Islam di Cina: Satu Terkulai, Seribu Nyali Terpicu
Pembantaian umat Islam di Urumqi, Cina, tak membuat nyali masyarakat muslim di Negeri Tirai Bambu itu kecut. Syiar Islam terus bergema,...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2010/12/islam-di-cina-satu-terkulai-seribu.html?m=0
Pembantaian umat Islam di Urumqi, Cina, tak membuat nyali masyarakat muslim di Negeri Tirai Bambu itu kecut. Syiar Islam terus bergema, masjid-masjid tetap mengumandangkan adzan. Akar Islam tak akan pernah tercabut dari negeri Cina!
Urumqi, ibu kota wilayah Xinjiang, tiba-tiba bergejolak. Etnis Uyghur, yang ma¬yo¬ritas beragama Islam, tertekan. Mereka melakukan aksi protes terhadap kebijakan pe¬merintah Cina yang diskriminatif, pada 5 Juli lalu. Aparat keamanan Cina pun bertindak ke¬ras. Akibatnya 156 orang tewas, 1.434 ditahan, dan lebih dari 1.000 terluka. Setelah itu, giliran ribuan etnis Han, yang sengaja dimukimkan pemerintah Cina di wilayah Xinjiang, turun ke jalan-jalan di Urumqi, ibukota wilayah Xinjiang, memburu warga muslim yang tidak berdaya. Masyarakat Uyghur menyebut adanya genocide, pembersihan massal, terhadap ka¬um muslim di wilayah Xinjiang.
Bersenjatakan pentungan dan lainnya, etnis Han mem¬bu¬ru etnis Uyghur. Warga muslim yang tidak bisa menyelamatkan diri menjadi bulan-bulanan kebrutalan etnis Han, hingga babak-belur bahkan tidak sedikit yang sekarat. Menurut saksi mata, tak satu pun etnis Han yang melakukan serangan itu ditahan polisi.
Peristiwa tersebut tentu mengundang reaksi keras umat Islam di seluruh dunia. Organi¬sa¬si Konferensi Islam (OKI) mengutuk pembantaian tersebut, bahkan menganggapnya se¬ba¬gai pemusnahan umat Islam di Cina secara sistematis. Padahal, keberadaan muslim di wilayah Xinjiang sudah mengakar selama berabad-abad lalu. Sebaliknya, Cina bukan barang yang asing di telinga umat Islam. Sebuah hadits menyebutkan, “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina.”
Yisilan Jiao
Jauh sebelum ajaran Islam diturunkan Allah SWT, bangsa Cina telah mencapai peradaban yang amat tinggi. Kala itu, masyarakat Negeri Tirai Bambu sudah menguasai beragam khazanah kekayaan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Tak bisa dipungkiri, umat Islam juga banyak menyerap ilmu pengetahuan serta peradaban dari negeri ini. Contohnya antara lain ilmu ketabiban, produksi kertas, dan bubuk mesiu. Dan kehebatan serta tingginya peradaban masyarakat Cina ternyata sudah terdengar di negeri Arab sebelum tahun 500 M.
Sejak itu, para saudagar dan pelaut dari Arab membina hubungan dagang dengan“The Middle Kingdom”, julukan Cina. Untuk bisa berkongsi dengan para saudagar Cina, pa¬ra pelaut dan saudagar Arab mengarungi ganasnya samudera. Mere¬ka mengangkat layar dari Basra di Teluk Arab dan kota Siraf di Teluk Persia menuju lautan Samudera Hindia. Perdagangan ini dikenal sebagai “Jalur Sutra”.
Pada zaman itu, terdapat dua Jalur Sutra. Satu Jalur Sutra Darat, melalui bagian barat Cina, satu lagi Jalur Sutra Laut. Jalur Sutra Darat lebih makmur pada permulaan, tapi akhirnya Jalur Sutra Laut menggantikan perannya.
Sebelum sampai ke daratan Cina, para pelaut dan saudagar Arab melintasi Sri Lanka dan mengarahkan kapalnya ke Selat Malaka. Setelah itu, mereka melego jangkar di pelabuhan Guangzhou, atau orang Arab menyebutnya Khanfu. Guangzhou merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan tertua di Cina. Sejak itu banyak orang Arab yang menetap di Cina.
Ketika Islam sudah berkembang dan Rasulullah SAW mendirikan pemerintahan di Madinah, di seberang lautan Cina tengah memasuki periode penyatuan dan pertahanan. Menurut catatan sejarah awal Cina, masyarakat Tiongkok pun sudah mengetahui adanya agama Islam di Timur Tengah. Mereka menyebut pemerintahan Rasulullah SAW sebagai “Al-Madinah”.
Orang Cina mengenal Islam dengan sebutan Yisilan Jiao, yang berarti “agama yang murni”. Masyarakat Tiongkok menyebut Makkah sebagai tempat kelahiran Buddha Ma-hia-wu, Nabi Muhammad SAW.
Terdapat beberapa versi hikayat tentang awal mula Islam bersemi di dataran Cina. Versi pertama menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina dibawa para sahabat Rasul yang hijrah ke Al-Habasha Abyssinia, Ethopia. Sahabat Nabi hijrah ke Ethopia untuk menghindari kemarahan dan amuk massa kaum Quraisy Jahiliyah. Mereka antara lain Ruqayyah RA, anak perempuan Nabi, Utsman bin Affan RA, suami Ruqayyah, Sa'ad bin Abi Waqqas RA, dan sejumlah sahabat lainnya.
