Empat Masalah Seputar Qurban
Setiap tanggal 10 Dzulhijjah, umat Islam merayakan Idul Adha, Idun Nahri atau Idul Qurban. Dinamakan demikian, karena pada hari itu umat ...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/10/empat-masalah-seputar-qurban.html
Setiap tanggal 10 Dzulhijjah, umat Islam merayakan Idul Adha, Idun Nahri atau Idul Qurban. Dinamakan demikian, karena pada hari itu umat Islam yang mampu dianjurkan berqurban dengan menyembelih hewan ternak berupa kambing, sapi atau unta dengan niat bertaqarrub kepada Allah SWT. Mayoritas ulama berpendapat bahwa berqurban hukumnya sunat, sedangkan kalangan Hanafiyah mengatakan wajib. Pensyariatan qurban berdasar firman Allah:
فَصَل لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (الكوثر: 2)
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah”. (QS. Al-Kautsar: 2)
Dari hadits, diantaranya adalah sabda Rasulullah SAW:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا (رواه ابن ماجه والحاكم)
“Barang siapa mempunyai kesempatan dan ia tidak berkurban maka hendaknya jangan mendekati tempat shalat kami”. (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim).
Hikmah disyariatkannya kurban adalah sebagai tanda syukur kepada Allah akan kenikmatan hidup, serta menghidupkan sunnah nabi Ibrahim ketika beliau diperintah Allah untuk mengagungkan asmaNya dengan menyembelih anaknya, yaitu Nabi Ismail. Dengan menghidupkan sunnah tersebut, seseorang akan mampu meniru kesabaran nabi Ibrahim yang mendahulukan cinta kepada Allah melebihi cintanya kepada dirinya sendiri dan anaknya. Berkurban juga berguna untuk menghilangkan atau menolak balak musibah.
Waktu penyembelihan Qurban dimulai sejak sesudah kaum muslimin selesai melaksanakan shalat ‘id pada tanggal 10 Dzulhijjah sampai terbenamnya matahari tanggal 13 Dzul Hijjah.
Hewan ternak yang dianggap mencukupi sebagai qurban ialah kambing yang hanya cukup untuk satu orang, dan sapi atau unta yang cukup untuk tujuh orang. Dalam riwayat sahabat Jabir bin Abdillah disebutkan :
نَحَرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَّةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ. رواه مسلم
“Kita para sahabat bersama Rasulullah SAW. pada tahun Hudaibiyah menyembelih qurban berupa seekor unta untuk qurbannya tujuh orang dan seekor sapi juga untuk qurbannya tujuh orang”. (HR. Muslim)
Pada intinya, hewan yang cukup untuk qurban adalah jenis binatang ternak, maka kerbau juga dapat dijadikan qurban diqiyaskan dengan sapi.
Ada riwayat dari Ibnu Abbas bahwa berqurban dengan ayam atau sejenisnya, karena inti dari berqurban adalah mengalirkan darah hewan. Menurut sebagian ulama, walaupun qaul ini terbilang kurang masyhur di kalangan ulama empat madzhab, qaul ini bisa dijadikan penyemangat bagi kalangan fakir yang tidak mampu berkurban dengan hewan yang semestinya.
Sebaiknya qurban disembelih sendiri jika mampu. Bila tidak, maka diperbolehkan mewakilkan menyembelih qurban kepada orang lain.
Selanjutnya ada empat masalah berikut ini yang terkait qurban yang perlu diperhatikan.
1. Qurban untuk Orang yang Sudah Meninggal
Bagaimana hukumnya? Menurut Imam Rofi’i, berqurban untuk orang yang sudah meninggal adalah boleh-boleh saja. Dalam kitab Qalyubi juz IV hal. 255, dijelaskan:
(وَلاَ تَضْحِيَةَ عَنِ الْغَيْرِ) الْحَيِّ (بِغَيْرِ إذْنِهِ) وَبِإِذْنِهِ تَقَدَّمَ (وَلاَ عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا) وَبِإِيصَائِهِ تَقَعُ لَهُ. (قوله وَبِإِيصَائِهِ) ... إلى أن قال: وَقَالَ الرَّافِعِيُّ: فَيَنْبَغِي أَنْ يَقَعَ لَهُ وَإِنْ لَمْ يُوصِ لأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ.
