Ahlul Bait, Syiah Dan Ahlus Sunnah

Pada acara miladnya ke-63, Rabu 29 Agustus 2012, Jalaluddin Rahmad (Kang Jalal) memberi penjelasan bahwa para habaib yang menyebarkan aga...

Pada acara miladnya ke-63, Rabu 29 Agustus 2012, Jalaluddin Rahmad (Kang Jalal) memberi penjelasan bahwa para habaib yang menyebarkan agama Islam dulu adalah Syiah. Dugaan Jalal itu diulang dalam wawancara dengan TEMPO pada 29/08/2012 disertai penjelasan agak lebih detil.
Jalal menerangkan, bahwa penyebar agama Islam di Indonesia dari Hadramaut itu bermadzhab Syiah tapi bertaqiyah. “Ketika itu, orang Hadramaut dari Arab masuk ke Aceh untuk berdakwah. Tapi mereka tak menunjukkan dirinya Syiah. Melainkan ber-taqiyah (berpura-pura) menjadi pengikut madzhab Syafi'I,” terang ketua Dewan Syura IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia) ini (tempo.com 3/10/2012).
Namun, teori bahwa muballigh yang datang ke Indonesia itu Syiah yang ber-taqiyah, itu telah lama dibantah sejarawan dari Bani Alawiyin, Habib Alwi bin Thohir al-Haddad, dan beberapa ulama’ dari kalangan habaib. Alwi al-Haddad, yang pernah menjabat mufti Johor Malaysia, menerangkan dalam bukunya ‘Uqudul Almas bahwa kaum Alawiyyin menilai bahwa Syiah adalah paham sesat.
Pakar filsafat sejarah, Syed Naquib al-Attas menampik bahwa Islam di Nusantara dibawa kaum Syiah. Dalam bukunya Historical Fact and Fiction, al-Attas menyodorkan butkti-bukti dari penulis Muslim -baik klasik maupun kontemporer- bahwa Islam dibawa ke Nusantara ini oleh para dai-dai Ahlussunnah yang diutus secara resmi oleh penguasa di tanah Arab. Mereka, bukanlah pedagang atau kaum Sufi.
Dalam catatan-catatan otoritatif sejarah, memang telah ditulis bahwa habaib dari nenek moyang mereka di Hadramaut sampai sekarang di Indonesia mayoritas justru anti-Syiah. Organisasi al-Rabithah al-Alawiyyah Indonesia (organisasi yang menghimpun keturunan bani Sadah Alawiyah keturunan Sayyidina Husein bin Ali) pernah mengeluarkan maklumat bahwa Rabithah bermadzhab Ahlussunnah wal Jama’ah, dan menolak ajaran caci maki Sahabat (Syiah).
Kaum Alawiyyin adalah anak keturunan Rasulullah SAW melalui jalur Ali bin Abi Thalib RA dengan Fathimah RA. Mereka biasa disebut sayyid, asyraf, atau di Indonesia dipanggil habaib. Leluhur bani ‘Alawi yang bernama Sayyid Ahmad bin Isa al-Muhajir berasal dari Irak merupakan leluhur yang sangat masyhur dalam sejarah keturunan bani Alawi. Sayyid al-Muhajir berjasa menyelamatkan keturunannya dari serangan isu dan fitnah pengikut Syiah di Irak, dengan cara berhijrah ke Hadramaut, Yaman.
Dalam buku Jalan Lurus Sekilas Pandang Tariqah Bani Alawi, Novel Alaydrus mengutip buku al-Barqah menulis alasan Sayyid al-Muhajir hijrah ke Yaman:
“Berkat hijrah beliau (al-Muhajir ke Hadramaut) selamatlah anak cucu beliau dari kerusakan akidah, fitnah, kegelapan bid’ah, penentangan terhadap Sunnah (Ahlussunnah) dan pengikutnya. Berkat hijrah tersebut, mereka selamat dari kecenderungan untuk mengikuti berbagai keyakinan Syiah yang sangat buruk yang saat itu melanda sebagian asyraf yang berada di Irak”
Fitnah pengikut Syiah terhadap keturunan Alawiyyin di Irak yang terjadi pada pertengahan abad ke-10 M mendorong kaum Alawyyin hijrah agar anak keturunannya tidak tersangkut fitnah Syiah, yang memakai ‘topeng’ madzhab Ahlul Bait.
Kaum Alawiyyin dikenal sangat ketat menjaga tradisi keberagamaannya. Maka, apapun rintangannya akan dihadapi demi menyelamatkan agama anak keturunan. Mereka kaum pemberani dalam menghadapi tantangan, tapi lembut dan low profile terhadap sesama saudara dan ikhwan seagama. Sikap pura-pura (taqiyah) bukan karakter pribadi kaum Alawiyyin. Sayyid al-Muhajir hingga akhir hayatnya di Hadramaut mendidik keturunannya dengan akidah Ahlussunnah dengan madzhab Syafi’i.
