Pembantaian Sistematis terhadap Muslim Rohingya (1)


Hassina Begum, 20 tahun, adalah satu dari segelintir korban selamat pembantaian sistematis oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya pada Agustus 2017. Beberapa hari setelah bentrokan mematikan antara kelompok militan Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) dan pasukan keamanan Myanmar, sejumlah tentara berseragam Myanmar dan penduduk lokal menyerang Desa Tula Toli atau Ming Gyi di Maungdauw, Negara Bagian Rakhine.

Ratusan muslim Rohingya di desa itu terjebak lantaran Tula Toli dikelilingi sungai besar di ketiga sisinya. Datang dengan teror, tentara Burma memasuki desa sembari membakar sejumlah warga Rohingya, sementara lainnya berusaha melarikan diri. Beberapa mencoba peruntungan dengan berenang menyeberangi sungai, beberapa yang lain berusaha bersembunyi di bukit-bukit. Yang tragis: mereka membawa serta anak-anak. Kemungkinan mereka dapat melarikan diri adalah nol.

Hassina dan sejumlah korban selamat lain menceritakan detail mengerikan itu kepada Human Rights Watch di kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh.

Dalam laporan berjudul "Pembantaian melalui Jalur Sungai", dirilis hari ini (19/12), organisasi hak asasi manusia berbasis di New York ini mengisahkan kaum laki-laki Rohingya yang gagal melarikan diri dipisahkan dari para istri dan anak-anaknya. Mereka dijejalkan ke dalam lubang yang sengaja digali tentara Myanmar di pinggir sungai dan menyiramnya dengan bensin, kemudian dibakar.

Usai membantai pria dewasa, para tentara melempar anak-anak ke dalam sungai, sementara para wanita disekap di dalam gubuk untuk diperkosa kemudian dibunuh.

Hassina mencoba menyembunyikan anak perempuannya, Sohaifa, yang baru berumur setahun di balik kerudungnya. Upayanya ketahuan oleh seorang tentara. Putrinya kemudian langsung direbut dan dilemparkan ke dalam api, hidup-hidup.

Lima tentara lain lantas membawa Hassina, Fatimah (mertua Hassina), Asma (adik ipar Hassina), dan tiga anak laki-laki Fatimah ke dalam sebuah gubuk. Tiga putra Fatimah langsung dibunuh oleh sekelompok etnis Rakhine. Sementara para wanita diperkosa. Fatimah melawan; tak lama nyawanya ikut melayang. Usai diperkosa, Asma dan Hassina dipukul dan ditusuk hingga pingsan.

Para tentara mengunci mereka bersama mayat lain dalam gubuk dan kemudian dibakar. Hassina dan Asma baru tersadar dari pingsan setelah pakaian mereka mulai dijilati api. Mereka kemudian berusaha melarikan diri dan menyeberang ke Bangladesh bersama sejumlah korban selamat lainnya.
Pembantaian Sistematis Otoritas Myanmar

Etnis Rohingya, minoritas muslim terbesar, telah mengalami diskriminasi, represi, dan kekerasan di Myanmar selama puluhan tahun. Status kependudukan mereka ditolak oleh pemerintah Myanmar meski etnis ini sudah menduduki wilayah Rakhine selama bergenerasi-generasi, jika bukan berabad-abad, dan menjadikan mereka sebagai salah satu penduduk tuna negara terbesar di dunia. Kendati sudah banyak korban berjatuhan, otoritas Myanmar masih terus menegasikan genosida yang dilakukan oleh pihaknya.

Penyerangan oleh tentara-tentara Myanmar pada Agustus 2017 merupakan satu dari tiga pembantaian terbesar yang dilakukan pemerintahan Burma terhadap etnis ini sejak 2012 dan 2016.

Diperkirakan, sedikitnya 6.700 pengungsi Rohingya tewas dalam kurun waktu sebulan setelah serangan yang disebut pemerintah Myanmar sebagai “operasi pembersihan” pada Agustus lalu. Hal ini diungkapkan dalam laporan survei Médecins Sans Frontières (MSF) atau Dokter Lintas Batas terhadap pengungsi Rohingya di sejumlah kamp di Bangladesh.

Jumlah yang dirilis oleh lembaga kemanusiaan berbasis di Perancis dan beroperasi di Bangladesh sejak 1985 ini jelas jauh berbeda dari angka resmi yang dirilis pemerintah Myanmar pada September lalu, yakni hanya 400 jiwa.

Dari rilis pengungsi muslim Rohingya yang tewas tersebut, 730 di antaranya adalah anak-anak di bawah usia 5 tahun (balita). Survei ini menunjukkan, sedikitnya 71,1 persen kematian ini disebabkan oleh kekerasan. Sebanyak 69 persen tewas akibat luka tembak, kemudian tewas dibakar sampai tewas (9 persen), dan dipukuli hingga meninggal (5 persen).

“Apa yang kami temukan sangat mengejutkan, baik dari segi jumlah orang yang melaporkan seorang anggota keluarga meninggal akibat kekerasan, dan cara mengerikan yang mereka ungkapkan mengenai penyebab mereka terbunuh atau dilukai secara brutal. Puncak jumlah kematian seiring "operasi pembersihan" terbaru oleh pasukan keamanan Myanmar pada minggu terakhir bulan Agustus," kata dokter Sidney Wong, Direktur Medis MSF, dalam laporan tersebut.

Namun, jumlah ini diperkirakan masih akan bertambah. Menurut Wong, MSF belum mensurvei seluruh permukiman pengungsi di Bangladesh. Survei ini belum menaksir jumlah keluarga pengungsi yang gagal mengemasi nyawa mereka dari Myanmar.

Selain kematian, MSF mencatat ada 160 kasus kekerasan seksual dan berbasis gender pada perempuan dan anak-anak, 480 bayi dilahirkan di fasilitas MSF, 680 terluka akibat kekerasan, lebih dari 2 ribu pengungsi terjangkit pelbagai penyakit seperti campak dan diare, serta lebih dari seribu pasien dirawat lantaran menderita kelaparan akut.

“Kami harap data objektif ini dapat berguna bagi pemerintah Myanmar untuk membantu menyelesaikan krisis Rohingya,” ujar dr. Natasha Reyes, Direktur Operasional MSF, kepada reporter Tirto via sambungan Skype, Sabtu pekan lalu.

Ekses dari “operasi pembersihan” itu: 647 ribu pengungsi Rohingya menyeberang dari Rakhine ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017. Dan, hingga saat ini, gelombang pengungsi Rohingya masih terus mengalir. Sebagian besar penyintas ini melaporkan mengalami kekerasan dalam beberapa minggu terakhir. (Sumber: https://tirto.id)

Bersambung

Related

Slider 8873049513701942298

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Facebook

TERBARU

Arsip

Statistik Blog

item