Para sahabat yang hijrah ke Ethopia itu mendapat perlindungan dari Raja Atsma¬ha Negus di kota Axum. Banyak sahabat yang memilih menetap dan tak kembali ke tanah Arab. Konon, mereka inilah yang kemudian berlayar dan tiba di daratan Cina pada saat Di¬nasti Sui berkuasa (581 M-618 M).
Sumber lainnya menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina ketika Sa'ad bin Abi Waqqas dan tiga sahabatnya berlayar ke Cina dari Ethopia pada tahun 616 M. Se¬te¬lah sampai di Cina, Sa'ad kembali ke Arab, dan 21 tahun kemudian kembali lagi ke Guangzhou membawa kitab suci Al-Quran.
Ada pula yang menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina pada 615 M, kurang lebih 20 tahun setelah Rasulullah SAW tutup usia. Adalah Khalifah Utsman bin Affan yang menugasi Sa'ad bin Abi Waqqas untuk membawa ajaran Ilahi ke daratan Cina. Konon, Sa'ad meninggal dunia di Cina pada tahun 635 M. Kuburannya dikenal se¬ba¬gai “Geys' Mazars”.
Utusan khalifah itu diterima secara terbuka oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang. Kaisar pun lalu memerintahkan pembangunan Masjid Huaisheng atau Masjid Memo¬ri¬al di Canton, masjid pertama yang berdiri di daratan Cina. Ketika Dinasti Tang berkuasa, Cina tengah mencapai masa keemasan dan menjadi kosmopolitan budaya. Dengan mudah ajaran Islam tersebar dan dikenal masyarakat Tiongkok.
Pada awalnya, pemeluk agama Islam terbanyak di Cina adalah para saudagar dari Arab dan Persia. Orang Cina yang pertama kali memeluk Islam adalah suku Hui Chi. Sejak saat itu, pemeluk Islam di Cina kian bertambah banyak. Ketika Dinasti Song bertakhta, umat Islam telah menguasai industri ekspor dan impor. Bahkan, pada periode itu jabatan direktur jenderal pelayaran selalu diemban orang Islam.
Pada tahun 1070 M, Kaisar Shenzong dari Dinasti Song mengundang 5.300 pria (pekerja) muslim dari Bukhara untuk tinggal di Cina. Tujuannya untuk membangun zona penyangga antara Cina dan Kekaisaran Liao di wilayah Timur Laut. Orang Bukhara itu lalu menetap di di antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka dipimpin Pangeran Amir Said alias So-Fei Er. Dia mendapat gelar “Bapak Komunitas Muslim di Cina”.
Ketika Dinasti Mongol Yuan (1274 M-1368 M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di Cina semakin besar. Mongol, sebagai minoritas di Cina, memberi kesem¬patan kepada imigran muslim untuk naik status menjadi Cina Han. Sehingga penga¬ruh umat Islam di Cina semakin kuat. Ratusan ribu imigran muslim di wilayah Barat dan Asia Tengah direkrut Dinasti Mongol untuk membantu perluasan wilayah dan pengaruh kekaisaran.
Bangsa Mongol menggunakan jasa orang Persia, Arab, dan Uyghur untuk me¬ngu¬¬rus pajak dan keuangan. Pada waktu itu, banyak muslim yang memimpin dunia usaha di awal periode Dinasti Yuan. Para sarjana muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender. Selain itu, para arsitek muslim juga membantu mendesain ibu kota Dinasti Yuan, Khanbaliq.
Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, muslim masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang, adalah jende¬ral mus¬lim terkemuka, termasuk Lan Yu Who. Pada 1388, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Tak lama setelah itu muncul Laksamana Cheng Ho, se¬o¬rang pelaut muslim andal.
Saat Dinasti Ming berkuasa, imigran dari negara-negara muslim mulai dibatasi bahkan dila¬rang. Cina pun berubah menjadi negara yang mengisolasi diri. Muslim imigran di Cina mulai menggunakan bahasa Cina. Arsitektur masjid pun mulai meng¬ikuti tradisi Cina. Pada era ini Nanjing menjadi pusat studi Islam yang penting. Sete¬lah itu hubungan penguasa Cina dengan Islam mulai memburuk.
Masa Surut Islam di Cina
Hubungan muslimin dengan penguasa Cina mulai memburuk sejak Dinasti Qing (1644-1911) berkuasa. Tak cuma dengan penguasa, hubungan muslim dengan masya¬rakat Cina lainnya juga menjadi makin sulit. Dinasti Qing melarang berbagai kegiatan ke-Islaman.
Menyembelih hewan qurban pada setiap ‘Idul Adha dilarang. Umat Islam tak bo¬leh lagi membangun masjid. Bahkan, penguasa Dinasti Qing juga tak membolehkan umat Islam menunaikan rukun Islam kelima, menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah.
Taktik adu domba pun diterapkan penguasa untuk memecah belah umat Islam, yang terdiri dari bangsa Han, Tibet, dan Mogol. Akibatnya ketiga suku penganut Islam i¬tu saling bermusuhan. Tindakan represif Dinasti Qing itu memicu pemberontakan Pan¬thay, yang terjadi di Provinsi Yunan dari 1855 M hingga 1873 M.
