Bolehkah Membaca Yasin Fadilah?
Membaca al-Quran adalah afdlolul qurobat, karena dengan sekadar membacanya, pahala akan didapat meski tidak paham akan maknanya. Sebagian ul...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/10/bolehkah-membaca-yasin-fadilah.html?m=0
Membaca al-Quran adalah afdlolul qurobat, karena dengan sekadar membacanya, pahala akan didapat meski tidak paham akan maknanya. Sebagian ulama mengatakan bahwa sering atau tidaknya membaca al-Qur’an bisa dijadikan ukuran kecintaan seseorang kepada Allah SWT. Diantara surat-surat atau ayat-ayat al-Quran ada yang mempunyai keistemewaan atau fadilah yang akan diberikan Allah kepada orang yang membacanya dan mengistiqamahkannya, berdasarkan hadits Rasulullah SAW. Diatara surat-surat al-Quran itu ialah surat Yasin.
Sebagian kalangan menganggap hadits-hadits tentang fadilah surat Yasin adalah hadits dla’if, bathil bahkan maudlu’. Anggapan ini sebenarnya adalah anggapan yang mengada-ada, karena pada kenyataannya, banyak ulama seperti Imam Ibnu Hibban, Ibnu Katsir, Al-Hafdz As-Suyuthi, As-Syaukani dan lain-lain telah menjelaskan, tidak kesemua hadits-hadits tentang fadilah surat yasin itu batil atau maudlu’. Bahkan diantara hadits-hadits tersebut adalah shahih. Dalam kitab tafsirnya (Juz 1 hlm. 342-343), Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan bahwa hadits-hadits berikut tentang fadilah surat Yasin ini adalah shahih:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من قرأ يس في ليلة أصبح مغفورا له ، إسناده جيد (رواه الحافظ أبو يعلى)
“Barang siapa membaca surat Yasin pada malam hari, maka ia diampuni pada pagi harinya”. Sanad hadits jayyid (shahih) (HR. Abu Ya’la)
عن جندب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من قرأ يس في ليلة ابتغاء وجه الله غفر له (رواه ابن حبان في صحيحه)
“Barang siapa membaca surat Yasin pada malam hari, karena mencari ridlo Allah, maka ia akan diampuni”. (HR. Ibnu Hibban)
Hadits fadilah Yasin juga dinilai shahih oleh As-Suyuthi dalam kitab Tadrib ar-Rawi (Juz 1 hlm. 341-342) dan As-Syaukani dalam Al-Fawaid al-Majmu’ah (hlm. 269).
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam Ar-Ruh (hlm. 187) mengatakan:
“Dari Hasan bin Haitsam berkata: Aku mendengar Abu Bakar At-Thusi berkata: “Ada seorang laki-laki yang rutin mendatangi makam ibunya dan membaca surat Yasin di makam ibunya. Kemudian berkata: “Ya Allah, apabila Engkau berikan pahala bagi surat ini, maka jadikanlah pahalanya bagi semua penghuni kuburan ini”. Pada hari jumat berikutnya, seorang wanita datang dan berkata kepada laki-laki itu: “Kamu Fulan bin Fulanah?”. Ia menjawab: “Ya”. Wanita itu berkata: “Aku punya anak perempuan yang telah meninggal. Lalu aku bermimpi melihatnya duduk-duduk di pinggir makamnya. Aku bertanya: “Kamu kok bisa duduk-duduk di sini?”. Putriku menjawab: “Sesungguhnya Fulan bin Fulanan datang ke makam ibunya. Ia membaca surat Yasin dan pahalanya dihadiahkan kepada semua penghuni makam ini. Kami dapat bagian rahmatnya. Atau kami diampuni dan semacamnya”.
Di sebagian daerah yang berpenduduk mayoritas warga NU, berlaku suatu amalan membaca surat Yasin, namun bukan surat Yasin biasa, tetapi Yasin Fadhilah. Yasin Fadilah adalah membaca surat Yasin yang pada ayat-ayat tertentu dibaca secara berulang-ulang, juga disisipi bacaan doa tertentu selain al-Quran. Perlu diketahui, bahwa sisipan bacaan doa ini sesuai atau berkaitan dengan ayat sebelumnya. Ada tiga masalah yang perlu dipertanyakan sehubungan dengan amalan tersebut. Pertama: Bagaimana hukum mencampur penulisan ayat al-Qur’an dengan kalimat-kalimat lain yang bukan al-Qur’an? Kedua: Bagaimana pula hukum membacanya? Ketiga: Apakah surat-surat lain yang bukan surat Yasin juga boleh dijadikan sebagaimana Yasin Fadhilah?
