Mengenal Allah dengan mengenal dan tafakur tentang CiptaanNya
Allah tabaraka wa ta’ala telah menciptakan manusia dan memberinya akal yang bermanfaat untuk melakukan tafakur terhadap semua ciptaanN...
http://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2013/11/mengenal-allah-dengan-mengenal-dan.html
Allah tabaraka wa ta’ala telah menciptakan manusia dan memberinya akal yang bermanfaat untuk melakukan tafakur terhadap semua ciptaanNya. Allah juga menjadikan alam semesta sebagai tanda yang akan menambah keimanan dan keyakinan seorang mukmin kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah berfirman:
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ (الحشر: 2)
“Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan”. (QS. Al-Hasyr: 2)
Beri’tibar dapat dilakukan dengan berbagai cara. Inilah adalah tafakur yang diperintakan Allah. Karena berfikir tentang ciptaan-ciptaan Allah dan segala sesuatu yang terjadi di dalamnya, akan menambah keyakinan dalam diri terhadap keberadaan Allah ta’ala yang menjadi sang pengatur, sepanjang zaman sesuai dengan kehendakNya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
أَوَلَمْ يَنظُرُواْ فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللّهُ مِن شَيْءٍ وَأَنْ عَسَى أَن يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ (الأعراف : 185)
“Dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?”. (QS. Al-A’raf: 185)
Makna memperhatikan dalam ayat tersebut adalah memperhatikan yang disertai tafakur sehingga mampu mengambil kesimpulan bahwa segala ciptaan Allah itu tidak lepas dari sifat berubah. Sifat berubah ini menunjukkan bahwa ciptaan itu adalah sesuatu yang baru dan tidak semata ada dengan sendirinya, tanpa adanya Sang pencipta. Segala hal yang bersifat baru, tidak berlaku dalam dzat Sang pencipta, seperti apa yang terjadi pada ciptaan-ciptaanNya.
Ketika nabiyullah Ibrahim al-Khalil alaihissalam berdebat dengan kaumnya, beliau berhujjah bahwa adanya para makhluk adalah bukti keberadaan Allah. Hal ini beliau lakukan untuk menghentikan kelakuan kaumnya yang menyembah bintang, matahari dan bulan, menuju ibadah kepada Allah yang telah menciptakan.
Allah berfirman:
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَباً قَالَ هَـذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغاً قَالَ هَـذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَـذَا رَبِّي هَـذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ (الأنعام: 76-78)
“Ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat." Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”. (QS. Al-An’am: 76-78)
Nabi Ibrahim alaihissalam menjelaskan kepada kaumnya bahwa bintang, matahari dan bulan, sama sekali tidak layak untuk dijadikan sebagai pencipta, disebabkan adanya sifat-sifat sesuatu yang baru, yaitu perpindahan dari satu kondisi kepada kondisi yang lain yang telihat jelas. Sifat-sifat ini berlaku pada semua makhluk, menandakan bahwa ia tidak layak untuk disembah. Menyembah seharusnya kepada Allah yang telah menciptakan benda-benda itu. Dan mana mungkin Dia mempunyai sifat-sifat yang sama dengan benda-benda yang telah Dia ciptakan.
Diri manusia sendiri, juga dapat dijadikan petunjuk akan keberadaan Allah. Tangan, kaki, telinga, lidah, mata dan anggota-anggota lain dengan segala fungsinya merupakan ciptaan Allah. Manusia dengan segala sifat dan anggota yang dimilikinya adalah petunjuk bahwa ia adalah sesuatu yang baru, sesuatu yang diciptakan dan menuntut adanya sang pencipta. Manusia dengan segala bentuk anggota, sifat dan pekerjaannya, tidak mungkin menurut akal sehat, ada dengan sendirinya, dan memunculkan suatu sifat atau menciptakan sebuah pekerjaan dengan kemampuannya sendiri. Ketika seseorang berpikir tentang kejadian sejak ia dilahirkan hingga ia menjadi sempurna, maka ia akan melihat adanya perubahan pada dirinya, baik kejiwaan, atau fisik yang memberikan kesimpulan bahwa dirinya adalah ciptaan Allah dan tidak mungkin mewujudkannya dirinya sendiri.
Allah adalah tunggal, tiada sekutu baginya. Jika seseorang berpikir cerdas, ia akan tahu bahwa dalam jika dalam alam semesta ada banyak tuhan, maka alam ini akan hancur. Allah tidak sama dengan apa dan siapapun, karena jika allah menyerupai sesuatu yang lain, meski dalam satu sisipun, akan menyimpulkan bahwa Allah adalah sesuatu yang baru, dan hal ini adalah mustahil baginya.
Tafakur terhadap ciptaan Allah, juga akan menguatkan keyakinan, menambah rasa takut kepada Allah, dan memupuk kerinduan kepadaNya. Seorang yang berakal jika memperhatikan alam sekitarnya, tentang perubahan kondisi di dalamnya, maka ia akan sadar, bahwa perubahan tersebut juga akan terjadi dalam dirinya. Ada lalu tidak ada, basah lalu kering, panas lalu dingin, harum lalu membusuk, kuat lalu lemah dan hidup lalu mati. Selanjutnya ia akan segera bertaubat, lalu bersungguh-sungguh dalam melakukan ibadah, taat dan amal-amal yang shaleh.