Setelah jatuhnya Dinasti Qing, Sun Yat Sen akhirnya mendirikan Republik Cina. Rakyat Han, Hui (muslim), Meng (Mongol), dan Tsang (Tibet) berada di bawah Republik Cina. Pada 1911, Provinsi Qinhai, Gansu, dan Ningxia berada dalam kekuasaan muslim, yakni keluarga Ma.
Kondisi umat Islam di Cina makin memburuk ketika terjadi Revolusi Budaya.
Pe¬me¬rintah mulai mengendurkan kebijakannya kepada muslim pada 1978. Kini Islam kem¬bali menggeliat di Cina. Itu ditandai dengan banyaknya masjid serta aktivitas muslim antar-etnis di negeri ini.
Itulah kemungkinan yang menjadi salah satu sebab kenapa pemerintah komunis Cina khawatir, dan lebih memilih tindakan keras terhadap geliat masyarakat muslim di negeri itu.
Peran Nyata Umat Islam
Islam hadir di Cina sudah sangat lama. Waktunya hanya terpaut sedikit dari masa Nabi Muhammad SAW. Menurut catatan, delegasi pertama yang datang ke Cina pada tahun ke-29 H/.... M. Utusan itu dipimpin Sa’ad bin Abi Waqash. Dia diberi mandat oleh Khalifah ketiga Utsman bin Affan mengajak kaisar Cina Yung Wei masuk Islam. Sebelumnya hubungan bangsa Arab dan Cina terjalin melalui perdagangan.
Untuk menunjukkan kekaguman dan penghormatannya terhadap Islam, Kaisar lantas mendirikan masjid pertama di Cina. Masjid Canton (Memorial Mosque) sampai saat ini masih berdiri tegak dan telah berusia 14 abad. Masjid ini adalah saksi bisu perkembangan Islam di Negeri Tirai Bambu itu. Setelah itu, hubungan Islam dan Cina berkembang pesat, hingga muncul perkampungan muslim. Yang pertama dibangun adalah Cheng Aan. Itu berlangsung pada masa Dinasti Tang.
Setelah itu, ribuan muslim dari Arab, Persia, dan Asia Tengah menyerbu Cina, yang berada di puncak peradaban.
Pada tahun ke-133 H/.... M, terjadi pertempuran besar yang menentukan sejarah Islam di Asia Tengah. Pasukan muslim dipimpin Ziyad. Meski tak jelas berapa korbannya, Cina mengalami kekalahan menyedihkan dalam pertempuran kali itu. Setelah kemenangan tersebut, muslim mengontrol penuh hampir seluruh wilayah Asia Tengah.
Kemenangan itu membuka pintu lebar-lebar bagi ulama Islam.
Pada 138 H/.... M, Jenderal Lieu Chen melakukan pemberontakan melawan Kaisar Sehwan Tsung. Untuk menumpas pemberontakan itu, Kaisar memohon pertolongan Khalifah Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah, Turki. Al-Mansur menyanggupi dengan mengirim 4.000 tentaranya ke Cina. Bantuan ini membuat Kaisar mampu menghadapi para pemberontak.
Itulah mula pertama tentara Turki hadir di Cina. Mereka menetap dan lantas menikahi wanita Cina. Saat ini ulama Cina berkembang, baik dalam bidang ilmu agama maupun filsafat dan sosial. Bahkan tak sedikit juga yang ikut mewarnai filsafat Confusius.
Namun belakangan umat Islam kembali menghadapi banyak masalah. Kehidupan yang sangat keras dialami saat Dinasti Manchu berkuasa (1644-1911 Masehi). Terjadi perseteruan paling keras, sehingga mengakibatkan lima kali perang. Yakni Perang Lanchu, Che Kanio, Singkiang, Uunanan, dan Shansi. Muslim mengalami kekalahan dalam pertempuran-pertempuran itu. Korban yang jatuh tak terhitung, hingga jumlah muslim tinggal sepertiganya.
Namun, beberapa waktu setelah kekalahan menyakitkan itu, jumlah muslim kembali berkembang. Diperkirakan, ada 60 juta umat Islam. Mereka bukan cuma mengerti teori, tapi juga praktek. Mereka mengenal rukun Islam, konsep halal dan haram, bahkan sempat memimpin peradaban di Cina.
Umat Islam punya babak baru pada masa Mao Tse Tung (1893-1976). Negarawan besar ini juga punya hubungan khusus dengan umat Islam. Ketika dia menetapkan markasnya ke Niyan, umat Islam Cina mendukungnya penuh. Bahkan sebagian musilm ikut bergabung dalam Tentara Merahnya, meski sebagian menyembunyikan agama asli.
Pada 1954 pemerintah menjamin kebebasan untuk melakukan shalat, upacara ri¬tual, budaya, dan sosial. Mereka juga diberi kebebasan terutama menjalin hubungan dengan muslim lain di dunia.
Belakangan memang pemerintah Cina memberi perlakuan khusus bagi mere¬ka. Caranya dengan memberikan otonomi atau provinsi khusus buat mereka. Peme¬rintah Cina memberi hak khusus kepada etnis minoritas.
Sebagai bukti, di luar dari 22 provinsi, ada lima daerah otonomi penuh yang didasarkan pada pengakuan atas hak warga minoritas, bukan saja muslim, tapi juga etnis lain. Wilayah itu adalah Zhuang di Guangxi Zhuangzu, Hui-wilayah muslim di Ning¬xia Huizu, Uyghurs di Xinjiang Uyghurs, Tibet di Tibet, dan Mongol di wilayah khusus Mongol.
