Saudi + Wahabi = Salafi ?
Kategori: Buku-buku Jenis Agama & Kepercayaan Penulis: Syaikh Idahram Judul buku: Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Penulis: Sy...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2011/05/saudi-wahabi-salafi.html?m=0
Kategori: | Buku-buku |
Jenis | Agama & Kepercayaan |
Penulis: | Syaikh Idahram |
Judul buku: Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi
Penulis: Syaikh Idahram
Penerbit: Pustaka Pesantren, 2011
Buku ini menyingkap hal-hal penting di balik wabah pengkafiran atau menyebut orang lain kafir, pembid’ahan, penyesatan, dan gerakan-gerakan semacamnya di antara umat muslim yang marak belakangan ini, khususnya di Indonesia. Dalam pengantar buku ini, Said Agil Siradj berpendapat bahwa sejak 37 Hijriah, gerakan-gerakan tersebut telah dijumpai di dunia Islam. Terutama dengan kemunculan kalangan Khawarij sebagai kelompok oposisi, baik terhadap Ali dan pendukung (Shi‘at) beliau. Demikian pula terhadap Mu‘awiyah. Bahkan benihnya telah ada pada masa Nabi, ketika di bulan Syawal tahun 8 Hijriah, seusai Nabi memenangkan perang Thaif dan Hunain. Dalam perang ini diperoleh harta rampasan atau ghanimah yang melimpah. Dalam pembagian yang dilakukan di Ja‘ranah, para sahabat senior seperti Abu Bakar, Uthman, Ali, dan Umar Ibn Khattab tidak mendapatan bagian, namun sahabat yang baru menjadi muallaf alias masuk Islam, justru lebih diprioritaskan oleh Nabi, termasuk di antara mereka yang sesungguhnya berasal dari kalangan kaya raya.
Tiba-tiba seseorang bernama Dzul Khuwaishirah dari keturunan Bani Tamim maju ke depan dan berkata, “Berlaku adillah, hai Muhammad!”, lantas Nabi menjawab: “Celakalah kamu, siapa yang akan berbuat adil kalau aku saja tidak berbuat adil?”, sementara Umar yang naik pitam berkata, “Wahai Rasul, biarkan kupenggal saja lehernya.” Nabi menjawab, “Biarkan saja!” ketika orang itu berlalu, Nabi berkata pada sahabatnya, “Akan lahir dari keturunan orang ini kaum yang membaca al-Qur’an, tapi tidak sampai melewati batas tenggorokannya. Mereka keluar dari Islam seperti anak panah tembus keluar dari badan binatang buruannya. Mereka memerangi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Kalau aku menemui mereka niscaya akan kupenggal lehernya seperti kaum ‘Ad.” (HR. Muslim pada Kibat al-Zakah, bab al-Qismah). Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Mereka itu sejelek-jeleknya mahluk bahkan lebih jelek dari binatang. Mereka tidak termasuk dalam golonganku, dan aku tidak termasuk dalam golongan mereka.”
Secara antropologis, kaum Khawarij adalah suku nomad yang melakukan migrasi ke daerah Eufrat pada saat penaklukan Islam ke kawasan tersebut. Kebanyakan dari mereka berasal dari suku Tamim yang memiliki cara berfikir nomad, yaitu menerima sesuatu dengan penuh keyakinan dan berani. Lebih dari itu, kaum Khawarij memiliki karakter zuhud dan ahli ibadah sebagaimana ditunjukkan oleh pemimpinnya Abdullah bin Wahab yang terkenal dengan julukan Dzuts-Tsafanat (orang yang didahinya ada tanda sujud). Karakter ini membuat mereka kukuh dalam mempertahankan pendiriannya. Dengan modal kesalehannya, mereka mampu menyakinkan masyarakat Kufah dan sebagian kalangan Shi’ah untuk bergabung bersamannya. (Rasul Ja’farian, History of The Caliphs: From The Death of The Messenger(s) to the Decline of the Umayyad Dynasty 11-132 AH. Ansarian, 2003).
