Hakikat Keyakinan Para Pemuji
Rasulullah bersabda : لاَ تَطْرُوْنِيْ كَمَا أطرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ "Jangan berlebih-lebihan kalian memujiku, sep...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2010/10/hakikat-keyakinan-para-pemuji.html?m=0
لاَ تَطْرُوْنِيْ كَمَا أطرَتِ النَّصَارَى
ابْنَ مَرْيَمَ
"Jangan
berlebih-lebihan kalian memujiku, seperti umat nasrani yang berlebih-lebihan
memuji (Isa) Ibnu Maryam".
Hadits
ini adalah di antara dalil-dalil yang dijadikan mainan oleh para kelompok yang
bersikap ekstrim. Mereka membelokkan makna hadits dan memberikan penafsiran
tidak sesuai dengan kenyataannya dan meletakkan hadits ini tidak pada
tempatnya. Apa yang mereka lakukan hanyalah untuk memperkuat kehendak dan
tujuan buruk mereka, karena kebencian dan rasa dengki mereka akan puji-pujian kepada
majikan seluruh makhluk, penyejuk setiap mata, pemimpin kaum bertauhid, dan utusan
penguasa alam semesta, Nabi teragung, Muhammad sallallahu ‘alayhi wa sallam.
Yang
mendorong mereka untuk melakukan hal ini adalah kebodohan mereka dalam memahami
hadits di atas. Mereka mempunyai kepahaman tentang adanya pelarangan memuji
Rasulullah dari hadits tersebut dan menganggap perbuatan memuji sebagai bagian
dari sifat melampaui batas yang tercela dan akan berakibat pada kemusyrikan.
Mereka juga mempunyai kepahaman bahwa setiap orang yang memuji nabi dan upaya mengangkat
beliau kepada derajat yang lebih tinggi dari pada manusia pada umumnya, serta menyandangi
beliau dengan sifat-sifat yang istimewaadalah perbuatan bid’ah dan menyimpang
dari sunah.
Inilah
pemahaman yang buruk dan menunjukkan kepicikan pandangan mereka. Karena dalam
hadits di atas, nabi hanya melarang kita memuji beliau seperti umat Nasrani
memuji Nabi Isa bin Maryam dan mengatakan dia adalah anak Allah. Dan makna
hadits adalah, barang siapa memuji Rasulullah dan memberinya sifat seperti apa
yang diperbuat umat Nasrani, maka ia sama seperti mereka.
Adapun
orang yang memuji dan memberinya sifat yang tidak mengeluarkan nabi dari
hakikat kemanusiaan disertai keyakinan bahwa ia adalah hamba Allah dan
Rasul-Nya, menjauhkan diri dari keyakinan umat Nasrani, maka tidak diragukan
lagi ia adalah orang yang sempurna dalam bertauhid.
Kami
kalangan para pemuji Rasul, yang bernyanyi dan berdendang tentang pujian
terhadap Rasul, berkeyakinan bahwa Rasulullah SAW adalah manusia, dan mungkin
baginya apa yang mungkin dialami oleh manusia yang lain, seperi sakit dan
lain-lain yang tidak mengakibatkan kemerosotan derajat dan berpalingnya manusia.
Syaikh Ahmad Al-Marzuqi dalam "Aqidatul Awam" mengatakan:
وَجَائِزٌ فِيْ حَقِّهِمْ مِنْ عَرَضِ
* بِغَيْرِ نَقْصٍ كَخَفِيْفِ الْمَرَضِ
"Jaiz
bagi mereka (para Rasul) adanya hal-hal baru (yang bersifat manusiawi) dengan
tanda mengurangi derajat mereka, seperti sakit yang ringan".
