Di kalangan Wahabi / salafi, pria yang satu ini dianggap muhaddits paling ulung di zamannya. Bahkan sebagian mereka tak canggung menyetar...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/05/al-albani-seorang-muhaddits.html?m=0
Di kalangan Wahabi
/ salafi, pria yang satu ini dianggap muhaddits paling ulung di zamannya. Bahkan
sebagian mereka tak canggung menyetarakannya dengan para imam hadist terdahulu.
Mereka gencar mempromosikannya lewat berbagai media. Dan usaha mereka bisa
dikata berhasil. Kalangan muslim banyak yang tertipu dengan hadis-hadis edaran
mereka yang di akhirnya terdapat kutipan, “disahihkan oleh Albani, ”. Para salafi
itu seolah memaksakan kesan bahwa dengan kalimat itu Al-Albani sudah setaraf
dengan Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah dan lainnya.
Sebetulnya,
kapasitas pria yang lahir di kota Ashkodera, negara Albania tahun 1914 M ini
sangat meragukan. Bahkan ketika ia diminta oleh seseorang untuk menyebutkan 10
hadis beserta sanadnya, ia dengan enteng menjawab, “Aku bukan ahli hadis sanad,
tapi ahli hadis kitab.”
Berarti dia tidak layak disebut sebagai Muhaddits, karena yang
disebut Muhaddits adalah orang yang mengumpulkan hadits dan menerima hadits
dari para rawi hadits. Albani tidak hidup di masa itu, ia hanya menukil dari
sisa buku-buku hadits yang ada di masa kini. Kita bisa lihat Imam Ahmad bin
Hanbal yang hafal sejuta hadits berikut
sanad dan hukum matannya, hingga digelari huffadhuddun-ya (salah seorang
yg paling banyak hafalan haditsnya di dunia). Beliau hanya sempat menulis
sekitar 20.000 hadits dari hadits sebanyak itu. Maka 980.000 hadits lainnya
sirna ditelan zaman.
Imam Bukhari hafal 600.000 hadits berikut sanad dan
hukum matannya dimasa mudanya, namun beliau hanya sempat menulis sekitar 7.000
hadits saja pada shahih Bukhari dan beberapa kitab hadits kecil lainnya, dan
593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman. Demikian muhaddits-muhadits besar
lainnya, seperti An-Nasa’i, At-Tirmidziy, Abu Dawud, Muslim, Ibn Majah, Imam As-Syafi’i,
Imam Malik dan ratusan muhaddits lainnya.
Muhaddits adalah orang yang berjumpa langsung dengan
perawi hadits, bukan berjumpa dengan buku buku. Albani hanya berjumpa dengan
sisa-sisa buku hadits yang ada masa kini.
Albani bukan pula Hujjatul Islam, yaitu gelar bagi yang
telah hafal 300.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya. Bagaimana ia mau
hafal 300.000 hadits, sedangkan pada saat ini, jika semua buku hadits yang
tercetak dikumpulkan maka hanya mencapai kurang dari 100.000 hadits. An-Nawawi
itu adalah Hujjatul islam, demikian pula Al-Ghazali, dan banyak Imam Imam
Lainnya.
Albani bukan pula Al-Hafidh, ia tak hafal 100.000
hadits dengan sanad dan hukum matannya. Karena ia banyak menusuk fatwa para muhadditsin,
menunjukkkan ketidakfahamannya akan hadits-hadits.
Abani bukan pula Al-Musnid, yaitu pakar hadits yang
menyimpan banyak sanad hadits hingga saat ini, yaitu dari dirinya, dari guru-guru,
dan dari para muhadditsîn sebelumnya hingga Rasul
SAW. Orang yang banyak menyimpan sanad seperti ini diberi gelar Al-Musnid,
sedangkan Albani tak punya satupun sanad hadits yang muttashil.
Para Muhadditsin, "Tiada ilmu tanpa sanad".
Maksudnya semua ilmu hadits, fiqh, tauhid, al-Qur’an, harus mempunyai jalur sanad
hingga kepada Rasulullah SAW. Jika ada seorang mengaku pakar hadits dan
berfatwa, namun ia tidak punya sanad guru, maka fatwanya mardûd
(tertolak), ucapannya dhoif, dan tak bisa dijadikan dalil untuk diikuti, karena
sanadnya maqthû‘.
Jika ada seorang manusia pada masa sekarang yang menukil
sisa-sisa hadits yang tidak mencapai 10% dari hadits yang ada dimasa lalu, kemudian
berfatwa hadits ini dha‘if, hadits ini mauwdhû‘
dan lain sebagainya, maka bagaimana pendapat Anda?