Penamaan Khawarij berasal dari kata kerja kharaja (telah keluar) yang digunakan untuk menggambarkan mereka sebagai kelompok yang keluar dari dan menentang kebijakan politik Ali tentang Tahqim di mana mereka sebelumnya merupakan pengikutnya. Namun, mereka sendiri menamakan dirinya dengan Syurah (pembeli) yang berarti membeli akhirat dengan kehidupan duniawi. (A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid II, terj. Muchtar Yahya, dan Sanusi Latief. Jakarta: Jayamurni, 1971). Sebutan lainnya adalah Haruriyah, penisbatan pada nama desa Harurah dekat sungai Furat kota Riqqah yang didiaminya lantaran mereka tidak mau tinggal di Kufah pasca Perang Shiffin. Di samping itu ada sebutan lainnya bagi golongan ini, yaitu Muhakkimah, adalah golongan yang memiliki pandangan, bahwa “tidak ada hukum selain Allah”.
Secara formal kelompok ini pertama kali dipimpin oleh Abdullah ibnu Wahab al-Rasibi sebagai hasil pemilihan di rumah Zaid ibnu Husein oleh Abdullah ibnu Kawwa’, Urwah Ibnu Djarir, dan Yazid ibnu ‘Ashim. Kepemimpinan ini menandai awal gerakan militer Khawarij yang kemudian melahirkan Perang Nahrawan (daerah yang terletak antara kota Wasith dan Baghdad), yaitu perang antara Khawarij dan Khalifah Ali. Perang ini melahirkan implikasi penyebaran pengikut Khawarij di berbagai tempat di luar Irak sebagai konsekwensi logis dari pelarian sejumlah kader Khawarij dari kekalahan Perang Nahrawan. (Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani –w. 548 H-, al-Milal wa al-Nihal. Cet. 3, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1993).
Sebagai sebuah entitas Khawarij memiliki sejumlah karakter. Pertama, memiliki sifat zuhud, wara', gemar dan berlebih-lebihan dalam beribadah. Ibn Abbas ketika datang pada Khawarij saat diutus Ali berkata: “kening mereka luka-luka karena terlalu lama sujud, dan tangan mereka seperti kaki unta lantaran terlalu banyak sujud.” (Ibn Abd Rabbih –w. 328 H.-, al-‘Iqdul Farid, Jilid 2, hal. 389).
Kedua, suka berperang dan menggunakan cara kekerasan, yaitu seperti memaklumkan perang terhadap setiap orang diluar golongan mereka, mengkafirkan orang: “kalau imam telah kafir, maka kafir pulalah rakyat seluruhnya.” (A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid II, terj. Muchtar Yahya, dan Sanusi Latief. Jakarta: Jayamurni, 1971, hal. 115).
Ketiga, memiliki kesetiaan yang tinggi. Misalnya dalam kasus perang di Asak antara Ubaidillah ibn Ziyad dengan tentara 2000 orang dari pihak Umayyah versus Mirdaz Abu Bila dengan tentara 40 orang dari pihak Khawarij. Ubaidillah ibn Ziyad tidak jadi membunuh Mirdaz, sebagai gantinya diserahkan pada petugas penjara, tetapi petugas penjara memberi kesempatan tinggal di rumahnya pada siang hari, sedangkan pada malam hari kembali ke penjara. (Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari –w. 310 H-, Tarikh al-Tabari, Juz. V, hal. 232).
Keempat, kesederhanaan dan kedangkalan kognitif. Al-Qur'an dijadikan dasar halalnya membunuh. Mereka selalu mengeluarkan dalil surat al-An’am: 57, bahwa tidak ada hukum selain kepunyaan Allah, dan surat al-Maidah: 33, bahwa barang siapa tidak menghukum menurut hukum Allah, maka mereka adalah kafir. Dan bagi siapa saja yang dianggap kafir maka boleh dibunuh, bahkan wanita dan anak-anak boleh dibunuh. Lebih-lebih ketika menyangkut wilayah kepentingan politik. Pembunuhan terhadap Abdullah Ibnu Khabbab karena mengakui kekhalifahan Ali adalah contoh paling awal dari sketsa sejarah kekerasan Khawarij. (Ibn Abd Rabbih –w. 328 H.-, al-‘Iqdul Farid, Jilid 2, hal. 390). Bukti lainnya adalah keluar dari kualisi Ibnu Zubair karena dia tidak mau mengakui kekafiran Utsman, Ali, Zubair, dan Aisyah. (Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari –w. , Tarikh al-Thabari, juz. IV, hal. 437).