Wilayah khusus lain dibedakan lantaran perjanjian dengan Inggris, seperti Hong Kong, yang telah dikembalikan secara resmi. Saat ini, jumlah muslim di Cina diperkirakan sudah mencapai 200 juta jiwa. Tentu ini bukan data resmi, sebab tak ada sensus khusus berbasis agama. Sebagi¬an besar muslim Cina adalah etnis Uyghur, Kazak, Kyrgyz, Uzbek, Tatar, dan Xinjiang.
Kental Muatan Lokal
Islam di Cina kental dengan muatan lokal. Kondisinya mirip dengan di Indonesia, terutama wilayah Jawa. Desain masjid atau rumah-rumah hunian muslim Cina mengambil budaya setempat. Warna merah, kuning, dan bahkan kepercayaan terhadap unsur yin dan yang juga diyakini umat Islam. Muslim Cina masih menghormati dan bahkan meyakini kepercayaan leluhur.
Arsitektur masjid, misalnya. Kubahnya dibuat model Cina. Pada pintunya terdapat tabir tipis dari plastik sebagai pencegah bala. Bagi masyarakat Cina, terlarang pintu yang menghadap ke depan. Biasanya pintu dibuat agak berliku. Dan jika langsung menghadap ke depan, akan ada tirai yang menghalangi.
Sebuah perbedaan yang bisa disaksikan secara kasatmata adalah bahwa muslim tinggal berkelompok. Ini memudahkan mereka mencari makanan halal. Hanya di perkampungan muslimlah kita mendapatkan daging dan makanan halal lain. Di tempat lain makanan halal sulit ditemukan.
Buku-buku agama pun ditulis dalam bahasa Han, sebagai bahasa nasional. Tapi, buku-buku kajian hadits, fiqih, akh¬laq, dan sejarah juga diterbitkan dalam bahasa lokal. Penulis seperti Ma Chu, Leo Tse, dan Chang Chung (1500-1700 M) adalah tokoh yang berjasa menerjemahkan teks Arab dan Persia ke dalam bahasa lokal. Bahkan di antara buku-buku tersebut ada yang ajarannya bercampur dengan ajaran filsafat Confusius.
Penerjemahan Al-Quran pertama dilakukan pada abad ke-19. Ma Pu Shu mencoba menerjemahkan lima juz saja. Meski belum lengkap, apa yang ia kerjakan sangat berjasa bagi muslim lokal.
Abad ke-20 adalah masa keberhasilan bagi umat Islam Cina. Sejumlah ulama berusaha meneruskan langkah Ma Pu Shu. Bukan saja Al-Quran, penerjemahan juga dilakukan terhadap teks agama lain, seperti kitab hadits Al-Arbaiin an-Nawawy. Adalah Syaikh Wang Jing Chai dan Yang Shi Chian yang sangat berjasa melakukannya.
Filsafat dan ilmu pengetahuan sosial lainnya adalah keuntungan yang diperoleh dari ulama Islam Cina. Telaah yang dilakukan Wang Dai Yu dan Liu Tsi pada masa Dinasti Ming dan Chend sangat berjasa bukan saja bagi pengembangan filsafat Islam, tapi juga pemikiran filsafat Cina.
Tokoh-tokoh Muslim Terkemuka
Dominasi peran muslim dalam lingkaran kekuasaan dinasti-dinasti Cina pada Abad Pertengahan telah melahirkan sejumlah tokoh muslim terkemuka. Sebut saja di antaranya Cheng Ho atau Zheng He, laksamana Cina yang menjelajahi dua benua dalam tujuh kali ekspedisi. Bersama Laksamana Cheng Ho, dikenal pula dua nama populer lainnya, yaitu Fei Xin, penerjemah andalan Cheng Ho, dan Ma Huan, seorang pengikut Ceng Ho.
Di kalangan militer sempat muncul tokoh-tokoh muslim yang menduduki jabatan puncak, khususnya pada Dinasti Ming, di antaranya Jenderal Chang Yuchun, pendiri Dinasti Ming, Hu Dahai, Lan Yu, Mu Ying. Sementara pada peristiwa pemberontakan Panthay, nama Du Wenxiu dan Ma Hualong menjadi tokoh sentralnya. Di samping itu, sejumlah muslim yang masuk dalam kelompok tentara Ma selama era Republik Cina memiliki ketokohan yang juga menyita perhatian banyak orang di saat itu, di antaranya Ma Bufang, Ma Chung-ying, Ma Fuxiang, Ma Hongkui, Ma Hong¬bin, Ma Lin, Ma Qi, Ma Hun-shan Bai Chongxi.
Para ilmuwan muslim Cina juga tampil di tengah-tengah pergulat-an keilmuan para cendekiawan di sana. Nama ilmuwan muslim yang cukup dikenal di Cina di antaranya Bai Shouyi, Tohti Tunyaz, sejarawan, Yusuf Ma Dexin, penerjemah Al-Quran pertama ke dalam bahasa Cina, Muhammad Ma Jian, penulis dan penerjemah Al-Quran terkemuka, Liu Zhi, penulis di era Dinasti Qing, Wang Daiyu, ahli astronomi pada era Dinasti Ming, Zhang Chengzhi, penulis kontemporer.