Ada perbedaan hukum mengenai mencampur penulisan ayat dengan kalimat lain selain al-Quran dan menyisipkan pembacaan doa selain al-Quran di antara ayat al-Quran. Perbedaan itu sebagai berikut :
Hukum menulisnya adalah makruh, karena hal itu akan menimbulkan dugaan bahwa do’a-do’a atau bacaan-bacaan tersebut termasuk ayat/surat Al-Qur’an. Sebagaimana tersebut dalam kitab Al-Itqan, Juz III hal. 171:
وَقَالَ الْحَلِيْمِيْ: تُكْرَهُ كِتَابَةُ اْلأَعْشَارِ وَاْلأَخْمَاسِ وَأَسْمَاءِ السُّوَرِ وَعَدَدِ اْلآيَاتِ فِيْهِ لِقَوْلِهِ: جَرِّدُوا الْقُرْآنَ. وَأَمَّا النُّقَطُ فَيَجُوْزُ لَهُ لأَنَّهُ لَيْسَ لَهُ صُوْرَةٌ فَيُتَوَهَّمُ لأَجْلِهَا مَا لَيْسَ بِقُرْآنٍ قُرْآناً. وَإِنَّمَا هِيَ دَلاَلاَتٌ عَلَى هَيْئَةِ الْمَقْرُوْءِ فَلاَ يَضُرُّ إِثْبَاتُهَا لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهَا. وَقَالَ الْبَيْهَقِيْ: مِنْ آدَابِ الْقُرْآنِ أَنْ يُفْخَمَ فَيُكْتَبُ مُفَرَّجاً بِأَحْسَنِ خَطٍّ، فَلاَ يُصَغَّرُ وِلاَ يُقَرْمَطُ حُرُوْفُهُ، وَلاَ يُخْلَطُ بِهِ مَا لَيْسَ مِنْهُ كَعَدَدِ اْلآيَاتِ وَالسَّجَدَاتِ وَالْعَشَرَاتِ وَالْوُقُوْفِ وَاخْتِلاَفِ الْقِرَاءَاتِ وَمَعَانِي اْلآيَاتِ.
“Imam Halimi berkata : makruh hukumnya menulis tanda sepersepuluh, seperlima, nama surat dan bilangan ayat di tengah-tengah surat/ayat Al-Qur’an. Karena sabdanya : bersihkanlah tulisan Al-Qur’an (dari hal yang bukan Al-Qur’an). Adapun memberi titik maka hukmnya boleh, karena tidak merubah bentuk yang sekiranya menimbukan dugaaan bahwa yang bukan Al-Qur’an dianggap Al-Qur’an. Hal itu hanyalah petunjuk atas keberadaan huruf yang dibaca. Imam Baihaqi berkata : Di antara tata krama terhadap Al-Qur’an adalah hendaklah bersikap serius kepada Al-Qur’an, hendaklah menulisnya dengan hitam putih, tulisannya harus yang indah, jangan dibuat terlalu kecil hurufnya, jangan terlalu rapat baris-barisnya jangan mencampurnya degnan tulisan-tulisan yang bukan termasuk Al-Qur’an, seperti bilangan ayat, tanda ayat sajdah, tanda sepersepuluh, tanda waqaf, perbedaan bacaan dan makna kandungan ayat”.
Adapun membaca do’a atau kalimat lainnya di tengah-tengah surat yasin atau surat yang lain, hukumnya sunnat apbila do’a atau kalimat-kalimat tersebut relevan (ada keterkaitan) dengan tuntutan makna ayat/surat yang dibaca itu. Tersebut dalam kitab Ihya’ Ulumiddin juz I hal. 279 :
وَفِيْ أَثْنَاءِ الْقِرَاءَةِ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ تَسْبِيْحٍ سَبَّحَ وَكَبَّرَ، وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ دُعَاءٍ وَاسْتِغْفَارٍ دَعَا وَاسْتَغْفَرَ، وَإِنْ مَرَّ بِمَرْجُوٍّ سَأَلَ، وَإِنْ مَرَّ بِمَخُوْفٍ اسْتَعَاذَ. يَفْعَلُ ذَلِكَ بِلِسَانِهِ أَوْ بِقَلْبِهِ.
“Di tengah-tengah membaca Al-Qur’an, ketika seseorang melewati suatu ayat yang berisi mensucikan Allah, dia bertasbih dan bertabir, ketika melewati ayat yang berisi permohonan dan minta ampunan, dia berdo’a dan beristighfar, ketika melewati ayat yang berisi harapan dia mengajukan permohonan dan ketika melewati ayat yang berisi hal-hal yang menakutkan, dia memohon perlindungan. Itu semua dia lakukan dengan ucapan lisannya atau digerakkan dalam hatinya”.
Berdo’a di tengah bacaan Al-Qur’an juga pernah dilakukan oleh Nabi SAW. sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat Imam An-Nasa’ai :
عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّهُ صَلَّى إِلَى جَنْبِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَرَأَ فَكَانَ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ عَذَابٍ وَقَفَ وَتَعَوَّذَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ وَقَفَ فَدَعَا وَكَانَ يَقُولُ فِى رُكُوعِهِ: سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ. وَفِى سُجُودِهِ: سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى.
“Diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah ra. bahwa dia melakukan shalat malam di samping Rasulullah SAW. beliau membaca surat ketika sampai pada ayat yang menerangkan adzab, beliau berhenti dan meminta perlindungan dan ketika sampai pada ayat yang menerangkan rahmat beliau berhenti dan berdo’a meminta rahmat, ketika ruku’ beliau membaca Subhana Rabbiyal Adzimi, dan ketika sujud beliau membaca Subhana Rabbiyal A’la”. (HR. Nasa’i)
Sumber:
1. Majalah AULA: 03/SHN XXXIV/Maret 2012, hlm. 31