Khawarij kemudian berkembang menjadi beberapa kelompok seperti al-Zariqah, al-Ibadiyah, al-Najdat, dan al-Shufriyah. Lalu apa hubungannya dengan berdirinya dinasti Saud di Arab Saudi dan juga kelompok yang terkenal dengan sebutan Salafi Wahabi? Buku ini tidak terlalu banyak mengeksplor benang merah antara keduanya. Sebenarnya banyak penelitian lainnya yang menjelaskan hal tersebut, seperti David Commins, The Wahabi Mission and Saudi Arabia, London: I.B. Tauris, 2006. Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah. Sa’id Ramadhan al-Buthi, al-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Mazhab Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 1996.
Sebenarnya istilah Salafi sudah dikenal dalam literatur kitab-kitab klasik. Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada generasi awal pada tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah. Namun demikian, saat ini penggunaan istilah Salafi tercemar oleh propaganda kelompok yang gencar melakukan klaim sebagai satu-satunya kelompok pewaris kaum Salaf. Karena itu Olivier Roy menyebut kelompok-kelompok yang mengusung tema atau mengenakan istilah Salaf belakangan ini, disebut sebagai neo-Salafisme. Hasan Ibn Ali al-Segaf dalam bukunya al-Tandid bi Man ‘Addad at-Tauhid menyebut gerakan-gerakan tersebut sebagai Mutamaslif (Meniru-niru seolah Salaf). Lalu keterkaitan antara Salafi dengan Wahabi, terletak pada tataran praksis di mana kelompok Wahabi merasa tersudutkan oleh penisbatan Barat dan kalangan muslim lainnya yang melekatkan gerakan dakwah mereka kepada Muhammad Ibn Abdul Wahab. Oleh karena itu mereka menggunakan istilah Salaf dalam berdakwah, maka kemudian terkenal istilah dakwah Salaf yang kini kian menjamur di Indonesia sebagai tren baru.
Dalam pandangan penulis buku ini, Salafi Wahabi bukanlah khawarij, namun memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda, alias mempunyai sisi kesamaan. Seperti sikap tanpa tedeng aling yang kerap ditunjukkan dalam memerangi hal-hal yang mereka anggap sesat, syirik, dan sebagainya. Propaganda mereka tidak hanya melalui buku, dan radio, tapi juga secara aktif di masyarakat, seperti masjid-masjid dan sarana pendidikan. Demikian pula dengan mengeluarkan fatwa-fatwa atau pernyataan sesat terhadap sesama muslim yang bertentangan dan berbeda dengan pemahaman mereka. Di antara fatwa-fatwa mereka adalah;
1. Haram memotong jenggot apalagi mencukurnya.
2. Haram wanita mengendarai mobil.
3. Haram wanita berbicara di sisi lelaki.
4. Zikir La ilaaha illallah seribu kali sesat dan musyrik.
5. Shalawat setelah azan dosanya sama dengan perzinaan.
6. Kalimat Shadaqallahu al-Azhim Bid’ah dan sesat.
7. Lelaki haram mengajar anak perempuan, dan perempuan haram mengajar anak lelaki.
8. Orang yang meninggalkan shalat berjama’ah tak boleh dinikahi.
9. Haram membangun menara masjid.
10. Ucapan selamat pagi, selamat siang, dan seterusnya berdosa.
11. Ucapan selamat hari raya Idul Fitri atau Idul Adha seperti Kullu ‘Amin wa Antum Bi Khair (semoga setiap tahun anda berada dalam kebaikan) adalah sesat.