Dalam dunia politik, tokoh-tokoh muslim pun tampil tak kalah pamornya. Di antara mereka yang pernah duduk dalam pos-pos yang strategis adalah Hui Liangyu, wakil perdana menteri urusan pertanian RRC, Huseyincan Celil, imam Uyghur yang dipenjara di Cina, Xabib Yunic, menteri pendidikan Second East Turkistan Republic, Muhammad Amin Bughra, wakil ketua Second East Turkistan Republic.
Nama-nama seperti Noor Deen Mi Guangjiang, seorang ahli kaligrafi, Ma Xianda ahli bela diri, dan Ma Menta, pengurus Federasi Wushu Tongbei Rusia, juga muncul di antara tokoh-tokoh lainnya yang memberikan banyak kontribusi positif di Negeri Tirai Bambu itu. (AM, dari berbagai sumber)
Bersenjatakan pentungan dan lainnya, etnis Han mem¬bu¬ru etnis Uyghur. Warga muslim yang tidak bisa menyelamatkan diri menjadi bulan-bulanan kebrutalan etnis Han, hingga babak-belur bahkan tidak sedikit yang sekarat. Menurut saksi mata, tak satu pun etnis Han yang melakukan serangan itu ditahan polisi.
Peristiwa tersebut tentu mengundang reaksi keras umat Islam di seluruh dunia. Organi¬sa¬si Konferensi Islam (OKI) mengutuk pembantaian tersebut, bahkan menganggapnya se¬ba¬gai pemusnahan umat Islam di Cina secara sistematis. Padahal, keberadaan muslim di wilayah Xinjiang sudah mengakar selama berabad-abad lalu. Sebaliknya, Cina bukan barang yang asing di telinga umat Islam. Sebuah hadits menyebutkan, “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina.”
Yisilan Jiao
Jauh sebelum ajaran Islam diturunkan Allah SWT, bangsa Cina telah mencapai peradaban yang amat tinggi. Kala itu, masyarakat Negeri Tirai Bambu sudah menguasai beragam khazanah kekayaan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Tak bisa dipungkiri, umat Islam juga banyak menyerap ilmu pengetahuan serta peradaban dari negeri ini. Contohnya antara lain ilmu ketabiban, produksi kertas, dan bubuk mesiu. Dan kehebatan serta tingginya peradaban masyarakat Cina ternyata sudah terdengar di negeri Arab sebelum tahun 500 M.
Sejak itu, para saudagar dan pelaut dari Arab membina hubungan dagang dengan“The Middle Kingdom”, julukan Cina. Untuk bisa berkongsi dengan para saudagar Cina, pa¬ra pelaut dan saudagar Arab mengarungi ganasnya samudera. Mere¬ka mengangkat layar dari Basra di Teluk Arab dan kota Siraf di Teluk Persia menuju lautan Samudera Hindia. Perdagangan ini dikenal sebagai “Jalur Sutra”.
Pada zaman itu, terdapat dua Jalur Sutra. Satu Jalur Sutra Darat, melalui bagian barat Cina, satu lagi Jalur Sutra Laut. Jalur Sutra Darat lebih makmur pada permulaan, tapi akhirnya Jalur Sutra Laut menggantikan perannya.
Sebelum sampai ke daratan Cina, para pelaut dan saudagar Arab melintasi Sri Lanka dan mengarahkan kapalnya ke Selat Malaka. Setelah itu, mereka melego jangkar di pelabuhan Guangzhou, atau orang Arab menyebutnya Khanfu. Guangzhou merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan tertua di Cina. Sejak itu banyak orang Arab yang menetap di Cina.
Ketika Islam sudah berkembang dan Rasulullah SAW mendirikan pemerintahan di Madinah, di seberang lautan Cina tengah memasuki periode penyatuan dan pertahanan. Menurut catatan sejarah awal Cina, masyarakat Tiongkok pun sudah mengetahui adanya agama Islam di Timur Tengah. Mereka menyebut pemerintahan Rasulullah SAW sebagai “Al-Madinah”.
Orang Cina mengenal Islam dengan sebutan Yisilan Jiao, yang berarti “agama yang murni”. Masyarakat Tiongkok menyebut Makkah sebagai tempat kelahiran Buddha Ma-hia-wu, Nabi Muhammad SAW.
Terdapat beberapa versi hikayat tentang awal mula Islam bersemi di dataran Cina. Versi pertama menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina dibawa para sahabat Rasul yang hijrah ke Al-Habasha Abyssinia, Ethopia. Sahabat Nabi hijrah ke Ethopia untuk menghindari kemarahan dan amuk massa kaum Quraisy Jahiliyah. Mereka antara lain Ruqayyah RA, anak perempuan Nabi, Utsman bin Affan RA, suami Ruqayyah, Sa'ad bin Abi Waqqas RA, dan sejumlah sahabat lainnya.
Para sahabat yang hijrah ke Ethopia itu mendapat perlindungan dari Raja Atsma¬ha Negus di kota Axum. Banyak sahabat yang memilih menetap dan tak kembali ke tanah Arab. Konon, mereka inilah yang kemudian berlayar dan tiba di daratan Cina pada saat Di¬nasti Sui berkuasa (581 M-618 M).
Sumber lainnya menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina ketika Sa'ad bin Abi Waqqas dan tiga sahabatnya berlayar ke Cina dari Ethopia pada tahun 616 M. Se¬te¬lah sampai di Cina, Sa'ad kembali ke Arab, dan 21 tahun kemudian kembali lagi ke Guangzhou membawa kitab suci Al-Quran.