Rasulullah
adalah hamba Allah yang tidak mempunyai manfaat dan bahaya bagi dirinya, tidak
bisa menghidupkan, tidak bisa mematikan dan tidak bisa membangkitkan. Allah
berfirman :
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا
ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ
مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ
يُؤْمِنُونَ
"Katakan
wahai Muhammad!, Aku tidak memiliki manfaat dan bahaya untuk diriku sendiri,
kecuali apa yang dikehendaki Allah. Andaikata aku mengetahui perkara ghaib, aku
akan berusaha memperbanyak kebaikan, dan tidaklah keburukan menimpaku. Aku
hanya seorang yang menakut-nakuti dan memberi kabar gembira". (QS.
Al-A'raf: 188)
Kami
juga berkeyakinan bahwa beliau telah menyampaikan risalah, menyampaikan amanah,
memberikan nasihat kepada umat, dan berperang di jalan Allah, hingga datang kepada
beliau sebuah keyakinan. Lalu beliau kembali kepangkuan Allah dalam keadaan
rida dan diridai. Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu (Muhammad) akan mati
dan mereka (juga) akan mati”. (QS. Az-Zumar: 30)
Allah
dalam ayat lain berfirman: “Tidaklah aku ciptakan keabadian bagi manusia
sebelum kamu. Jikalau kamu mati, adakah mereka tetap hidup abadi?.” (QS.
Al-Anbiya’: 34)
Kami
berkeyakinan bahwa meskipun Rasulullah SAW telah mati, namun keutamaan dan
derajatnya abadi di sisi Tuhannya. Hal ini tidak diragukan lagi bagi orang yang
beriman. Meskipun derajatnya luhur dan martabatnya agung, ia hanyalah seorang
makhluk, tida bermanfaan dan berbahaya, tanpa adanya Allah dan tanpa izinnya.
Allah
berfirman: "Katakan wahai Muhammad!, Aku hanyalah manusia seperti
kalian, hanya saja aku diberi wahyu. Dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang maha
esa". (QS. Al-Kahfi: 110)
Kami
dengan rahmat Allah, tahu apa yang wajib bagi Allah, apa yang wajib bagi Rasul.
Kami juga tahu mana yang murni untuk Allah dan mana yang murni hanya untuk
Rasul, tanpa berlebih-lebihan dalam memuji, sampai pada pemberian sifat yang khusus
bagi Allah.
Adapun
berlebih-lebihan dalam memuji, mencintai, mematuhi dan bergantung kepada
Rasulullah, sebenarnya sangat dianjurkan, berdasar hadits yang diatas. Makna
hadits yang sebenarnya adalah bahwa berlebih-lebihan dalam memuji selama tidak
seperti umat Nasrani, adalah perbuatan terpuji. Jika makna hadits tidak
demikian, maka maksud hadits adalah pelarangan memuji secara mutlak. Padahal
hal ini tidak pernah dikatakan oleh orang yang paling bodoh diantara
orang-orang yang bodoh. Karena Allah SWT, di dalam Al-Qur'an mengagungkan Rasul
dengan bentuk pengagungan yang tinggi dan memerintahkan kita untuk
mengagungkannya. Tetapi, kita tidak boleh mengagungkan dan memujinya dengan sifat-sifat
ketuhanan.
Puji-pujian
terhadap nabi semuanya menyiratkan hakikat ini, jelas bagai sinar matahari
menyinari bumi di tengah hari. Dalam qasidah al-Burdah karya al-Bushiri sebagai
pemimpin perkumpulan para pemuji Rasul disebutkan:
دع ما ادعته
النصارى في نبيهم * واحكم بما شئت مدحا واحتكم
فإن فضل
رسول الله ليس له * حد فيعرب عنه ناطق بفم
Jauhkan
baginya yang dikatakan Nasrani pada Nabinya.
Tetapkan
bagi Muhammad pujian apapun kau suka.
Nisbatkan
kepadanya segala kemuliaan sekehendakmu.
Dan
pada martabatnya segala keagungan yang kau mau.
Karena
keutamaannya sungguh tak terbatas.
Hingga
tak satupun mampu mengungkapkan dengan kata.
Sumber
: Kitab Al-Madh An-Nabawi Karya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki, 7-11