12. Haram wanita berpergian sendiri walaupun dalam kondisi aman.
13. Haram menggunakan Tasbih.
Selain itu masih banyak fatwa lainnya yang berada pada tataran mu’amalat dan tidak dicantumkan dalam buku tersebut, seperti fatwa dua orang ulama Saudi, Sheikh Othman Al-Khamees dan Sa’adal-Ghamidi yang melarang kaum perempuan memakai internet atau mendatangi tempat-tempat penyewaan jasa internet kecuali disertai mahramnya. Kemudian fatwa yang dikeluarkan General Association of Saudi Senior Ulama tentang keharaman memberikan bunga saat menjenguk orang yang terbaring sakit karena perilaku itu menyerupai tradisi dan budaya umat non-muslim.
Ada pula fatwa bernuansa kepentingan dan motif ekonomi dari ulama Saudi Arabia yang mengharamkan penggunaan bahan bakar bio fuel dikarenakan dalam bio fuel tersebut terdapat zat ethanol yang dijumpai pada minum beralkohol, oleh karena itu mereka mengharamkan penggunaan bio fuel meskipun industri otomotif mulai beralih untuk memproduksi kendaraan-kendaraan berbahan bakar bio fuel dalam rangka mendukung gerakan ramah lingkungan dan mengantisipasi pemanasan global. Fatwa ini dikeluarkan oleh Sheikh Muhammad al-Najimi, seorang anggota dari Islamic Jurisprudence Academy, berdasarkan dalil ayat tentang keharaman arak atau minuman beralkohol, dan hadis Nabi yang melarang segala jenis transaksi yang mengandung alkohol tersebut. Akan tetapi fatwa ini dikatakan sebagai pendapat pribadi, bukan merupakan fatwa resmi (Official Fatwa) lembaga fatwa negara.
Di Indonesia sendiri, fenomena gerakan dakwah ormas-ormas Islam banyak yang memiliki karakteristik serupa, mereka sering dilabeli berbagai macam sebutan, dari konservatif, skriptural, tekstual, literal, fundamentalisme, revivalisme, dan sebagainya. Melimpahnya kategorisasi ini setimpal dengan penolakan-penolakan atas labelisasi tersebut. Tetapi secara empirik, keberadaan tipikal dakwah puritanisme ala Salafi Wahabi, benar-benar ada di Indonesia. Oleh karena itu penulis buku ini turut melansir beberapa nama, baik tokoh maupun lembaga yang menaungi propaganda atau seide dengan paham Salafi Wahabi tersebut.
Sumber: http://kupretist.multiply.com/reviews/item/82
Penulis: Syaikh Idahram
Penerbit: Pustaka Pesantren, 2011
Buku ini menyingkap hal-hal penting di balik wabah pengkafiran atau menyebut orang lain kafir, pembid’ahan, penyesatan, dan gerakan-gerakan semacamnya di antara umat muslim yang marak belakangan ini, khususnya di Indonesia. Dalam pengantar buku ini, Said Agil Siradj berpendapat bahwa sejak 37 Hijriah, gerakan-gerakan tersebut telah dijumpai di dunia Islam. Terutama dengan kemunculan kalangan Khawarij sebagai kelompok oposisi, baik terhadap Ali dan pendukung (Shi‘at) beliau. Demikian pula terhadap Mu‘awiyah. Bahkan benihnya telah ada pada masa Nabi, ketika di bulan Syawal tahun 8 Hijriah, seusai Nabi memenangkan perang Thaif dan Hunain. Dalam perang ini diperoleh harta rampasan atau ghanimah yang melimpah. Dalam pembagian yang dilakukan di Ja‘ranah, para sahabat senior seperti Abu Bakar, Uthman, Ali, dan Umar Ibn Khattab tidak mendapatan bagian, namun sahabat yang baru menjadi muallaf alias masuk Islam, justru lebih diprioritaskan oleh Nabi, termasuk di antara mereka yang sesungguhnya berasal dari kalangan kaya raya.
