Resolusi Jihad NU dan Pertempuran 10 Nopember 1945
"Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka ...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2013/11/resolusi-jihad-nu-dan-pertempuran-10.html?m=0
"Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga. Kita tunjukken bahwa kita ini benar-benar orang-orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap "Merdeka atau Mati". Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!! Merdeka!!" demikian transkrip pidato Radio Bung Tomo yang dipancarkan dari Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia di Surabaya, 9 November 1945.
Agitasi dan propaganda dengan penggunaan Battle Cry 'Allahu Akbar' tersebut berdasarkan resolusi jihad yang dikeluarkan Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU), Hadlratussyaikh KH Hasyim Asyari pada tanggal 25 Oktober 1945, 15 hari sebelum pecahnya pertempuran Surabaya. Anthropolog Belanda, Martin van Bruinessen, mengatakan resolusi jhad tersebut berdampak besar dalam mengobarkan semangat 10 November 1945. Sayangnya, resolusi jihad ini tidak mendapatkan perhatian yang layak dari para sejarawan.
"Resolusi itu menunjukkan bahwa NU mampu menampilkan diri sebagai kekuatan radikal yang tak disangka-sangka," kata Bruinessen dalam bukunya NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (hal 98).
Sedangkan Menurut Achmad Muhibbin Zuhri (2012), terdapat dua naskah resolusi jihad. Pertama, naskah Resolusi Djihad fi Sabilillah, berisi pandangan-pandangan dan pertimbangan yang berkembang pada rapat besar wakil-wakil daerah (konsul 2: Jawa-Madura) pada tanggal 21-22 Oktober 1945. Naskah kedua adalah Resoloesi Moe'amar Nahdlatoel Oelama' ke-XVI di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946.
Hadratus Syaikh Hasyim Asyari mendasarkan resolusi jihad dari fatwa yang keluarkan pada pertemuan terbatas para ulama di Pesantren Tebuireng pada 14 September 1945. Ada tiga poin penting dalam kedua naskah resolusi jihad itu. Pertama, hukum membela negara dan melawan penjajah adalah fardlu ain bagi setiap muallaf yang berada dalam radius masafat al-safar, kedua perang melawan penjajah adalah jihad fi sabilillah, dan oleh karena itu umat Islam yang mati dalam peperangan itu adalah syahid, dan ketiga, mereka yang mengkhianati perjuangan umat Islam dengan memecah-belah persatuan dan menjadi kaki tangan penjajah, wajib hukumnya dikenakan jinayah berat.
Fatwa jihad yang kemudian dirumuskan secara tertulis dalam resolusi jihad tersebut keluar atas permintaan Presiden Soekarno, demi menghadapi kedatangan enam ribu tentara Inggris di bawah komando Brigadir Jenderal Mallaby, Panglima Brigade ke-49 (India) yang berkekuatan 15 ribu personel di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Inggris mempunyai perjanjian dengan Kerajaan Belanda untuk mengembalikan Indonesia sebagai daerah jajahan dengan membentuk NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Soekarno meminta fatwa ke Hasyim Asyari tentang hukum melakukan membela Tanah Air dan negara rpublik yang masih muda belia itu. Sebagai figur yang sangat disegani oleh para kiai dan santri se-Jawa dan Madura, Hasyim Asyari adalah pemimpin spiritual laskar Hizbullah, badan militer NUM, yang dikomandani oleh para kiai dan beranggotakan para santri. Ternyata setelah fatwa jihad keluar, puluhan ribu kiai dan santri segera menyambut seruan resolusi jihad. Mereka adalah para kiai dan santrinya dari seantero Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Keluarnya resolusi jihad merujuk pada fatwa Hasyim Asyari mengenai Islam dan kenegaraan. Beliau mengikuti pandangan Syekh Nawawi al-Bantani, yang menyatakan Dar al-Islam yang telah dikuasai oleh non-Muslim tetap dipandang sebagai Dar al-Islam apabila umat Islam masih tetap bermukim di dalamnya.
Artinya, Dar al-Islam yang kemudian dikuasai oleh non-Muslim tidak berubah status menjadi Dar al-Harb, apabila orang Islam yang menetap di dalamnya tidak dihalangi untuk melaksanakan syariat agamanya. Akan tetapi, jika penguasa non-Muslim tersebut menghalangi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, maka statusnya berubah menjadi Dar al-Harb.
Dalam pandangan Hasyim Asyari, mempertahankan eksistensi republik Indonesia dari segala hal yang mengancamnya wajib dilakukan oleh umat Islam, bukan semata-mata atas nama nasionalisme, namun untuk keberlangsungan kehidupan umat Islam yang berdiam di negara tersebut. Dalam pidatonya yang disampaikan pada Muktamar NU ke-XVI di Purwekorto 26-29 Maret 1946, Hasyim Asyari menyatakan "Tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan."
Pertempuran Surabaya 10 November 1945 merupakan momen kekalahan yang tidak pernah diduga sebelumnya oleh pasukan Sekutu. Bahkan dalam buku The British Occupation of Indonesia: 1945-1946 dan juga Surat kabar New York Times (edisi 15 November 1945), menyebut The Battle of Surabaya sebagai inferno atau neraka di timur Jawa.
Inggris juga menderita kehilangan dua Jenderal, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby dan Brigjen Robert Loder Symonds. Panglima AFNEI Letjen Philip Sir Christison di Jakarta bahkan menambah kekuatan dengan mengirim pasukan divisi ke-5 di bawah Komando Mayor Jenderal E.C Mansergh, veteran pertempuran El-Alamien saat Perang Dunia II di Afrika Utara melawan Jenderal Rommel yang legendaris, untuk menggantikan Mallaby.
Mansergh membawa 15 ribu tentara, dibantu enam ribu personel brigade 45 The Fighting Cock dengan persenjataan lengkap, termasuk menggunakan tank Sherman, 25 ponders, 37 howitzer, Destroyer HMS Sussex dibantu empat kapal perang destroyer, dan 12 pesawat tempur jenis Mosquito.
20 November 1945, setelah 10 hari bertempur dengan sengit, Inggris berhasil menguasai Surabaya dengan korban ribuan orang prajurit tewas. Lebih dari 20.000 tentara Indonesia, milisi dan penduduk Surabaya tewas. Seluruh kota Surabaya hancur lebur. Korban jiwa diperkirakan mencapai angka puluhan ribu.
Menurut laporan dr. Moh. Suwandhi, Kepala Kesehatan Jawa Timur, yang menangani korban pihak Indonesia, jumlah adalah 16.000 jiwa. Sedangkan pihak Inggris, mengutip keterangan penulis Anthony James Brett, menyebutkan sejak mendarat di Surabaya, Inggris telah kehilangan sekitar 1.500 prajuritnya.