Ada pula yang menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina pada 615 M, kurang lebih 20 tahun setelah Rasulullah SAW tutup usia. Adalah Khalifah Utsman bin Affan yang menugasi Sa'ad bin Abi Waqqas untuk membawa ajaran Ilahi ke daratan Cina. Konon, Sa'ad meninggal dunia di Cina pada tahun 635 M. Kuburannya dikenal se¬ba¬gai “Geys' Mazars”.
Utusan khalifah itu diterima secara terbuka oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang. Kaisar pun lalu memerintahkan pembangunan Masjid Huaisheng atau Masjid Memo¬ri¬al di Canton, masjid pertama yang berdiri di daratan Cina. Ketika Dinasti Tang berkuasa, Cina tengah mencapai masa keemasan dan menjadi kosmopolitan budaya. Dengan mudah ajaran Islam tersebar dan dikenal masyarakat Tiongkok.
Pada awalnya, pemeluk agama Islam terbanyak di Cina adalah para saudagar dari Arab dan Persia. Orang Cina yang pertama kali memeluk Islam adalah suku Hui Chi. Sejak saat itu, pemeluk Islam di Cina kian bertambah banyak. Ketika Dinasti Song bertakhta, umat Islam telah menguasai industri ekspor dan impor. Bahkan, pada periode itu jabatan direktur jenderal pelayaran selalu diemban orang Islam.
Pada tahun 1070 M, Kaisar Shenzong dari Dinasti Song mengundang 5.300 pria (pekerja) muslim dari Bukhara untuk tinggal di Cina. Tujuannya untuk membangun zona penyangga antara Cina dan Kekaisaran Liao di wilayah Timur Laut. Orang Bukhara itu lalu menetap di di antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka dipimpin Pangeran Amir Said alias So-Fei Er. Dia mendapat gelar “Bapak Komunitas Muslim di Cina”.
Ketika Dinasti Mongol Yuan (1274 M-1368 M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di Cina semakin besar. Mongol, sebagai minoritas di Cina, memberi kesem¬patan kepada imigran muslim untuk naik status menjadi Cina Han. Sehingga penga¬ruh umat Islam di Cina semakin kuat. Ratusan ribu imigran muslim di wilayah Barat dan Asia Tengah direkrut Dinasti Mongol untuk membantu perluasan wilayah dan pengaruh kekaisaran.
Bangsa Mongol menggunakan jasa orang Persia, Arab, dan Uyghur untuk me¬ngu¬¬rus pajak dan keuangan. Pada waktu itu, banyak muslim yang memimpin dunia usaha di awal periode Dinasti Yuan. Para sarjana muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender. Selain itu, para arsitek muslim juga membantu mendesain ibu kota Dinasti Yuan, Khanbaliq.
Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, muslim masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang, adalah jende¬ral mus¬lim terkemuka, termasuk Lan Yu Who. Pada 1388, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Tak lama setelah itu muncul Laksamana Cheng Ho, se¬o¬rang pelaut muslim andal.
Saat Dinasti Ming berkuasa, imigran dari negara-negara muslim mulai dibatasi bahkan dila¬rang. Cina pun berubah menjadi negara yang mengisolasi diri. Muslim imigran di Cina mulai menggunakan bahasa Cina. Arsitektur masjid pun mulai meng¬ikuti tradisi Cina. Pada era ini Nanjing menjadi pusat studi Islam yang penting. Sete¬lah itu hubungan penguasa Cina dengan Islam mulai memburuk.
Masa Surut Islam di Cina
Hubungan muslimin dengan penguasa Cina mulai memburuk sejak Dinasti Qing (1644-1911) berkuasa. Tak cuma dengan penguasa, hubungan muslim dengan masya¬rakat Cina lainnya juga menjadi makin sulit. Dinasti Qing melarang berbagai kegiatan ke-Islaman.
Menyembelih hewan qurban pada setiap ‘Idul Adha dilarang. Umat Islam tak bo¬leh lagi membangun masjid. Bahkan, penguasa Dinasti Qing juga tak membolehkan umat Islam menunaikan rukun Islam kelima, menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah.
Taktik adu domba pun diterapkan penguasa untuk memecah belah umat Islam, yang terdiri dari bangsa Han, Tibet, dan Mogol. Akibatnya ketiga suku penganut Islam i¬tu saling bermusuhan. Tindakan represif Dinasti Qing itu memicu pemberontakan Pan¬thay, yang terjadi di Provinsi Yunan dari 1855 M hingga 1873 M.
Setelah jatuhnya Dinasti Qing, Sun Yat Sen akhirnya mendirikan Republik Cina. Rakyat Han, Hui (muslim), Meng (Mongol), dan Tsang (Tibet) berada di bawah Republik Cina. Pada 1911, Provinsi Qinhai, Gansu, dan Ningxia berada dalam kekuasaan muslim, yakni keluarga Ma.
Kondisi umat Islam di Cina makin memburuk ketika terjadi Revolusi Budaya.
Pe¬me¬rintah mulai mengendurkan kebijakannya kepada muslim pada 1978. Kini Islam kem¬bali menggeliat di Cina. Itu ditandai dengan banyaknya masjid serta aktivitas muslim antar-etnis di negeri ini.
Itulah kemungkinan yang menjadi salah satu sebab kenapa pemerintah komunis Cina khawatir, dan lebih memilih tindakan keras terhadap geliat masyarakat muslim di negeri itu.