Sejumlah data-data sejarah yang ditulis sendiri oleh para pendahulu Alawyyin menunjukkan secara tegas bahwa mereka berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Ali bin Abu Bakar al-Sakran, tokoh terkemuka dari Bani Alawiyyin, menulis:
“Adapun anak cucu Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa yang tiba di Hadramaut dan kemudian tinggal di Tarim adalah asyraf Sunni” (al-Barqah al-Masyiqah, hal. 133). Seorang ulama’ terkemukannya bernama Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam Tasbitul Fuad I/227 cukup tegas lugas menolak akidah Syiah. Ia menyebut Syiah sebagai golongan orang-orang ahli batil. Dalam segala hal pendapat-pendapat mereka (Syiah) tidak dapat diambil.
Habib al-Haddad di kalangan bani Alawiyyin dan Nadhliyyin sangat terkenal dengan dzikirnya yang disebut dzikir ratib al-Haddad. Dzikir ini memiliki sejarah penting dalam pembentengan kaum Alawiyyin dari dakwah Syiah. Syekh Abdullah Ba Saudan menerangkan latar belakang disusunnya dzikir ratib ini:
“Ketahuilah bahwa penyusun ratib al-Haddad ini dimulai pada tahun 1971 H dan disusun disebabkan setelah para pemuka-pemuka Hadramaut mendengar berita bahwa banyak dari pengikut Syiah Zaidiyah masuk Hadramaut. Mendengar hal itu, para pemuka Hadramaut meminta kepada Habib Abdullah al-Haddad agar mengumpulkan dzikir-dzikir dari Rasulullah (SAW) sebagai benteng bagi masyarakat Hadramaut agar tidak terpengaruh akidah Syiah tersebut, lebih-lebih bagi masyarakt awam”.
Jadi, terhadap Syiah Zaidiyah-pun bani Alawiyyin sangat mewaspadai. Dan data ini menyodorkan bukti  bahwa Bani Alawiyyin berseberangan dengan golongan Syiah manapun, baik Zaidiyah maupun Imamiyah.
Dari para asyraf Hadramaut inilah yang menurunkan para dai-dai yang menyebarkan agama Islam ke rantau Melayu-Indonesia. Mereka membawa tradisi-tradisi keagamaan yang diajarkan di negeri Yaman untuk disebarkan kepada masyarakat melayu. Maka, hingga kinipun dijumpai dzikir-dzikir dan ritual yang memiliki kemiripan dengan tradisi di Hadramaut Yaman. Tradisi dan ritual ini murni tradisi kaum Alawiyyin Sunni.
Tidak ditemukan data-data sejarah yang valid bahwa mereka yang hijrah ke Melayu adalah Syiah. Adapun teori-teori dari sejarawan Syiah, sifatnya baru spekulatif. Sejumlah ritus yang diklaim seperti tahlilan, membaca yasin, membaca shalawat dan peringatan asyuro, secara geneologis dan ideologis tidak memiliki ketersambungan dengan tradisi kaum Syiah di manapun, baik Zaidiyah di Yaman atapun Imamiyah di Iran dan Irak. Justru sebaliknya, ritus-ritus tersebut adalah tradisi turun-temurun para anak cucu Sayyid al-Muhajir yang Sunni bermadzhab Syafi’i.
Para leluhur Ahlul Bait Sayyid al-Muhajir, seperti Ali Zainal Abidin, Ja’far al-Shodiq, Muhammad al-Baqir –yang ketiganya diklaim Syiah sebagai imamnya– ternyata sangat kuat memegang akidah Ahlussunnah. Serta mencerca kaum Syiah yang menodai kehormatan sahabat Nabi Saw.
Ali Zainal Abidin pernah didatangi orang-orang Syiah. Kaum Syiah tersebut mencela Sahabat Abu Bakar, Umar dan Usman. Sontak, Ali Zainal Abidin mengusir mereka dan bersumpah bahwa mereka bukan dari golongan yang benar. Muhammad al-Baqir juga pernah didatangi kaum Syiah seraya mengejek Abu Bakar. Lantas al-Baqir marah dan mengatakan bahwa mereka tidak akan dibenarkan oleh Allah. Ja’far al-Shadiq pernah mengatakan bahwa orang-orang yang tidak mengangkat Abu Bakar dan Umar sebagai khalifah tidak akan mendapat syafaat Nabi Muhammad Saw. (Jalan nan Lurus Sekilas Pandan Tariqah bani Alawi, 46).
Data-data ini juga menjadi bukti bahwa Ahlul Bait Nabi menghormati Sahabat-Sahabat Nabi Saw dan mencerca orang-orang yang mengkiritik apalagi menodai kehormatan mereka. Sehingga, kita dapat membuat kesimpulan bahwa siapakah sesungguhnya pengikut setia dan pecinta Ahlul Bait Nabi Saw dan siapa pula yang mengkhianati keturunan Nabi Saw tersebut?

Sumber: http://www.inpasonline.com/

Related

syiah 3357250249382045708

Follow Us

Facebook

TERBARU

Arsip

Statistik Blog

item