Bagaimana Nasib Kita?
Hujjatul Islam Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab Bidayah-nya mengatakan, bangga diri (ujub) , dan sombong adalah penyakit yang kuat d...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2010/11/bagaimana-nasib-kita.html?m=0
Hujjatul Islam Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab Bidayah-nya mengatakan, bangga diri (ujub), dan sombong adalah penyakit yang kuat dan sulit diobati. Keduanya mempunyai arti anggapan besar seseorang terhadap dirinya dan anggapan rendah dan hina terhadap orang lain. Contoh perbuatan melalui lisan adalah perkataan, "aku!, aku! dan semuanya aku". Dalam al-Quran diceritakan perkataan Iblis, "Aku lebih baik dari Adam. Engkau ciptakan aku dari api, dan Engkau ciptakan Adam dari tanah".
Dalam pergaulan sifat bangga diri dan sombong tampak dengan adanya usaha untuk berada di atas dan berada di depan, selalu mencari perhatian dan enggan ketika ucapannya ditolak. Seorang yang sombong adalah orang yang memandang rendah saat dinasehati dan memakai tindak kekerasan saat memberi nasehat. Setiap orang yang merasa dirinya lebih baik dari orang lain, maka dialah orang yang sombong.
Hendaknya kita memahami bahwa orang yang baik adalah orang yang dianggap baik oleh Allah di akhirat nanti. Padahal anggapan baik dari Allah ini, tidak dapat diketahui dan diperoleh, kecuali saat kita berpisah dengan dunia fana ini. Ketika seseorang yang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain, maka hal ini hanya diakibatkan sifat bodoh yang bersemayam dalam dirinya.
Sifat yang baik adalah anggapan bahwa diri ini tidak lebih baik dari orang lain, dan orang lain lebih baik dari diri ini. Anggaplah keistimewaan dan keutamaan orang lain mengalahkan diri ini. Jika kita melihat orang yang lebih muda dari kita, katakanlah, "Ia sedikit atau bahkan tidak berbuat maksiat kepada Allah, sedangkan aku sudah banyak berbuat maksiat. Jika kita bertemu dengan orang yang lebih tua dari kita, katakanlah, "Dia lebih lama melakukan ibadah kepada Allah, maka tidak diragukan lagi dia lebih baik dariku". Jika kita melihat orang yang berilmu, katakanlah, "Orang ini telah diberi apa yang tidak diberikan kepadaku, telah menyampaikan kebaikan yang tidak pernah aku sampaikan, dan mengetahui apa yang tidak aku ketahui. Mana mungkin aku sama dengan dirinya?". Jika kita melihat orang yang tidak berilmu, katakanlah, "Dia berbuat durhaka dengan kebodohannya, sedang aku berbuat durhaka dengan ilmuku. Bukti yang dimilikinya dihadapan Allah lebih kuat dari pada aku". Jika kita bertemu seorang kafir, katakanlah, "Aku tidak tahu, mudah-mudahan ia segera masuk Islam, dan Allah mengakhiri hidupnya dengan perbuatan yang paling baik, dan dosa-dosanya dihapus. Sedangkan aku --semoga Allah melindungiku-- adakah Allah menyesatkanku lalu aku kafir, dan apakah Allah mengakhiri hidupku saat aku melakukan perbuatan yang paling jelek? Maka besok aku termasuk orang-orang yang jauh dan dia termasuk orang-orang yang dekat. --Na'idzubillah".
Sifat sombong tidak akan keluar dari diri seseorang, kecuali ia tahu bahwa orang yang mulia adalah orang yang mulia di hadapan Allah. Hal ini pun masih ditangguhkan saat ajal menjemput. Sadarlah bahwa adanya kemuliaan di hadapan Allah masih diragukan, sehingga hal ini akan mampu menimbulkan rasa takut akan hal-hal buruk saat meninggalkan dunia. Keyakinan dan iman kita saat ini tidak bisa dijadikan jaminan. Bisa saja Allah merubah nasib kita di akhir hayat nanti. Allah lah yang membolak-balikkan hati, memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki juga menyesatkan orang-orang yang Dia kehendaki.
Wallahu A'lam .
Sumber: Syarh Ratib Al-Haddad, Karya Al-Habi Al-Allamah Alawi bin Ahmad bin Hasan bin Abdillah dan Alawi Al-Haddad Ba'alawi