Jalinan Mesra Para Sahabat Dan Ahlul Bait
Ahlul bait ialah ahlul kisa’ yakni beberapa orang yang pernah diselimuti oleh Rasulullah SAW, yaitu Sayyidah Fatimah, Sayyidina ‘Ali, ...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/02/jalinan-mesra-para-sahabat-dan-ahlul.html?m=0
Ahlul bait ialah ahlul kisa’ yakni beberapa orang yang pernah diselimuti oleh Rasulullah SAW, yaitu Sayyidah Fatimah, Sayyidina ‘Ali, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain, beserta seluruh keturunannya, juga para isteri Nabi SAW yang kemudian disebut sebagai ummahatul mu’minin.
Menurut keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah, mencintai Ahlul bait dan para sahabat adalah wajib, dengan kecintaan yang bersifat seimbang dan tawasuth, tidak berlebih-lebihan. Menanamkan fanatisme buta kepada Ahlul bait dapat menimbulkan citra negatif bahkan tanpa disadari justeru menistakan ahlul bait, sebagai orang-orang yang ambisius, suka berpura-pura dan penakut (taqiyah). Padahal ahlul bait adalah orang-orang yang dilindungi Allah dari perilaku yang kotor dan tercela, sebagaimana firman Allah :
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (QS. Al-Ahzab: 33)
Salah satu keyakinan kelompok yang terlalu berlebihan dalam mencintai Ahlul bait adalah raj’ah. Raj’ah ialah keyakinan tentang pembalasan dendam oleh Sayyidina Ali karramallahu wahjah dan Imam Mahdi (menurut keyakinan mereka) kepada para sahabat yang dianggap telah merampas hak Sayyidina Ali atas kekhalifahan setelah Rasulullah SAW. Para sahabat itu nanti di akhir zaman akan dihidupkan kembali lalu dipukul, disiksa, dan disalib. Keyakinan ini justeru menggambarkan potret hitam Ahlul Bait yang suci dengan gambaran orang-orang pendendam, gila jabatan dan tidak berperi kemanusiaan.
Gambaran ahlul bait yang seperti itu adalah sesuatu yang mustahil, karena mereka bagaikan mutiara-mutiara yang berkilau dan bersih dari sikap dan perilaku yang tidak terpuji. Umat islam telah maklum bahwa sayyidina Ali dijuluki “Laits Bani Ghalib” pendekar yang tak terkalahkan dalam setiap peperangan. Adalah tidak mungkin jika beliau bersikap taqiyah saat Abu Bakar, Umar lalu Utsman menjadi khalifah setelah Rasulullah SAW wafat. Apalagi menganjurkannya dan memerintahkan pengikutnya uantuk memberontak dam menyebarkan caci maki.
Memang dalam sejarah ada perselisihan antara sebagian ahlul bait dan para sahabat. Tetapi hal tersebut sampai menimbulkan dendam sepanjang zaman. Allah memberikan jaminan dalam firmanNya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”. (QS. Al-Fath: 29)
Hal ini bukan hal yang mengada-ada, tetapi berdasar fakta sejarah dari berbagai literatur yang menyatakan bahwa antara ahlul bait dan para sahabat ada kemesraan yang terjalin, saling mencintai karena Allah dan tidak ada permusuhan dan dendam. Aisyah menceritakan tentang ayahnya, Abu Bakar, tentang kecintaannya kepada ahlul bait. Berliau berkata:
لقرابة رسول الله صلى الله عليه وسلم أحب إلي أن أصل من قرابتي
“Sesungguhnya kerabat-kerabat Rasulullah SAW lebih aku cintai dari pada keluargaku sendiri”. (Shahih Al-Bukhari No. 3730)
Sayyidin Umar adalah salah satu sahabat yang memperhatikan dan memuliakan ahlul bait. Diceritakan dari Abdullah bin Abbas bahwa Sayyidina Umar berkhutbah di atas mimbar Rasulullah SAW dan berkata: “Sayyidina Ali adalah orang yang paling ahli di bidang hukum dan Ubai adalah orang yang paling fasih bacaannya”. (Shahih Al-Bukhari: 4121).
Suatu ketika Abu Bakar melakukan shalat ashar. Setelah itu ia berjalan pulang dan melihat Hasan bin Ali sedang bermain dengan anak-anak sebanya. Abu Bakar lalu menggendongnya dan berkata: “Sungguh anak ini sangat mirip dengan Nabi, tidak mirip Ali”. Mendengar itu, Ali tertawa. (Shahih Al-Bukhari: 3278).
Senda gurau itu tentu tidak akan terjadi jiak diantara keduanya ada permusuhan.
Diceritakan dari putra Sayyidina Ali, Muhammad bin Hanafiyah, beliau bertanya kepada Sayyidina Ali: “Siapa manusia yang paling utama?”. Sayyidina Ali menjawab: “Abu Bakar”. Lalu ia bertanya lagi: “Lalu siapa?”. Sayyidina Ali menjawab: “Umar”. Dengan sedikit ragu Muhammad bin Hanafiyah bertanya lagi: Lalu siapa?”. Sayyidina Ali menjawab: “Utsman”. Lalu ia berkata: “Lalu engkau wahai ayahku?”. Sayyidina Ali berkata: “Tidak!. Aku hanya seorang laki-laki seperti muslim lainnya”. (Sunan Abu Dawud: 4013)
Saat Umar wafat dan dibaringkan diantara makam rasulullah dan mimbarnya, Ali datang dan berdiri di barisan terdepan dan berkata: “Inilah orangnya, inilah orangnya, inilah orangnya!. Semoga Allah memberi rahmat kepadamu. Tidak seorang hamba Allah yang paling aku cintai untuk bertemu Allah setelah buku catatan Nabi, selain dari yang terbentang di tengah-tengah kalian ini”. (Musnad Ahmad: 823)
Dari hadits-hadits di atas dapat dipahami bahwa sayyidina Ali sangat begitu menghormati kepada khalifah-khalifah sebelumnya, tidak mempunyai rasa dendam dan merasa tersaingi, serta bersifat rendah diri.
Bukti-bukti diatas sebenarnya tidak hanya tercatat dalam literatur ahlussunnah wal jamaah. Dalam kitab-kitab Syiah pun bukti-bukti ini tercatat jelas, seperti dalam kitab Talkhis Asy-Syafi (juz 2 hlm. 48), dan As-Syafi (hlm. 428).
Kecintaan Aisyah kepada Ahlul bait juga tidak diragukan. Ketika Jami’ bin Umair At-Taymi bersama bibinya menemui Aisyah, ia bertanya: “Siapa yang paling dicintai Rasulullah SAW?”. Aisyah menjawab: “Fathimah”. “Kalau dari laki-laki?”. Aisyah menjawab: “Suaminya (sayyidina Ali). Karena aku tahu dia rajin puasa dan penuh tanggung jawab”. (HR. Tirmidzi: 3873).
Mungkinkah Sayidah Aisyah menyatakan hal itu, jika dalam hatinya ada dendam atau iri kepada Sayidah Fatimah dan Sayyidina Ali?.
Demikian teladah indah ahlul bait yang dicintai Rasulullah SAW dan disucikan Allah SWT dari sifat-sifat kotor. Kita sebagai umat Islam harus meneladani mereka sebagai wujud kecintaan kita kepada mereka. Wallahul Musta’an