Tiba-tiba seseorang bernama Dzul Khuwaishirah dari keturunan Bani Tamim maju ke depan dan berkata, “Berlaku adillah, hai Muhammad!”, lantas Nabi menjawab: “Celakalah kamu, siapa yang akan berbuat adil kalau aku saja tidak berbuat adil?”, sementara Umar yang naik pitam berkata, “Wahai Rasul, biarkan kupenggal saja lehernya.” Nabi menjawab, “Biarkan saja!” ketika orang itu berlalu, Nabi berkata pada sahabatnya, “Akan lahir dari keturunan orang ini kaum yang membaca al-Qur’an, tapi tidak sampai melewati batas tenggorokannya. Mereka keluar dari Islam seperti anak panah tembus keluar dari badan binatang buruannya. Mereka memerangi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Kalau aku menemui mereka niscaya akan kupenggal lehernya seperti kaum ‘Ad.” (HR. Muslim pada Kibat al-Zakah, bab al-Qismah). Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Mereka itu sejelek-jeleknya mahluk bahkan lebih jelek dari binatang. Mereka tidak termasuk dalam golonganku, dan aku tidak termasuk dalam golongan mereka.”
Secara antropologis, kaum Khawarij adalah suku nomad yang melakukan migrasi ke daerah Eufrat pada saat penaklukan Islam ke kawasan tersebut. Kebanyakan dari mereka berasal dari suku Tamim yang memiliki cara berfikir nomad, yaitu menerima sesuatu dengan penuh keyakinan dan berani. Lebih dari itu, kaum Khawarij memiliki karakter zuhud dan ahli ibadah sebagaimana ditunjukkan oleh pemimpinnya Abdullah bin Wahab yang terkenal dengan julukan Dzuts-Tsafanat (orang yang didahinya ada tanda sujud). Karakter ini membuat mereka kukuh dalam mempertahankan pendiriannya. Dengan modal kesalehannya, mereka mampu menyakinkan masyarakat Kufah dan sebagian kalangan Shi’ah untuk bergabung bersamannya. (Rasul Ja’farian, History of The Caliphs: From The Death of The Messenger(s) to the Decline of the Umayyad Dynasty 11-132 AH. Ansarian, 2003).
Penamaan Khawarij berasal dari kata kerja kharaja (telah keluar) yang digunakan untuk menggambarkan mereka sebagai kelompok yang keluar dari dan menentang kebijakan politik Ali tentang Tahqim di mana mereka sebelumnya merupakan pengikutnya. Namun, mereka sendiri menamakan dirinya dengan Syurah (pembeli) yang berarti membeli akhirat dengan kehidupan duniawi. (A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid II, terj. Muchtar Yahya, dan Sanusi Latief. Jakarta: Jayamurni, 1971). Sebutan lainnya adalah Haruriyah, penisbatan pada nama desa Harurah dekat sungai Furat kota Riqqah yang didiaminya lantaran mereka tidak mau tinggal di Kufah pasca Perang Shiffin. Di samping itu ada sebutan lainnya bagi golongan ini, yaitu Muhakkimah, adalah golongan yang memiliki pandangan, bahwa “tidak ada hukum selain Allah”.
Secara formal kelompok ini pertama kali dipimpin oleh Abdullah ibnu Wahab al-Rasibi sebagai hasil pemilihan di rumah Zaid ibnu Husein oleh Abdullah ibnu Kawwa’, Urwah Ibnu Djarir, dan Yazid ibnu ‘Ashim. Kepemimpinan ini menandai awal gerakan militer Khawarij yang kemudian melahirkan Perang Nahrawan (daerah yang terletak antara kota Wasith dan Baghdad), yaitu perang antara Khawarij dan Khalifah Ali. Perang ini melahirkan implikasi penyebaran pengikut Khawarij di berbagai tempat di luar Irak sebagai konsekwensi logis dari pelarian sejumlah kader Khawarij dari kekalahan Perang Nahrawan. (Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani –w. 548 H-, al-Milal wa al-Nihal. Cet. 3, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1993).
Sebagai sebuah entitas Khawarij memiliki sejumlah karakter. Pertama, memiliki sifat zuhud, wara', gemar dan berlebih-lebihan dalam beribadah. Ibn Abbas ketika datang pada Khawarij saat diutus Ali berkata: “kening mereka luka-luka karena terlalu lama sujud, dan tangan mereka seperti kaki unta lantaran terlalu banyak sujud.” (Ibn Abd Rabbih –w. 328 H.-, al-‘Iqdul Farid, Jilid 2, hal. 389).