Peran Nyata Umat Islam
Islam hadir di Cina sudah sangat lama. Waktunya hanya terpaut sedikit dari masa Nabi Muhammad SAW. Menurut catatan, delegasi pertama yang datang ke Cina pada tahun ke-29 H/.... M. Utusan itu dipimpin Sa’ad bin Abi Waqash. Dia diberi mandat oleh Khalifah ketiga Utsman bin Affan mengajak kaisar Cina Yung Wei masuk Islam. Sebelumnya hubungan bangsa Arab dan Cina terjalin melalui perdagangan.
Untuk menunjukkan kekaguman dan penghormatannya terhadap Islam, Kaisar lantas mendirikan masjid pertama di Cina. Masjid Canton (Memorial Mosque) sampai saat ini masih berdiri tegak dan telah berusia 14 abad. Masjid ini adalah saksi bisu perkembangan Islam di Negeri Tirai Bambu itu. Setelah itu, hubungan Islam dan Cina berkembang pesat, hingga muncul perkampungan muslim. Yang pertama dibangun adalah Cheng Aan. Itu berlangsung pada masa Dinasti Tang.
Setelah itu, ribuan muslim dari Arab, Persia, dan Asia Tengah menyerbu Cina, yang berada di puncak peradaban.
Pada tahun ke-133 H/.... M, terjadi pertempuran besar yang menentukan sejarah Islam di Asia Tengah. Pasukan muslim dipimpin Ziyad. Meski tak jelas berapa korbannya, Cina mengalami kekalahan menyedihkan dalam pertempuran kali itu. Setelah kemenangan tersebut, muslim mengontrol penuh hampir seluruh wilayah Asia Tengah.
Kemenangan itu membuka pintu lebar-lebar bagi ulama Islam.
Pada 138 H/.... M, Jenderal Lieu Chen melakukan pemberontakan melawan Kaisar Sehwan Tsung. Untuk menumpas pemberontakan itu, Kaisar memohon pertolongan Khalifah Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah, Turki. Al-Mansur menyanggupi dengan mengirim 4.000 tentaranya ke Cina. Bantuan ini membuat Kaisar mampu menghadapi para pemberontak.
Itulah mula pertama tentara Turki hadir di Cina. Mereka menetap dan lantas menikahi wanita Cina. Saat ini ulama Cina berkembang, baik dalam bidang ilmu agama maupun filsafat dan sosial. Bahkan tak sedikit juga yang ikut mewarnai filsafat Confusius.
Namun belakangan umat Islam kembali menghadapi banyak masalah. Kehidupan yang sangat keras dialami saat Dinasti Manchu berkuasa (1644-1911 Masehi). Terjadi perseteruan paling keras, sehingga mengakibatkan lima kali perang. Yakni Perang Lanchu, Che Kanio, Singkiang, Uunanan, dan Shansi. Muslim mengalami kekalahan dalam pertempuran-pertempuran itu. Korban yang jatuh tak terhitung, hingga jumlah muslim tinggal sepertiganya.
Namun, beberapa waktu setelah kekalahan menyakitkan itu, jumlah muslim kembali berkembang. Diperkirakan, ada 60 juta umat Islam. Mereka bukan cuma mengerti teori, tapi juga praktek. Mereka mengenal rukun Islam, konsep halal dan haram, bahkan sempat memimpin peradaban di Cina.
Umat Islam punya babak baru pada masa Mao Tse Tung (1893-1976). Negarawan besar ini juga punya hubungan khusus dengan umat Islam. Ketika dia menetapkan markasnya ke Niyan, umat Islam Cina mendukungnya penuh. Bahkan sebagian musilm ikut bergabung dalam Tentara Merahnya, meski sebagian menyembunyikan agama asli.
Pada 1954 pemerintah menjamin kebebasan untuk melakukan shalat, upacara ri¬tual, budaya, dan sosial. Mereka juga diberi kebebasan terutama menjalin hubungan dengan muslim lain di dunia.
Belakangan memang pemerintah Cina memberi perlakuan khusus bagi mere¬ka. Caranya dengan memberikan otonomi atau provinsi khusus buat mereka. Peme¬rintah Cina memberi hak khusus kepada etnis minoritas.
Sebagai bukti, di luar dari 22 provinsi, ada lima daerah otonomi penuh yang didasarkan pada pengakuan atas hak warga minoritas, bukan saja muslim, tapi juga etnis lain. Wilayah itu adalah Zhuang di Guangxi Zhuangzu, Hui-wilayah muslim di Ning¬xia Huizu, Uyghurs di Xinjiang Uyghurs, Tibet di Tibet, dan Mongol di wilayah khusus Mongol.
Wilayah khusus lain dibedakan lantaran perjanjian dengan Inggris, seperti Hong Kong, yang telah dikembalikan secara resmi. Saat ini, jumlah muslim di Cina diperkirakan sudah mencapai 200 juta jiwa. Tentu ini bukan data resmi, sebab tak ada sensus khusus berbasis agama. Sebagi¬an besar muslim Cina adalah etnis Uyghur, Kazak, Kyrgyz, Uzbek, Tatar, dan Xinjiang.
