Syarah hadits Jariyah; Allah ada tanpa Arah dan Tempat
Dalam shahih Muslim diriwayatkan bahwa Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami sowan kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam- membawa s...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2013/03/syarah-hadits-jariyah-allah-ada-tanpa.html?m=0
Dalam shahih Muslim diriwayatkan bahwa Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami sowan kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- membawa seorang budak perempuan (Jariyah). Rasulullah bertanya kepada jariyah itu: “Dimanakah Allah?”. Ia menjawab: “Di langit”. Rasulullah bertanya (lagi): “Siapa Aku?”. Ia menjawab: “Anda adalah utusan Allah”. Lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada Mu’awiyah: “Merdekakanlah dirinya, sesungguhnya ia orang yang beriman!”.
Hadits ini juga diriwayatkan Imam Malik.
Dalam riwayat Ahmad diceritakan bahwa seorang lelaki Anshar sowan kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan berkata: “Ya Rasulallah! Sesungguhnya saya mempunyai budak perempuan yang beriman. Jika Anda melihat bahwa ia beriman, maka saya akan memerdekaannya”. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bertanya kepada budak itu: “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?”. Ia menjawab: “Ya!”. Rasulullah bersabda: “Adakah kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”. Ia menjawab: “Ya”. Rasullah bersabda: “Apakah kamu beriman dengan kebangkitan setelah mati?”. Ia menjawab: “Ya!”. Rasulullah bersabda: “Merdekakanlah dia!”.
Dalam riwayat Ahmad, Bazzar dan At-Thabrani dalam al-Awsath, diceritakan dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu—bahwa sesungguhnya seorang lelaki sowan kepada Rasulullah dengan seorang budak a’jami yang berkulit hitam. Ia berkata: “Ya Rasulallah!. Aku mempunyai budak perempuan yang beriman”. Lalu Rasulullah bersabda kepada budak itu: “Dimanakah Allah?”. Budak itu memberi isyarat dengan kepala dan jari telunjuknya ke langit. Rasulullah lalu bersabda: “Siapa aku?”. Ia menunjuk Rasulullah dan ke arah langit. Rasulullah bersabda: “Merdekakanlah ia!”.
Hadits ini adalah hadits yang menjadi pegangan bagi mereka yang mengatakan bahwa Allah memiliki arah dan berada di atas. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat ahlussunnah wal jamaah yang mengatakan Allah maha tinggi, tanpa arah dan tempat. Menggunakan dalil (istidlal) dengan hadits ini, sebagai dasar bahwa Allah memiliki arah dan berada di atas langit adalah batal dan pendapat tersebut tidak dapat diterima (mardud). Berikut adalah alasan-alasannya:
Pertama:
Jika ditelusuri hadits ini berstatus idhtirab dalam periwayatan matannya. Satu riwayat menggunakan redaksi “Man rabbuka?, faqalat allah (siapa tuhanmu?, ia menjawab Allah)” dan riwayat yang lain menggunakan redaksi “Aina Allah, fa asyarat ilassama’ (Dimana Allah?, lalu ia menunjuk langit”. Ada pula riwayat yang menggunakan redaksi: “atashadina an la ilaha illallah, qalat na’am. Qala: Atasyhadina anni Rasulullah? Qalat: Na’am (adakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Ia berkata: Ya. Rasulullah bersabda: adakah kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?. Ia berkata: Ya)”.
Kedua:
Redaksi hadits yang menggunakan “aina Allah” bertentangan dengan ukuran shahih dan mu’tabar dalam membuka hakikat keislaman seseorang, dimana dengan ukuran itu dalam diri seseorang berlaku segala hak, kewajiban dan larangan yang tercantum dalam syariah Islam. Ukuran shahih yang mu’tabar adalah hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh 25 orang sahabat, yaitu:
أمرتُ أن أقاتلَ النَّاسَ حتّى يشهَدُوا أن لا إلهَ إلا الله وأنّي رسولُ الله
“Saya diperintah untuk memerangi manusia, kecuali mereka bersaksi, tiada tuhan selain Allah dan Aku adalah utusan Allah”.
