Posisi Rukhsah Dalam Syariah
Pendahuluan Allah mengutus Rasulullah SAW bukan untuk menyusahkan dan mempersulit manusia. Ia membawa syar...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2011/03/posisi-rukhsah-dalam-syariah.html
Pendahuluan
Allah mengutus Rasulullah SAW bukan untuk menyusahkan dan mempersulit manusia. Ia membawa syariah yang sesuai dengan karakter manusia dengan segala kemudahan dan kemurahan sebagai wujud kasih sayang Allah kepada hambanya. Adanya rukhsah dalam syariah merupakan anugerah Allah yang patut kita syukuri dan mencerminkan universalitas dan kemudahan dalam Islam. Allah berfirman :
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
"Allah menghendaki untuk memberikan keringanan bagimu. Dan Dia menciptakan manusia sebagai makhluk yang lemah".
Banyak ayat-ayat al Quran dan hadits-hadits Rasulullah yang menjelakan tentang banyaknya kemudahan dalam Islam, yang semua itu menjadi bukti bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh penghuni alam (rahmatan lil `alamin).
Tiada yang patut kita lakukan kecuali hanya bersyukur atas semua rahmat Allah dalam berbagai sendi kehidupan dengan menggerakkan anggota badan sesuai dengan tujuan penciptaan.
Pengertian Rukhsah
Secara lughat, dalam kitab "Lisân al `Arab", kata rukhsah mempunyai banyak makna, diantaranya adalah:
1. Halusnya sentuhan. Dikatakan "rakhusha al badanu" (badan yang halus dan lembut sentuhannya). Isim failnya adalah rakhsh-raskhish untuk mudzakar, dan rukhshah-rakhishah, untuk tatsniyah.
2. Turunnya harga. "Rakhusha asy syai'u rukhshan" (harga barang itu murah).
3. Ijin terhadap sesuatu setelah ada larangan. "Rakhusha lahu fil amri" (dia mengijinkan suatu perkara untuknya).
Kata rukhsah mengikuti wazan fu`lah, seperti lafadz ghurfah, yang menjadi lawan kata dari tasydid (memberatkan), yakni rukhsah dimaknai pemberian kemudahan dalam sesuatu. Dikatakan, "Rakhkhasha asy syar`u fi kadza tarkhishah" (syariah memberi kemudahan dalam masalah ini).
Rasulullah SAW bersabda:
إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ
"Sesungguhnya Allah senang untuk memberi rukhshah (kemudahan), sebagaimana Dia benci untuk memberikan maksiatNya".
Menurut Al Imam Al-Ghazali, secara istilah, rukhsah ialah sebuah ungkapan untuk perkara yang dimudahkan dan dilapangkan bagi seorang mukallaf dalam melakukannya, sebab udzur dan tidak mampu melakukannya, disertai adanya penyebab yang menghalangi.
Rukhsah mempunyai keterkaitan makna dengan `azimah yang secara lughat berarti niat, kehendak yang kuat. Secara istilah azimah ialah ungkapan untuk sesuatu yang wajib bagi para hamba berdasar pewajiban dari Allah SAW.
Rukhsah dan `azimah sebagai pembanding selalu berdampingan dan dinisbatkan pada hukum syar'i berdasar kesepakatan ulama. Kedua-duanya termasuk hukum wadl'i menurut pendapat yang rajih. Sedang menurut pendapat marjuh, keduanya termasuk hukum taklifi. Dengan demikian, taklif selalu ada dalam `azimah seperti keberadaannya dalam rukhshah. Tetapi taklif dalam `azimah bersifat pokok (ashli), global (kulli), berlaku umum dan jelas. Taklif dalam rukhsah bersifat insidensial (thori'), spesifik (juz'i), tidak berlaku umum, dan samar. `Azimah juga merupakan gambaran hak Allah atas hambaNya, sedang rukhsah adalah gambaran dari kasih sayang Allah untuk hambanya.
Shighat Nash Yang Menunjukkan Rukhsah
Shighat nash yang menunjukkan rukhsah pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Ada lafadz dalam nash yang diambil (musytaq) dari lafadz; rakhkhasha, arkhasha, dan rukhshah. Sebagai contoh dalam hadits disebutkan:
وَ نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ , وَرَخَّصَ فِي الْعَرِيَّةِ
"Nabi Muhammad SAW melarang menjual kurma dengan kurma, (tetapi) memberikan kemurahan dalam `ariyah (aqad pinjaman)".