Kedua, suka berperang dan menggunakan cara kekerasan, yaitu seperti memaklumkan perang terhadap setiap orang diluar golongan mereka, mengkafirkan orang: “kalau imam telah kafir, maka kafir pulalah rakyat seluruhnya.” (A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid II, terj. Muchtar Yahya, dan Sanusi Latief. Jakarta: Jayamurni, 1971, hal. 115).
Ketiga, memiliki kesetiaan yang tinggi. Misalnya dalam kasus perang di Asak antara Ubaidillah ibn Ziyad dengan tentara 2000 orang dari pihak Umayyah versus Mirdaz Abu Bila dengan tentara 40 orang dari pihak Khawarij. Ubaidillah ibn Ziyad tidak jadi membunuh Mirdaz, sebagai gantinya diserahkan pada petugas penjara, tetapi petugas penjara memberi kesempatan tinggal di rumahnya pada siang hari, sedangkan pada malam hari kembali ke penjara. (Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari –w. 310 H-, Tarikh al-Tabari, Juz. V, hal. 232).
Keempat, kesederhanaan dan kedangkalan kognitif. Al-Qur'an dijadikan dasar halalnya membunuh. Mereka selalu mengeluarkan dalil surat al-An’am: 57, bahwa tidak ada hukum selain kepunyaan Allah, dan surat al-Maidah: 33, bahwa barang siapa tidak menghukum menurut hukum Allah, maka mereka adalah kafir. Dan bagi siapa saja yang dianggap kafir maka boleh dibunuh, bahkan wanita dan anak-anak boleh dibunuh. Lebih-lebih ketika menyangkut wilayah kepentingan politik. Pembunuhan terhadap Abdullah Ibnu Khabbab karena mengakui kekhalifahan Ali adalah contoh paling awal dari sketsa sejarah kekerasan Khawarij. (Ibn Abd Rabbih –w. 328 H.-, al-‘Iqdul Farid, Jilid 2, hal. 390). Bukti lainnya adalah keluar dari kualisi Ibnu Zubair karena dia tidak mau mengakui kekafiran Utsman, Ali, Zubair, dan Aisyah. (Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari –w. , Tarikh al-Thabari, juz. IV, hal. 437).
Khawarij kemudian berkembang menjadi beberapa kelompok seperti al-Zariqah, al-Ibadiyah, al-Najdat, dan al-Shufriyah. Lalu apa hubungannya dengan berdirinya dinasti Saud di Arab Saudi dan juga kelompok yang terkenal dengan sebutan Salafi Wahabi? Buku ini tidak terlalu banyak mengeksplor benang merah antara keduanya. Sebenarnya banyak penelitian lainnya yang menjelaskan hal tersebut, seperti David Commins, The Wahabi Mission and Saudi Arabia, London: I.B. Tauris, 2006. Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah. Sa’id Ramadhan al-Buthi, al-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Mazhab Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 1996.
Sebenarnya istilah Salafi sudah dikenal dalam literatur kitab-kitab klasik. Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada generasi awal pada tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah. Namun demikian, saat ini penggunaan istilah Salafi tercemar oleh propaganda kelompok yang gencar melakukan klaim sebagai satu-satunya kelompok pewaris kaum Salaf. Karena itu Olivier Roy menyebut kelompok-kelompok yang mengusung tema atau mengenakan istilah Salaf belakangan ini, disebut sebagai neo-Salafisme. Hasan Ibn Ali al-Segaf dalam bukunya al-Tandid bi Man ‘Addad at-Tauhid menyebut gerakan-gerakan tersebut sebagai Mutamaslif (Meniru-niru seolah Salaf). Lalu keterkaitan antara Salafi dengan Wahabi, terletak pada tataran praksis di mana kelompok Wahabi merasa tersudutkan oleh penisbatan Barat dan kalangan muslim lainnya yang melekatkan gerakan dakwah mereka kepada Muhammad Ibn Abdul Wahab. Oleh karena itu mereka menggunakan istilah Salaf dalam berdakwah, maka kemudian terkenal istilah dakwah Salaf yang kini kian menjamur di Indonesia sebagai tren baru.
