dengan hasil hisab. Berikut adalah pendapat-pendapat mereka:
- Imam Malik mengatakan: “Pemerintah yang berpedoman pada hisab dalam menentukan awal bulan tidak boleh diikuti”. Abul Walid Al-Baji menjelaskan bahwa puasa orang berpedoman pada hasil hisab tidak sah.
- Imam An-Nawawi dari Syafi’iyyah mengatakan: “Puasa Ramadlan tidak wajib kecuali telah masuk bulan ramadhan. Bulan ramadhan belum masuk kecuali dengan rukyah hilal, jika mendung maka bulan sya’ban harus disempurkan 30 hari”. Al-Qalyubi mengatakan: “Jika hasil hisab menunjukkan bahwa kemungkinan rukyat hilal tidak ada, maka informasi tentang hal itu tidak dapat diterima.
- Kalangan Hanabilah sepakat bahwa hasil hisab tidak bisa dijadikan pedoman.
Mengenai lafadz hadits “faqduru lahu”, jumhur ulama mengatakan bahwa lafadz tersebut mempunyai makna perintah menyempurnakan bulan menjadi 30 hari. Makna ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik dan As-Syafi’i serta mayoritas ulama salaf dan khalaf.
Wallahu A’lam bis shawab