“Imam An-Nawawi berpendapat bahwa tidak sah berqurban untuk orang lain yang masih hidup tanpa mendapat izin dari yang bersangkutan. Tidak sah pula berqurban untuk mayit, apabila tidak berwasiat demikian. Sedangkan Imam Ar-Rafi’i berpendapat boleh dan sah berqurban untuk mayit walaupun dia tidak berwasiat, karena ibadah qurban adalah salah satu jenis shadaqah”
Ibarat ini tidak menjelaskan berkurban yang pahalanya orang yang sudah meninggal. Untuk berkurban yang pahalanya untuk orang yang sudah meninggal maka kurban itu jelas sah untuk diri orang yang berkurban dan tidak berlaku perbedaan pendapat antara imam An-Nawawi dan Ar-Rafi’i tersebut di atas.
2. Mengqadla Qurban.
Qadla kurban digambarkan dengan menyembelih qurban dengan niatan mengqadla’ qurban yang tidak dilaksanakan pada waktu-waktu penyembelihan yang semestinya yaitu tanggal 10 - 13 Dzul hijjah.
Dalam kitab Mustashfa Juz II hal. 9 disebutkan:
(وَلاَ تَقِسْ عَلَيْهِ) أَيْ عَلَى الصَّوْمِ (الْجُمْعَةَ وَلاَ اْلأُضْحِيَّةَ) فَإِنَّهُمَا لاَيُقْضَيَانِ فِيْ غَيْرِ وَقْتِهِمَا.
“Jangan kamu mengqiyaskan puasa dengan shalat Jum’at dan penyembelihan qurban. Karena keduanya (shalat jumat dan qurban) tidak perlu diqadla’ pada saat-saat yang bukan waktunya”.
Dalam kitab “Ats-tsimarul Yani’ah” hal. 80 juga disebutkan:
(فَمَنْ ذَبَحَ ضَحِيَّتَهُ قَبْلَ دُخُوْلِ وَقْتِهَا) بِأَنْ لَمْ يَمْضِ مِنَ الطَّلُوْعِ أَقَلُّ مَا يُجْزِئُ مِنَ الصَّلاَةِ وَالْخُطْبَةِ (لَمْ تَقَعْ ضَحِيَّةً، وَكَذَا مَنْ ذَبَحَهَا بَعْدَ خُرُوْجِ وَقْتِهَا إِلاَّ إِذَا نَذَرَ ضَحِيَّةً مُعَيَّنَةً)
“Barang siapa menyembelih ternak qurban, sebelum tiba waktunya yakni saat matahari sudah terbit dan setelah pelaksanaan shalat id (dua rakaat) beserta khotbahnya, maka tidak sah qurbannya. Demikian pula tidak sah seseorang yang menyembelih qurban setelah keluar waktunya (10 Dzul Hijjah dan tiga hari tasyriq), kecuali karena nadzar qurban mu’ayyan”.
3. Daging Qurban Digunakan untuk Walimahan.
Bagaimana hukumnya menggunakan daging hewan kurban untuk konsumsi walimahan, pendak, haul, khitanan, atau hajat-hajat yang lain? Hukumnya boleh, dengan catatan:
- Qurbannya itu qurban sunnat. Jadi qurban wajib atau qurban nadzar tidak boleh digunakan untuk keperluan seperti itu.
- Sebagian dagingnya harus dibagi-bagikan kepada fakir miskin dalam keadaan mentah, tidak boleh dimasak semuanya.
- Jika si penyembelih itu sebagai wakil, dia harus meminta kerelaan orang yang mewakilkan tentang digunakannya daging qurban untuk keperluan tersebut.
Catatan-catatan tersebut secara rinci telah diterangkan dalam beberapa kitab berikut ini:
Kitab Bughyah al-Mustarsyidin hal. 258 :
يَجِبُ التَّصَدُّقُ فِي اْلأُضْحِيَةِ الْمُتَطَوَّعِ بِهَا بِمَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اْلاِسْمُ مِنَ اللَّحْمِ، فَلاَ يُجْزِئُ نَحْوُ شَحْمٍ وَكَبِدٍ وَكَرْشٍ وَجِلْدٍ، وَلِلْفَقِيْرِ التَّصَرُّفُ فِي الْمَأْخُوْذِ وَلَوْ بِنَحْوِ بَيْعِ الْمُسْلَمِ لِمِلْكِهِ مَا يُعْطَاهُ، بِخِلاَفِ الْغَنِيِّ فَلَيْسَ لَهُ نَحْوُ الْبَيْعِ بَلْ لَهُ التَّصَرُّفُ فِي الْمَهْدَى لَهُ بِنَحْوِ أَكْلٍ وَتَصَدُّقٍ وَضِيَافَةٍ وَلَوْ لِغَنِيٍّ، لأَنَّ غَايَتَهُ أَنَّهُ كَالْمُضَحِّي نَفْسِهِ.
