Isu Politik Yang Menjadi Ideologi
Ketika itu kota Mekah sudah diislamkan. Umat Islam yang berpusat di Madinah dipimpin Rasulullah SAW menunaikan ibadah haji. Inilah kunjungan...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2011/04/isu-politik-yang-menjadi-ideologi.html?m=0
Ketika itu kota Mekah sudah diislamkan. Umat Islam yang berpusat di Madinah dipimpin Rasulullah SAW menunaikan ibadah haji. Inilah kunjungan Nabi Muhammad SAW untuk kali pertama dan terakhir, sesudah semua berhala di sekitar Ka'bah dibersihkan. Saat itu kita Mekah menjadi kota suci yang hanya boleh dikunjungi oleh kaum muslimin. Waktu wuquf di Arafah Sayyidina Muhammad menerima wahyu terakhir yang kemudian termuat dalam Al-Qur'an surat Al-Maidah (5) ayat 3.
Terjemahnya menurut Departemen Agama : "Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridlai Islam itu jadi agama bagimu".
Kebanyakan sahabat menyambut gembira turunnya ayat ini. Sebab bagi mereka, Islam sudah selesai diajarkan dan tinggal mengamalkannya. Namun lain dengan Abu Bakar yang merespon dengan kesedihan. Beliau malah menangis sesenggukan. Alasannya; kalau Islam sudah selesai diajarkan, itu berarti tugas Rasulullah SAW sudah rampung juga. Apa itu bukan berarti beliau juga akan segera berpisah dengan kita.
Kecemasan As-Sidiq ini memang terbukti. Dua bulan sesudah itu, Rasulullah SAW wafat (Senin, 12 Rabiul Awal 11 H = 9 Juni 632). Saat itu pula muncul persoalan yang jawabannya tidak bisa diperoleh langsung dari pesan Rasulullah. Yaitu; siapa pengganti kepemimpinan beliau. Isu ini sangat sensitif dan di kemudian hari mempunyai implikasi mempengaruhi cara memahami ajaran yang tadi dinyatakan sudah sempurna.
Belum lagi jenazah Rasulullah dimakamkan, beberapa tokoh Anshor sudah berkumpul di Balai Bani Saidah, beberapa puluh meter dari dalem Kangjeng Rasul, membahas "capres". Mayoritas majlis menyepakati pengganti kepemimpinan Rasulullah harus "Putra Daerah". Alasannya sangat kuat. Mereka inilah yang menfasilitasi sehingga dakwah Islamiyah berjalan lancar. Sebelumnya waktu di Mekah, aktivitas Rasulullah SAW terkekang dan pengikutnya terus mendapat intimidasi.
Tapi kesepakatan itu akhirnya dapat diurai dengan kehadiran beberapa tokoh Muhajirin. Mereka akhirnya dapat menerima pengganti Rasul adalah Abu Bakar yang bukan asli Madinah. Baru sesudah itu para sahabat -radliyallahu anhum- menengok jenazah yang mulia SAW. Tapi disitu, sejak beliau wafat hingga belasan jam kemudian, anggota keluarga tidak pernah lepas menjaga dan merawatnya. Ahlul Bait ini tidak sempat umek memikirkan capres, karena begitu mendalamnya duka. Dan mungkin mereka juga merasa kurang etis bila dalam keadaaan begini sudah berebut kursi. Tapi akhirnya mereka, dengan besar hati, juga mengakui kepemimpinan Abu Bakar.
Kemudian Abu Bakar memimpin selama dua tahun, digantikan Umar bin Khatthab, selama 11 tahun, kemudian giliran Utsman bin Affan selama 12 tahun, dan terakhir Ali bin Abi Thalib selama 4 tahun. Masa sekitar 30 tahun itu disebut kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, para pengganti kepemimpinan yang cerdas. Mereka memang menduduki kursi bukan dalam pengertian politik kekuasaan, tetapi menekankan kepemiminan agama. Akan tetapi di sekitar mereka terus bergolak isu politik.
Begitu tersiar bahwa Rasulullah SAW wafat, hampir semua suku di luar Madinah membangkang kepemimpinan Islam, alias murtad. Mereka ini masuk Islam setelah takluknya kota Mekah (Fathu Makkah). Jadi terpaksa mengakui kekuatan Islam, bukan karena iman. Hal ini dapat diatasi dengan baik pada masa Abu Bakar. Kemudian tiga pengganti (Khalifah) berukutnya berakhir dengan pembunuhan. Semua itu aroma politik.
Waktu Abu Bakar dipilih sebagai khalifah, semua -secara formal dan nalar- mengakui. Tapi perasaan dan emosi yang berkecamuk mewarnai perkembangan berikutnya. Seiring dengan perkembangan ekspansi wilayah kekuasaan Islam, rangkaian pembunuhan Umar, Utsman dan Ali membuktikan hal itu.
Dan ini makin tidak bisa disembunyikan ketika pemerintahan sayyidina Utsman. Rasa tidak puas terhadap pengangkatan Kepala Daerah, memunculkan protes dan gugatan di mana-mana. Dan ujungnya pembunuhan terhadap Utsma. Hal ini berakibat balas dendam dari keluarga, Bani Umayah. Maka ketika Sayyidina Ali menggantikan khalifah perasaan itu ditunjukkan kepadanya, dengan menuntut agar para pembunuh Utsman dihukum setimpal. Dan ketidakpuasan akan pelaksanaan tuntutan ini berujung pada pembunuhan kepada Ali, bahkan kemudian putranya Sayyid Husein. Seiring dengan itu ribuan nyawa para pewaris ajaran Islam angkatan pertama itu ikut terbunuh.
Dan mulai saat itu kepemimpinan Islam selama 90 tahun, jatuh ke tangan Bani Umayah. Kepemimpinan tidak lagi mengandalkan kompetensi dan kepabilitas keagamaan, tetapi berdasarkan keturunan.
Di sisi lain rangkaian huru-hara di kalangan umat generasi awal Islam ini sangat berpengaruh kepada pewarisan ajaran. Kelompok-kelompok saling bertentangan akan mencari pembenar dari dalil-dalil yang "dikatakan" bersumber dari Rasulullah. Lebih-lebih bagi yang sedang berkuasa dengan leluasa memonopoli kebenaran dengan mengklaim adanya dalil, dan menyatakan bahwa dalil lawan adalah lemah bahkan palsu.
Inilah awal timbulnya sekte-sekte keagamaan dalam Islam, yang pada dasarnya adalah urusan politik yang dicarikan pembenaran dari Al-Qur'an dan Hadits, dan tidak ada hubungan sama sekali dengan ajaran Islam. Namun, akibat usaha pembenaran ini serta penyebarluasannya, urusan politik itu menjadi sebuah ideologi yang cenderung menyimpang dari kebenaran. Munculnya Syi'ah dan Khawarij adalah contoh, dimana urusan politik malah menjadi sebuah ajaran keagamaan.
Maka kemudian lahirlah kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah yang berusaha mencari kebenaran yang lurus di tengah bertebarannya isu politik yang dipoles dengan dalil agama. Kelompok yang menjadi penengah diantara kelompok yang cenderung ke kiri dan kelompok yang cenderung ke kanan. Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah ajaran memberikan pencerahan kepada alam semesta, tidak malah menggelisahkan. Ajaran ini adalah ajaran yang akan bisa diterima oleh semua orang yang menggunakan hati nuraninya kapan pun dan di mana pun, serta tidak menimbulkan konflik batin dan tidak menimbulkan benturan sosial.
Sumber: Refleksi Majalah AULA Edisi No. 04 Tahun XXXIII April 2011