Memberi Makan Para Pelayat Adalah Bid'ah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila keluarga mayit membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang, maka ini bukanlah sesuatu y...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2011/05/memberi-makan-para-pelayat-adalah-bidah.html?m=0
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila keluarga mayit membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang, maka ini bukanlah sesuatu yang disyari’atkan. Semacam ini termasuk ajaran yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah mengatakan; “Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si mayit, lalu keluarga si mayit membuatkan makanan, ini termasuk niyahah (meratapi mayit yang jelas terlarang).”
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai ketua Al Lajnah Ad Daimah di Saudi Arabia mengatakan, “Seharusnya yang dilakukan adalah melakukan ta’ziyah di rumah si mayit dan mendoakan mereka serta memberikan kasih sayang kepada mereka yang ditinggalkan si mayit".
Adapun berkumpul-kumpul (dikenal dengan istilah ma’tam) dengan membaca bacaan-bacaan tertentu (seperti membaca surat yasin ataupun bacaan tahlil), atau membaca doa-doa tertentu atau selainnya, ini termasuk bid’ah. Seandainya perkara ini termasuk kebaikan, tentu para sahabat (salafush sholeh) akan mendahului kita untuk melakukan hal semacam ini[1].
Imam Abu Dawud meriwayatkan :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ الْأُسَارَى
Artinya: Menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-'Ala', Ibnu Idris menceritakan, Asim bin Kulaib menriwayatkan dari ayahnya dari seorang lelaki dari kaum Anshor, ia berkata: "Kami keluar bersama Rasulullah SAW (menghadiri) seorang jenazah. Saya melihat Rasulullah SAW --sedang beliau berada di atas kubur--, berwasiat kepada penggali kubur: 'Luaskan (liang lahat) dari arah kedua kakinya!, Luaskan (liang lahat) dari arah kepalanya!'. Ketika Rasulullah SAW pulang, menghadaplah seorang (yang diutus) oleh isteri mayit, untuk mengundang Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW datang dan disuguhkan kepada beliau makanan. Rasulullah meletakkan tangan diatas makanan itu juga orang-orang yang lain, lalu mereka makan. Ayah-ayah kami melihat Rasulullah SAW, mengunyah suapan (daging) di mulut. Lalu Rasulullah SAW bersabda: 'Aku menemukan daging kambing yang diambil tanpa ijin pemiliknya'. Isteri mayit mengirim surat kepada Rasulullah SAW, dan berkat; 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mengutus seseorang menuju Naqi' untuk membelikanku kambing, tapi aku tidak menemukannya. Lalu aku mengutus seseorang pergi ke rumah tetanggaku yang telah membeli seekor kambing untuk mendatangkan kambing itu kepadaku dengan harganya. Tapi tidak ditemukan'. Kemudian aku mengutus orang untuk pergi ke isterinya, dan (akhirnya) ia dapat mendatangkan kambing itu'. Lalu Rasulullah SAW bersabda: 'Beri makanlah para tawanan!'[2]
Hadits ini terdapat (tsabit) dalam sebagian kitab-kitab Induk hadits dan diriwayatkan oleh para imam dan para huffadz hadits, meskipun diantara mereka tidak berkomentar (sukut) mengenai matan ataupun sanadnya. Hal ini menunjukkan bahwa hadits ini patut untuk dijadikan hujjah. Abu Dawud misalnya, beliau tidak berkomentar tentang hadits ini. Maka sesuai dengan apa yang berlaku dalam istilah-istilah yang beliau gunakan dalam penulisan kitab Sunannya, bahwa hadits yang tidak beliau komentari, adalah hadits yang pantas untuk dijadikan hujjah[3].
Imam As-Syaukani dalam Nailul Awthar mengatakan bahwa dalam sanad hadits ada Asim bin Kulaib. Menurut Ali bin Al-Madini, sanad Asim bin Kulaib tidak dapat dijadikan hujah jika dia sendirian. Imam Ahmad mengatakan tidak apa-apa. Sedangkan Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa Asim bin Kulaib termasuk orang shalih dan Imam Muslim meriwayatkan hadits darinya[4]. Begitu pula Al-Bukhari. Imam Ahmad mengatakan hadits ini shahih[5].