“Qurban sunat wajib dishadaqahkan berupa daging, tidak cukup jika berupa lemak, hati babat atau kulit ternak. Bagi orang fakir boleh mentasarufkan -untuk apa saja- daging yang diberikan kepadanya walaupun untuk dijual, karena daging itu sudah menjadi miliknya. Berbeda dengan orang kaya, dia tidak boleh menjual daging qurban akan tetapi boleh mamakannya, menyedekahkannya dan menyuguhkannya kepada para tamu, karena pada prinsipnya orang kaya yang menerima bagian daging qurban itu sama dengan orang yang berqurban sendiri”.
Kitab Qolyubi juz IV hal. 254 :
(وَاْلأَصَحُّ وُجُوبُ تَصَدُّقٍ بِبَعْضِهَا) وَهُوَ مَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ الاِسْمُ مِنْ اللَّحْمِ وَلاَ يَكْفِي عِنْهُ الْجِلْدُ وَيَكْفِي تَمْلِيكُهُ لِمِسْكِينٍ وَاحِدٍ، وَيَكُونُ نِيئًا لاَ مَطْبُوخًا.
“Menurut pendapat yang paling shahih, qurban itu wajib disedekahkan sebagiannya berupa daging, tidak boleh berupa kulitnya. Sudah mencukupi walaupun diberikan kepada seorang miskin, dan yang diberikan itu harus berupa daging mentah tidak dimasak”.
Kitab Al-Bajuri juz I hal. 286
(قَوْلُهُ وَتَفْرِقَةُ الزَّكَاةِ مَثَلاً) أَيْ وَكَذَبْحِ أُضْحِيَةٍ وَعَقِيْقَةٍ وَتَفْرِقَةِ كَفَّارَةٍ وَمَنْذُوْرٍ وَلاَ يَجُوْزُ لَهُ أَخْذُ شَيْءٍ مِنْهَا إِلاَّ إِنْ عَيَّنَ لَهُ الْمُوَكِّلُ قَدْرًا مِنْهَا.
“Mushonnif berkata: boleh mewakilkan kepada orang lain dalam hal membagi-bagi zakat. Yakni boleh pula dalam hal menyembelih qurban dan aqiqah serta membagi-bagi kafarah dan nadzar. Dan bagi si wakil tidak boleh mengambil bagian sedikit pun dari apa yang dibagikan itu kecuali jika orang yang mewakilkan menyatakan boleh mengambil bagian tertentu dari benda tersebut”.
4. Berqurban dengan Ternak Betina.
Berlaku di kalangan masyarakat adanya syiri’an (tidak mau: bhs. Jawa) berqurban dengan ternak betina, seolah-olah tidak diperbolehkan. Sebenarnya para fuqaha’ telah memberikan fatwa, bahwa boleh dan sah menyembelih ternak betina untuk qurban atau aqiqah. Dalam kitab Kifayatul Akhyar juz II hal. 236 disebutkan:
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ فَرْقَ فِي اْلإِجْزَاءِ بَيْنَ اْلأُنْثَى وَالذَّكَرِ إِذَا وُجِدَ السِّنُّ الْمُعْتَبَرُ، نَعَمْ الذَّكَرُ أَفْضَلُ عَلَى الرَّاجِحِ، لأَنَّهُ أَطْيَبُ لَحْماً.
“Ketahuilah, bahwa dalam kebolehan dan keabsahan qurban/aqiqah tidak ada perbedaan antara ternak betina dan ternak jantan apabila umurnya telah mencukupi. Dalam hal ini memang ternak jantan lebih utama dari pada ternak betina karena jantan itu lebih lezat dagingnya”.
Namun jika dipandang dari segi afdlaliyahnya, maka ternak jantan tentu lebih afdlal dari pada ternak betina.
Wallahu A’lam. (Dari berbagai Sumber)