Dalam pandangan penulis buku ini, Salafi Wahabi bukanlah khawarij, namun memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda, alias mempunyai sisi kesamaan. Seperti sikap tanpa tedeng aling yang kerap ditunjukkan dalam memerangi hal-hal yang mereka anggap sesat, syirik, dan sebagainya. Propaganda mereka tidak hanya melalui buku, dan radio, tapi juga secara aktif di masyarakat, seperti masjid-masjid dan sarana pendidikan. Demikian pula dengan mengeluarkan fatwa-fatwa atau pernyataan sesat terhadap sesama muslim yang bertentangan dan berbeda dengan pemahaman mereka. Di antara fatwa-fatwa mereka adalah;
1. Haram memotong jenggot apalagi mencukurnya.
2. Haram wanita mengendarai mobil.
3. Haram wanita berbicara di sisi lelaki.
4. Zikir La ilaaha illallah seribu kali sesat dan musyrik.
5. Shalawat setelah azan dosanya sama dengan perzinaan.
6. Kalimat Shadaqallahu al-Azhim Bid’ah dan sesat.
7. Lelaki haram mengajar anak perempuan, dan perempuan haram mengajar anak lelaki.
8. Orang yang meninggalkan shalat berjama’ah tak boleh dinikahi.
9. Haram membangun menara masjid.
10. Ucapan selamat pagi, selamat siang, dan seterusnya berdosa.
11. Ucapan selamat hari raya Idul Fitri atau Idul Adha seperti Kullu ‘Amin wa Antum Bi Khair (semoga setiap tahun anda berada dalam kebaikan) adalah sesat.
12. Haram wanita berpergian sendiri walaupun dalam kondisi aman.
13. Haram menggunakan Tasbih.
Selain itu masih banyak fatwa lainnya yang berada pada tataran mu’amalat dan tidak dicantumkan dalam buku tersebut, seperti fatwa dua orang ulama Saudi, Sheikh Othman Al-Khamees dan Sa’adal-Ghamidi yang melarang kaum perempuan memakai internet atau mendatangi tempat-tempat penyewaan jasa internet kecuali disertai mahramnya. Kemudian fatwa yang dikeluarkan General Association of Saudi Senior Ulama tentang keharaman memberikan bunga saat menjenguk orang yang terbaring sakit karena perilaku itu menyerupai tradisi dan budaya umat non-muslim.
Ada pula fatwa bernuansa kepentingan dan motif ekonomi dari ulama Saudi Arabia yang mengharamkan penggunaan bahan bakar bio fuel dikarenakan dalam bio fuel tersebut terdapat zat ethanol yang dijumpai pada minum beralkohol, oleh karena itu mereka mengharamkan penggunaan bio fuel meskipun industri otomotif mulai beralih untuk memproduksi kendaraan-kendaraan berbahan bakar bio fuel dalam rangka mendukung gerakan ramah lingkungan dan mengantisipasi pemanasan global. Fatwa ini dikeluarkan oleh Sheikh Muhammad al-Najimi, seorang anggota dari Islamic Jurisprudence Academy, berdasarkan dalil ayat tentang keharaman arak atau minuman beralkohol, dan hadis Nabi yang melarang segala jenis transaksi yang mengandung alkohol tersebut. Akan tetapi fatwa ini dikatakan sebagai pendapat pribadi, bukan merupakan fatwa resmi (Official Fatwa) lembaga fatwa negara.
Di Indonesia sendiri, fenomena gerakan dakwah ormas-ormas Islam banyak yang memiliki karakteristik serupa, mereka sering dilabeli berbagai macam sebutan, dari konservatif, skriptural, tekstual, literal, fundamentalisme, revivalisme, dan sebagainya. Melimpahnya kategorisasi ini setimpal dengan penolakan-penolakan atas labelisasi tersebut. Tetapi secara empirik, keberadaan tipikal dakwah puritanisme ala Salafi Wahabi, benar-benar ada di Indonesia. Oleh karena itu penulis buku ini turut melansir beberapa nama, baik tokoh maupun lembaga yang menaungi propaganda atau seide dengan paham Salafi Wahabi tersebut.
Sumber: http://kupretist.multiply.com/reviews/item/82