Ketetapan Ulama Tentang Penentuan Awal Ramadhan
Puasa ramadlan adalah ibadah yang agung. Keutamaanya cukup hanya dengan sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan Al-Bukhari: كُلُّ عَم...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/07/ketetapan-ulama-tentang-penentuan-awal.html
Puasa ramadlan adalah ibadah yang agung. Keutamaanya
cukup hanya dengan sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan Al-Bukhari:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ ءادَمَ لَهُ إلا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأنا
أَجْزِي بِهِ
“Setiap amal manusia (diperuntukkan) untuk
dirinya (sendiri), kecuali puasa. Maka sesungguhnya puasa (diperuntukkan)
untukKu dan aku akan memberinya pahala”. (HR.
Al-Bukhari)
Puasa adalah perbuatan taat yang paling utama,
bentuk qurbah (upaya mendekatkan diri kepada Allah) yang paling agung dan
merupakan salah satu yang terpenting dalam masalah-masalah keislaman. Dalam hadits
yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda bahwa Islam
dibangun diatas lima perkara, diantaranya adalah puasa Ramadlan.
Dalam masalah penentuan awal ramadlan, para ulama
empat mazhab bersepakat bahwa bahwa cara menentukan awal ramadlan adalah
sebagai berikut:
1. Mengadakan observasi terhadap hilal ramadlan
saat terbenamnya matahari tanggal 29 sya’ban. Jika hilal dapat dilihat, maka
keesokan harinya adalah tanggal 1 ramadlan.
2. Jika hilal tidak nampak, maka keesokan
harinya adalah tanggal 30 sya’ban.
Dari cara ini para fuqaha mencetuskan dan
menfatwakan bahwa cara inilah yang harus menjadi sandaran. Dan pendapat para
ahli hisab dan falak tidak perlu diperhatikan dan tidak dapat dijadikan dasar
untuk menentukan awal dan berakhirnya puasa ramadlan.
Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya, Imam Muslim
dalam Shahihnya, An-Nasa’i dalam Sunannya dan Ibnu Majah –rahimahumullah--
meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah --radliyallahu ‘anhu—bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإذَا رَأَيْتُمُوهُ
فَأَفْطِرُوا فَإنْ غُمّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ يَوْمًا
“Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Dan
jika kalian melihatnya, maka berhentilah berpuasa. Jika langit mendung maka
berpuasalah selama 30 hari”.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah –shallallahu
‘alayhi wa sallam—bersabda:
صُومُوا لرؤيته وأَفْطِرُوا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان
ثلاثين
“Berpuasalah jika kalian melihat hilal, dan
lakukanlah ifthar setelah melihatnya. Jika mendung, maka sepurnakanlah bulan
sya’ban hingga 30 hari”.
Pendapat Syafi’iyah
Dalam kitab “Asnal Mathalib”, syarah kitab “Raudh
al-Thalib” karya Syeikh Zakaria Al-Anshari (w=925); 1/410, disebutkan:
ولا عبرة
بالمنجم (أي بقوله) فلا يجب به الصوم ولا يـجوز والمـراد بآية: [وَبِالنَّجْمِ
هُمْ يَهْتَدُونَ] [النحل: 16] الاهتداء في أدلة القبلة وفي السفر
“Ucapan ahli astronomi tidak perlu
diperhatikan. Maka tidak wajib berpuasa berdasarkan informasi para ahli
astronomi. Sedangkan yang dimaksud dalam ayat:
وَبِالنَّجْمِ
هُمْ يَهْتَدُونَ [النحل: 16]
adalah mencari petunjuk dengan bintang dalam
menentukan arah kiblat dan sebagai pentu arah saat dalam perjalanan.
Pendapat Mazhab Hanafi
Seorang ahli fiqih mazhab Hanafi, Ibnu ‘Abidin
(w=1252) dalam kitab Ad-Dur Al-Mukhtar (3/354) yang merupakan kitab yang paling
terkenal dikalangan ulama Hanafi disebutkan:
لا عبرة
بقول المؤقتين أي في وجوب الصوم على الناس بل في ( المعراج ) لا يُعتبر قولهم
بالإجماع ولا يجوز للمنجم أن يعمل بحساب نفسه اهـ.
Pendapat kalangan Malikiyah
Dalam kitab Al-Dur Al-Tsamin wa al-Mawrid al-Mu’in
karya Syeikh Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad Mayyarah al-Maliki (w=1072 H) hlm.
327 berkata bahwa menurut al-Syihab al-Qarafi (w=684 H), bahwa ketetapan dengan
dasar hisab lalu tentang awal ramadlan tidak boleh diikuti karena bertentangan
dengan ijma’ para ulama salaf.
Dalam Kitab Syarh al-Kabir karya Syaikh Ahmad
Al-Dardir al-Maliki al-Azhari (w=1201) Juz 1 hlm. 462 mengatakan bahwa awal
ramadhan tidak dapat ditetapkan dengan dasar informasi dari ahli astronomi. Artinya
informasi itu tidak dapat dijadikan dasar baik untuk dirinya sendiri atau orang
lain.
Pendapat kalangan Nanabilah
Al-Buhuty al-Hanbali (w=1051) dalam Kasyaf
al-Qana’; 2/302 mengatakan bahwa jika seseorang niat puasa ramadhan pada
tanggal 30 sya’ban tanpa dasar syar’i berupa terlihatnya hilal atau
menyempurnakan bulan sya’ban, seperti berpuasa karena informasi hisab atau ahli
astronomi meskipun informasi tersebut banyak, maka puasanya tidak sah, karena
ia bersandar pada apa yang bertentangan dengan syara’.
Dari Uraian diatas, hendaknya setiap muslim
berpegang pada pendapat fuqaha’ mazhahib arba’ah dimana umat ini bersepakat
akan keluhuran derajat mereka. Hendaknya pula seorang muslim mempelajari
hukum-hukumm tentang puasa sebelum masuk bulan ramadhan kepada orang yang
mempunyai pengetahuan dan keadilan yang memperoleh ilmu tersebut dengan cara
bertatap muka dengan orang sebelumnya yang juga mempunyai keadilan dan
pengetahuan dengan sanad muttashil kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wasallam.
Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang mau
mendengarkan suatu pendapat dan mengikuti apa yang terbaik darinya. Amin.
Maha Suci Allah dan segala puji bagiNya.
Wallahu A’lam
Sumber: http://darulfatwa.org.au