Kental Muatan Lokal
Islam di Cina kental dengan muatan lokal. Kondisinya mirip dengan di Indonesia, terutama wilayah Jawa. Desain masjid atau rumah-rumah hunian muslim Cina mengambil budaya setempat. Warna merah, kuning, dan bahkan kepercayaan terhadap unsur yin dan yang juga diyakini umat Islam. Muslim Cina masih menghormati dan bahkan meyakini kepercayaan leluhur.
Arsitektur masjid, misalnya. Kubahnya dibuat model Cina. Pada pintunya terdapat tabir tipis dari plastik sebagai pencegah bala. Bagi masyarakat Cina, terlarang pintu yang menghadap ke depan. Biasanya pintu dibuat agak berliku. Dan jika langsung menghadap ke depan, akan ada tirai yang menghalangi.
Sebuah perbedaan yang bisa disaksikan secara kasatmata adalah bahwa muslim tinggal berkelompok. Ini memudahkan mereka mencari makanan halal. Hanya di perkampungan muslimlah kita mendapatkan daging dan makanan halal lain. Di tempat lain makanan halal sulit ditemukan.
Buku-buku agama pun ditulis dalam bahasa Han, sebagai bahasa nasional. Tapi, buku-buku kajian hadits, fiqih, akh¬laq, dan sejarah juga diterbitkan dalam bahasa lokal. Penulis seperti Ma Chu, Leo Tse, dan Chang Chung (1500-1700 M) adalah tokoh yang berjasa menerjemahkan teks Arab dan Persia ke dalam bahasa lokal. Bahkan di antara buku-buku tersebut ada yang ajarannya bercampur dengan ajaran filsafat Confusius.
Penerjemahan Al-Quran pertama dilakukan pada abad ke-19. Ma Pu Shu mencoba menerjemahkan lima juz saja. Meski belum lengkap, apa yang ia kerjakan sangat berjasa bagi muslim lokal.
Abad ke-20 adalah masa keberhasilan bagi umat Islam Cina. Sejumlah ulama berusaha meneruskan langkah Ma Pu Shu. Bukan saja Al-Quran, penerjemahan juga dilakukan terhadap teks agama lain, seperti kitab hadits Al-Arbaiin an-Nawawy. Adalah Syaikh Wang Jing Chai dan Yang Shi Chian yang sangat berjasa melakukannya.
Filsafat dan ilmu pengetahuan sosial lainnya adalah keuntungan yang diperoleh dari ulama Islam Cina. Telaah yang dilakukan Wang Dai Yu dan Liu Tsi pada masa Dinasti Ming dan Chend sangat berjasa bukan saja bagi pengembangan filsafat Islam, tapi juga pemikiran filsafat Cina.
Tokoh-tokoh Muslim Terkemuka
Dominasi peran muslim dalam lingkaran kekuasaan dinasti-dinasti Cina pada Abad Pertengahan telah melahirkan sejumlah tokoh muslim terkemuka. Sebut saja di antaranya Cheng Ho atau Zheng He, laksamana Cina yang menjelajahi dua benua dalam tujuh kali ekspedisi. Bersama Laksamana Cheng Ho, dikenal pula dua nama populer lainnya, yaitu Fei Xin, penerjemah andalan Cheng Ho, dan Ma Huan, seorang pengikut Ceng Ho.
Di kalangan militer sempat muncul tokoh-tokoh muslim yang menduduki jabatan puncak, khususnya pada Dinasti Ming, di antaranya Jenderal Chang Yuchun, pendiri Dinasti Ming, Hu Dahai, Lan Yu, Mu Ying. Sementara pada peristiwa pemberontakan Panthay, nama Du Wenxiu dan Ma Hualong menjadi tokoh sentralnya. Di samping itu, sejumlah muslim yang masuk dalam kelompok tentara Ma selama era Republik Cina memiliki ketokohan yang juga menyita perhatian banyak orang di saat itu, di antaranya Ma Bufang, Ma Chung-ying, Ma Fuxiang, Ma Hongkui, Ma Hong¬bin, Ma Lin, Ma Qi, Ma Hun-shan Bai Chongxi.
Para ilmuwan muslim Cina juga tampil di tengah-tengah pergulat-an keilmuan para cendekiawan di sana. Nama ilmuwan muslim yang cukup dikenal di Cina di antaranya Bai Shouyi, Tohti Tunyaz, sejarawan, Yusuf Ma Dexin, penerjemah Al-Quran pertama ke dalam bahasa Cina, Muhammad Ma Jian, penulis dan penerjemah Al-Quran terkemuka, Liu Zhi, penulis di era Dinasti Qing, Wang Daiyu, ahli astronomi pada era Dinasti Ming, Zhang Chengzhi, penulis kontemporer.
Dalam dunia politik, tokoh-tokoh muslim pun tampil tak kalah pamornya. Di antara mereka yang pernah duduk dalam pos-pos yang strategis adalah Hui Liangyu, wakil perdana menteri urusan pertanian RRC, Huseyincan Celil, imam Uyghur yang dipenjara di Cina, Xabib Yunic, menteri pendidikan Second East Turkistan Republic, Muhammad Amin Bughra, wakil ketua Second East Turkistan Republic.
Nama-nama seperti Noor Deen Mi Guangjiang, seorang ahli kaligrafi, Ma Xianda ahli bela diri, dan Ma Menta, pengurus Federasi Wushu Tongbei Rusia, juga muncul di antara tokoh-tokoh lainnya yang memberikan banyak kontribusi positif di Negeri Tirai Bambu itu. (AM, dari berbagai sumber)
Sumber: Majalah Al-kisah