Dalam sejarah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sama sekali tidak pernah membuktikan keislaman sekelompok kaum dengan pertanyaan “Dimanakah Allah?” sebelum beliau memerangi mereka. Beliau selalu menunggu, sampai terdengar adzan dari arah mereka, sebagai bukti keimanan mereka. Rasulullah juga tidak pernah menyatakan bahwa syahadat yang telah diucapkan harus disertai pengakuan bahwa Allah di atas langit.
Dari sini dapat diketahui bahwa pertanyaan menggunakan “Dimanakah Allah?” bukan bagian dari dasar-dasar tauhid, bahkan dapat menafikan kesucian yang sempurna yang harus diberikan kepada Allah ta’ala. Kalaupun ada dari kalangan salaf yang menetapkan istiwa’ (bersemayam) bagi Allah, itupun adalah penetapan keluhuran dan ketinggian yang layak bagiNya, bukan menisbatkan arah dan tempat yang memberikan kesimpulan bahwa Allah mempunyai badan (jisim).
Ketiga:
Ulama ahlussunnah wal jamaah baik salaf maupun khalaf sepakat bahwa kalimat “aina Allah (Dimana Allah?)”, kalau memang redaksi hadits benar-benar demikian, bukan berarti Allah mempunyai tempat, dan bukan berarti Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam—bertanya tentang tempat dimana Allah berada di dalamnya. Allah adalah yang menciptakan segala yang ada, termasuk arah dan tempat. Dan tentunya Allah ada sebelum adanya tempat dan arah. Allah tidak pernah berubah. Sesudah tempat dan arah diciptakan, Allah masih tetap, tidak memerlukan tempat, arah dan segala yang ada.
Keempat:
Pertanyaan Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- kepada budak perempuan a’jami itu adalah pertanyaan yang jawabannya berfungsi menafikan kesyirikan. Ketika pertanyaan dengan “aina Allah?” tidak dapat memberikan jawaban yang berfungsi demikian, maka dapat diyakini bahwa pertanyaan seperti ini tidak muncul dari Rasulullah. Hal ini disebabkan bahwa riwayat-riwayat hadits terkadang tidak sama persis dengan sabda Rasulullah yang sebenarnya. Periwayatan hadits terkadang berdasarkan apa yang dipaham oleh perawinya. Oleh sebab itu, hadits dengan redaksi “aina allah” meskipun shahih harus dibelokkan maknanya kepada redaksi hadits “man Rabbuka” yang juga shahih dan jelas maknanya.
Kelima:
An-Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan bahwa hadits ini adalah salah satu hadits-hadits yang menerangkan sifat-sifat Allah. Ada dua pendapat shahih mengenai hal ini. Pertama: mengimaninya tanpa tenggelam dalam maknanya, disertai keyakinan (I’tiqad) bahwa Allah tidak mempunyai persamaan, dan mensucikan Allah dari alamat-alamat yang dimiliki makhluk.
Kedua: memberikan ta’wil dengan makna yang pantas baginya. Misalnya dengan mengatakan bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menguji budak tersebut apakah ia seorang yang bertauhid, dan mengakui bahwa Allah adalah dzat yang menciptakan, mengatur dan mengerjakan apa yang Dia kehendaki. Allah adalah Allah yang diminta saat berdoa menghadap langit, seperti ketika shalat menghadap ka’bah. Bukan berarti Allah berada dilangit atau berada di arah ka’bah.
An-Nawawi melanjutkan bahwa al-Qadli Iyadl mengatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat diantara kaum muslimin, baik yang ahli fiqih, ahli hadits, ahli kalam, dan para pengikut mereka, bahwa dzahir hadits atau ayat yang menyebutksn bahwa Allah di langit tidak dapat dimaknai secara dzahir, tetapi harus dita’wil dengan makna yang sesuai dan pantas bagi Allah. Laisa kamitslihi sya’un, wahuwas sami’ul bashir.
Wallahul A’lam bis Shawab