Sikap Ahlussunnah Terhadap Muawiyah Bin Abi Sufyan
Di tengah perseteruan aswaja dan wahabi-salafi, muncul “riyak-riyak kecil” yang sebenarnya harus dihindari. Usaha kalangan aswaja untuk m...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/10/sikap-ahlussunnah-terhadap-muawiyah-bin.html?m=0
Di tengah perseteruan aswaja dan wahabi-salafi, muncul “riyak-riyak kecil” yang sebenarnya harus dihindari. Usaha kalangan aswaja untuk mengkonter segala bentuk pernyataan kalangan wahabi-salafi yang seolah-olah dianggap tidak mempunyai kebenaran sama sekali, telah melahirkan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai akhlakul karimah bahkan berseberangan dengan prinsip-prinsip akidah aswaja itu sendiri, meskipun usaha tersebut dibalut dengan kain ilmiyah yang seolah sempurna.
Salah satu “riyak-riyak kecil” itu adalah penistaan terhadap salah satu sahabat. Hal ini terjadi ketika kalangan wahabi-salafi yang terkenal anti ahlul bait dianggap terlalu mengagungkan sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan yang dalam sejarah, beliau terkenal sebagai musuh utama Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dalam percaturan politik. Ketika kalangan wahabi-salafi menjelaskan keutamaan Sayidina Muawiyah bin Abi Sufyan, serta merta kalangan aswaja membantahnya dengan segala bentuk sanggahan yang pada akhirnya menyudutkan posisi sayidina Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai sahabat, bahkan sebagai seorang muslim. Inilah yang dimaksud dengan terjadinya perbuatan yang berseberangan dengan prinsip-prinsip akidah aswaja yang berhaluan akidah asy’ariyah dan maturidiyah.
Pada dasarnya akidah aswaja tidak membenarkan segala bentuk laknat dan takfir kepada siapapun kecuali kepada mereka yang telah dipastikan kekufurannya atau tidak dimungkinkan taubatnya. Apalagi disampaikan kepada sahabat yang telah diakui syahadatnya oleh Rasulullah, bahkan dalam al-Quran disebut sebagai sebaik-baik umat. Allah SWT berfirman:
محمد رسول الله والذين معه أشداء على الكفار رحماء بينهم تراهم ركعا سجدا يبتغون فضلا من الله ورضوانا
"Muhammad utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya, keras kepada orang-orang kafir, (tapi) sayang kepada sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud, mencari anugerah Allah dan ridloNya".
Rasulullah SAW bersabda:
لا تسبوا أصحابي فوالذي نفسي بيده لو انفق أحدكم مثل أحد ذهبا ما بلغ مد أحدهم ولا نصفه
"Jangan kalian menghujat para sahabatku. Demi Allah yang menguasai diriku, andai salah satu dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud (untuk jalan Allah), tidaklah mampu melebihi (keutamaan) satu mud dan (bahkan) separo mud infak salah satu dari mereka". (HR. Asy-Syaikhoni)
Akidah asy’ariyah mewajibkan muslimin meyakini keutamaan para sahabat Rasulillah SAW, dan mengakui bahwa Mereka adalah orang-orang yang adil, orang-orang terpilih dan orang-orang yang memegang amanah. Tidak diperkenankan menghujat, menghina dan berburuk sangka kepada mereka. Ketika terjadi pertentangan dikalangan mereka, maka yang diwajibkan adalah diam dan menggolongkan apa mereka lakukan sebagai bagian dari ijtihad mereka.
Syaikh Abul Hasan Al-Asy’ari telah mengatakan:
وأجمعوا على الكف عن ذكر الصحابة عليهم السلام إلا بخير ما يذكرون به، وعلى أنهم أحق أن ينشر محاسنهم، ويلتمس لأفعالهم أفضل المخارج، وأن نظن بهم أحسن الظن (التبصير في الدين وتمييز الفرقة الناجية عن الفرق الهالكين، لأبي المظفر الاسفرايني، ص 177)
“Ulama ahlussunnah sepakat untuk menghindari penyebutan sahabat kecuali dengan sebuatan yang baik. Mereka juga sepakat bahwa para sahabat lebih berhak untuk disebut kebaikan-kebaikan mereka, dicarikan jalan keluar terbaik untuk menghukumi perbuatan-perbuatan mereka, berbaik sangka kepada mereka”.
Al-Inan Abu Ja’far At-Thahawi dalam kitab “bayan Ahlissunnah wal jamaah” hlm. mengatakan:
ونحب أصحاب رسول الله، ولا نفرط في حب أحد منهم، ولا نتبرأ من أحد منهم، ونبغض من يبغضهم، وبغير الخير يذكرهم، ولا نذكرهم إلا بخير، وحبهم دين وإيمان وإحسان، وبغضهم كفر ونفاق وطغيان
“Kami (ahlussunnah) mencintai para sahabat Rasulullah, tidak keterlaluan dalam mencintai salah satu diantara mereka dan tidak membenci salah satu dari mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan menyebut mereka dengan selain kebaikan. Kami tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah agama, iman dan ihsan. Dan membenci mereka adalah kufur, munafiq dan melampaui batas”.
Mengenai Sayidina Muawiyah bin Abi Sufyan, kalangan ahlussunnah waljamaah berpendapat bahwa ia adalah sahabat Nabi dan beliau menerima syahadatnya. Jika Sayidina Muawiyah bin Abi Sufyan mempunyai kesalahan maka karena beliau manusia biasa. Al-Ghazali dalam “al-Iqtishad fil I’tiqad” mengatakan bahwa perbuatan Muawiyah ketika memerangi Ali bin Abi Thalib harus diyakini sebagai sebuah realisasi dari hasil ta’wil yang ia lakukan. Menurut beliau ini adalah riwayat yang masyhur. Sedangkan riwayat-riwayat selain ini, yang benar adalah riwayat-riwayat yang telah terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran batil. Kebanyakan riwayat itu adalah informasi dusta yang dibuat oleh kalangan Rofidhoh dan Khawarij. Oleh sebab itu, menurut Al-Ghazali kita hendaknya mengingkari riwayat-riwayat yang tidak tsabit. Kalaupun ada riwayat tsabit yang tentang hal ini maka anggaplah sebagai bagian dari ta’wil yang dilakukan.
Dalam periwayatan hadits, Muawiyah bin Abi Sufyan telah meriwayatkan 163 hadits. Ada empat hadits yang disebut muttafaq alih oleh Al-Bukhari dan Muslim. Al-Bukari sendiri meriwayatkan lagi empat hadits dari Muawiyah dan lima hadits yang diriwayatkan lagi oleh Muslim. (lihat Siyar a’lam an-Nubala’: 3/163)
Dengan demikian Muawiyah bin Abi Sufyan adalah bagian dari sahabat radliyallahu anhum. Beliau mempunyai keistimewaan tersendiri, meskipun ia mempunyai banyak kesalahan yang patut diingkari. Tetapi kesalagan itu tidak mempengaruhi posisinya sahabat yang besar, meski derajatnya jauh dari As-Sabiqunal Awwalun, ahli Badar, Ahli Uhud atau para Khulafaur Rasyidin.
Wallahu A’lam Bis Shawab