Adapun adanya rowi sahabat anshar yang tidak disebutkan namanya (majhul), tidak perlu dipermasalahkan, sebab yang jelas semua sahabat adalah orang yang adil dan sebagai perantara sampainya syariah dari Rasulullah SAW kepada kita. As Syaukani beberapa kali menetapkan bahwa riwayat sahabat yang tidak disebutkan namanya (majhul) adalah diterima[6].
Dalam hadits di atas banyak faidah-faidah dan hukum, diantaranya adalah adanya tanda diantara tanda-tanda kenabian dan mu'jizat Rasulullah SAW, yaitu pemberitahuan Nabi akan status daging kambing, dimana ia didapat dengan tanpa ijin pemiliknya. Dalam hukum, hadits ini menghukumi bahwa akad akad jual beli atas barang yang bukan menjadi milik pelaku transaksi adalah tidak sah. Hadits ini juga mengabarkan bahwa perbuatan keluarga mayit berupa pemberian makanan untuk para penta'ziyah adalah mubah, bahkan dapat dikategorikan perbuatan mendekatkan diri (qurbah) kepada Allah. Maka hadits ini adalah nash sharih bahwa perbuatan semacam ini adalah masyru'ah.
Rasulullah SAW bersabda, sesudah mendengar wafatnya Ja'far bin Abi Thalib:
اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم
"Buatkanlah untuk keluarga Ja'far makanan, karena mereka telah kedatangan sesuatu yang menyibukkan mereka!".
Hadits ini tidak dapat menafikan hadits di atas, karena hadits ini masih dapat diartikan (tahmil) bahwa anjuran nabi untuk memberikan makanan untuk keluarga Ja'far, berlaku khusus untuk kelarga Ja'far, dimana Rasulullah melihat kesedihan yang sangat pada keluarga Ja'far, hingga mereka tidak bisa untuk mempersiapkan makanan untuk mereka sendiri. Tahmil ini muncul karena khithab hadits ini diperuntukkan untuk para isteri Rasulullah SAW. Dengan demikian hadits ini tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang acara yang diselenggakan oleh keluarga mayit. Lagi pula nabi tidak pernah melarang perbuatan semacam ini.
Perkataan Jarir yang menganggap perbuatan memberi makan kepada para penta'ziah termasuk niyahah (meratapi mayit yang jelas terlarang), juga tidak bisa menvonis bahwa perbuatan semacam ini adalah haram. Sebab, penyebutan niyahah menunjukkan bahwa kumpul-kumpul yang dimaksud ialah kumpul-kumpul dengan memperlihatkan kesedihan dan meratap-ratap.
Ketika perbuatan berkumpul-kumpul dan penyediaan makanan oleh keluarga mayit dianggap haram dan bid'ah, maka adakah dalil jelas yang menunjukkan demikian?. Jawaban yang jelas tidak ada, kecuali hadits umum tentang bid'ah dan hadits tentang keluarga Ja'far dan riwayat Jarir. Seolah-olah orang yang mengatakan hal ini tidak pernah menemukan hadits riwayat Ashim bin Kulaib, yang menjadi nash diperbolehkannya perbuatan ini[7].
__________________________________
[1] Tulisan dicopas dari : http://muslim.or.id/manhaj/amalan-yang-bermanfaat-bagi-mayit.html, dengan membuang beberapa kalimat.
[2] Sunan Abi Dawud, Hadits No. 2894. Hadits juga tersebut dalam Misykat Al-Mashabih hal 544, Sunan Al-Baihaqi, Juz. 5 hlm. 355, Musnad Imam Ahmad dll, dengan lafadz hadits masing-masing.
[3] Syeikh Ismail bin Utsman Zain Al-Yamani Al-Maki, "Raf'ul Asykal wa ibthal al Maghalah". Hal. 2-3
[4] As Syaukani, "Nailul Awthar", Juz 5 hlm. 384
[5] Az-Zaila'i, "Nushbur Rayah", Juz 5 hlm. 404
[6] Raf'ul Asykal wa ibthal al Maghalah, Hal. 4-5, Nailul Awthar, Juz 5 hlm. 384
[7] Raf'ul Asykal wa ibthal al Maghalah, Hal. 6-7