2. Ada lafadz yang menunjukkan penghapusan dan penafiyan dosa (nafyu al junah dan nafyu al itsm), dimana lafadz semacam ini ditemukan di dalam lebih dari 20 ayat Al-Qur'an seperti ayat berikut:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلَاةِ
"Jika kamu bepergian di bumi, maka tidak ada dosa bagimu untuk melakukan qashar shalat".
إنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنْ اُضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إثْمَ عَلَيْهِ
"Sesungguhnya Allah mengharamkan bangkai, darah, daging babi dan hewan yang dipersembahkan (disembelih) untuk selain Allah. Maka barang siapa dalam keadaan terdesak dan tidak dalam berbuat kejahatan dan teledor, maka tidak ada dosa baginya".
3. Pengecualian (istitsna'). Contoh:
مَنْ كَفَرَ بِاَللَّهِ مِنْ بَعْدِ إيمَانِهِ إلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنْ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Barang siapa kafir setelahia beriman, kecuali orang yang terpaksa dan hatinya tetap dalam iman, tetapi ia menampakkan kekufuran, maka atas mereka murka Allah dan bagi mereka siksa yang pedih".
Macam-macam Rukhsah
Ulama syafi'iyah membagi rukhsah menjadi empat macam dengan memandang hukumnya. Yaitu rukhsah wajib, rukhsah sunah, rukhsah mubah dan rukhsah khilaful awla.
Contoh rukhsah wajib adalah diperbolehkannya mengkonsumsi barang yang diharamkan bagi orang yang terdesak. Ada yang mengatakan hukum masalah ini adalah jaiz (boleh) berdasarkan alasan bahwa hukum wajib bertentangan rukhsah. Dengan demikian, seorang ulama mengatakan bahwa masalah ini bukan dalam kategori rukhsah, tetapi bisa disebut sebagai `azimah, sama halnya dengan berhenti berpuasa (ifthar) dalam bulan ramadlan bagi orang yang sakit.
Rukhsah sunah seperti shalat qashar bagi musafir dengan tujuan sejauh tiga marhalah atau lebih sekira dapat menimbukan kesulitan dalam perjalanan, melihat kepada wanita yang di-khithbah dan mencampur harta anak yatim dengan harta milik sendiri sebatas ada keperluan
Rukhsah mubah seperti diperbolehkannya akad bertentanga dengan qiyas, seperti aqad salam, `ariyah, masaqah, ijarah dan contoh-contoh lain yang diperbolehan karena ada keperluan
Yang ke empat adalah rukhsah yang berhukum khilaf al awla. Seperti ifthar puasa bagi orang yang berpergian, padahal ia sebenarnya mampu dan kuat untuk melanjutkan puasa.
Melakukan rukhsah secara berturut-turut.
Rukhsah-rukhsah syar'iyah yang berdasarkan al-Quran dan hadits boleh dilakukan secara berturut-turut. Tetapi melakukan rukhsah yang timbul berdasar pendapat ulama yang bersifat ijtihadi dianggap sebagai perbuatan lari dari jaring-jaring taklif, lari dari tanggung jawab, merobohkan pilar-pilar perintah dan larangan, mengingkari hak-hak Allah atas hambanya, dan bertentangan dengan tujuan diberlakulannya syariah. Para ulama menyebut pelaku perbuatan ini sebagai orang yang fasiq, bahkan Ibnu Hazm menyatakan hal ini sudah menjadi consensus (ijma') para ulama. Beliau berkata: "Jika kamu melakukan setiap rukhsah ulama, maka akan berkumpul dalam dirimu semua keburukan".
Rukhsah Bersifat Idlafiyah
Rukhsah dengan banyaknya dalil yang mendukungnya, serta dorongan syariah untuk senang melakukannya adalah bersifat idlafi. Artinya setiap seorang mukallaf mengetahui kondisi dirinya untuk tidak atau melakukan rukhsah. Untuk penjelasan masalah ini, cukup dengan memahami bahwa masyaqah (kesulitan) yang menjadi penyebab terpenting timbulnya rukhsah, berbeda-beda kuat dan lemahnya sesuai dengan keadaan manusia. Hukum rukhsah bagi musafir pun bermacam-macam sesuai dengan keadaan musafir itu sendiri, waktu saat melakukan perjalanan, jauh tidaknya, sarana-sarananya dan hal-hal lain yang sulit untuk didefinisakan. Jadi, hukum rukhsah tidak tergantung pada masyaqah itu sendiri tetapi disandarkan pada perkara lain yang secara umum menunjukkan nilai masyaqah. Dalam contoh musafir, yang secara umum menunjukkan nilai masyaqah ialah safar itu sendiri, sebab safar diketauai sebagai tempat timbulnya masyaqah.
Wallahu A'lam
Sumber: Al-Mawsuah al fiqhiyah al kuwaitiyah