Menyambung & Memutus Persaudaraan; Makna dan Faidahnya dalam Agama (1)
Segala puji bagi Allah, Tuhan manusia, yang menunjukkan o...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2010/12/menyabung-memutus-persaudaraan-makna.html?m=0
Segala puji bagi Allah, Tuhan manusia, yang menunjukkan orang yang Dia kehendaki menuju Surga Darus Salam, yang telah memerintahkan kita menyambung persaudaraan (sihlaturr ahmi) dan melarang kita memutusnya (qathi'atur rahmi). Kita memohon kepada Allah agar Dia member pertolongan kepada kita untuk bersilatur rahmi sepanjang hari dan malam, serta menjaga kita agar terhindar dari perbuatan memutus persaudaraan sepanjang masa hingga hari kiamat.
Sholawat dan Salam semoga dihaturkan kepada junjungan kita Muhammad, junjungan manusia, dan lentera kegelapan. Juga dihaturkan kepada keluarga dan sahabat beliau yang menjadi pemimpin-pemimpin yang berilmu.
Agama Islam telah menentukan hak-hak diantara kita sendiri, hak-hak diantara kita dan Tuhan kita, dan hak-hak antara kita dan selain kita. Hak-hak antara seseorang dan yang lain mencakup banyak warna, diantara adalah hak-hak tetangga, hak-hak kedua orang tua dan hak-hak saudara-saudara kita.
Makna kata "ar rahmi" diungkapkan untuk saudara yang bersifat umum dan saudara yang bersifat khusus. Saudara yang bersifat umum ialah persaudaraan islam dan muslimin dimanapun berada dan bagaimanapun keadaan mereka. Meskipun mereka berjauhan tempat, dan berbeda dalam bahasa, mereka semua bersaudara yang seharusnya ada usaha untuk menyambungnya.
Saudara yang bersifat khusus ialah saudara kekerabatan. Hal ini mencakup saudara-saudara kandung, paman, bibi dan lain-lain, baik laki-laki atau perempuan, tua atau muda, dimanapun mereka berada dan bagaimanapun keadaannya. Semuanya termasuk dalam saudara yang bersifat khusus, yang harus disambung dan tidak boleh diputus. Al Quran telah menganjurkan kita menyambung persaudaraan dalam banyak ayat. Diantara adalah firman Allah:
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ... [الرعد:21]
"Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan". (QS. Ar Ra'du: 21)
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى.... [النساء: 36]
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat". (QS. An Nisa': 36)
dan masih banyak ayat-ayat lain yang memerinthkan kita bersilaturrahmi
Bentuk shilatur rahmi ada tiga derajat:
Pertama: Memberi nafkah kepada saudara yang membutuhkan, seperti memberi nafkah kepada anak-anak kita. Ini adalah derajat yang paling tinggi. Atas dasar ini, banyak para sahabat dan tabi'in yang memberikan nafkah kepada saudara-saudara mereka, juga kepada orang islam yang lain, yang membutuhkan, sementara diantara mereka tidak ada hubungan keluarga kecuali hubungan sesama Islam. Diantara sahabat-sahabat itu adalah Sayyiduna Ali Zainal Abidin bin Husain bi Ali bin Abi Thalib. Beliau sangat berupaya dalam bersilaturrahmi. Ia memberikan nafkah kepada sebagian besar penduduk Madinah.
Para salafus shalih juga demikian. Mereka memberikan nafkah kepada keluarga-keluarga yang fakir, kepada manusia yang tidak ada hubungan kerabat kecuali persaudaraan Islam. Jika mereka mau memberikan nafkah untuk orang yang tidak adan hubungan kerabat, maka pemberian nafkah yang mereka lakukan kepada saudara-saudara mereka yang senasab, ada hubungan perkawinan dan radla'ah (persusuan), tentu malah lebih.
Keluarga Ba'alawi juga sangat berupaya untuk member nafkah kepada saudara-saudara mereka dan tetangga-tetangga mereka yang membutuhkan. Diantaranya adalah Al Imam Abdillah bin Alawi bin Sayyidina Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali Ba'alawi, Tarim Hadramaut. Beliau memberikan nafkah kepada kebanyakan orang-orang fakir dari kerabatnya dan orang-orang yang bermukim di kota Tarim, apalagi tentangg-tetangganya, hingga mereka merasa malu karena banyaknya pemberian dan pertolongan Al Imam. Merekapun menyalakan api di loteng-loteng rumah mereka, menunjukkan bahwa mereka sedang membuat roti. Mereka juga menyalakan tungku-tungku mereka, menunjukkan bahwa mereka tidak butuh lagi akan pertolongan Al Imam. Ketika anak-anak mereka datang kepada Al Imam menceritakan apa yang telah diperbuat orang tua mereka, Al Imam bertanya, "Apa makanan pagi dan makanan sore kalian hari ini?". Mereka menjawab, "Kami tidak punya apa-apa hari ini". Al Imam akhirnya mengetahui hal sesunggunya, dan kembali memberikan pertolongan. Demikian, hendaknya bagi yang kaya dan mampu untuk menafkahkan banyak harta dalam jalan Allah yang Maha suci lagi Maha Luhur. (Bersambung)