Mengenang Ibnu Rusydi; Mengenang Dunia Ilmu
Mengenang Ibnu Rusydi adalah mengenang masa kejayaan islam, mengenang betapa dinamisnya transformasi ilmu, mengenang tokoh-tokoh besar se...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/04/mengenang-ibnu-rusydi-mengenang-dunia.html?m=0
Mengenang Ibnu
Rusydi adalah mengenang masa kejayaan islam, mengenang betapa dinamisnya
transformasi ilmu, mengenang tokoh-tokoh besar semasanya. Mengenang suatu masa
dimana ilmu, pengetahuan, kebudayaan, intelektualisme, profesionalisme lebih
dihargai, lebih bernilai dari harta; emas dan permata.
Mengenang Ibnu
Rusydi adalah mengenang suatu masa dimana kondisi ideal masyarakat;
intelektual, pemikir tersebar di sudut-sudut kota, pelosok-pelosk desa.
Pelajar-pelajar berdatangan dari daerah, negeri-negeri, baik yang dekat maupun
yang jauh. Itulah kondisi masyarakat yang menjadi proyeksi dan tujuan
diturunkannya al Quran. Kondisi sosial masyarakat tamadun atau madani,
suatu komunitas masyarakat yang berperadaban.
Ibnu Rusydi
dilahirkan pada tahun 520 H di kota Cordova, Spanyol sebuah kota metropolitan
kala itu. Pada saat itu jika kita menyebut, Atena, Rowawi, Iskandaria, Bagdad,
kita tidak bisa memisahkannya dari kota Cordova. Sekitar 150 tahun sebelumnya khalifah
al-Muntashir Billah, seorang khalifah yang mempunyai perhatian besar pada
dunia intelektualisme wafat (366 H).
Al-Muntashir Billah mengumpulkan berbagai literatur, membangun perpustakaan besar, yang belum pernah dibangun oleh seorangpun di dunia ketika itu. Ibnu Khaldun dalam Muqadimahnya berkata: “Khalifah mengutus para saudagar dan para pedagang, Dibekalinya uang untuk mencari, memburu kitab di berbagai daerah. Sehingga tak heran jika di Andalusia terkumpul ribuan kitab yang sebelumnya tidak pernah mereka ketahui.
Dikisahkan, khalifah menghadiahkan sejumlah uang pada seorang ulama yang mengarang kitab al-Aghani, Abul Faraj al-Isfihani, seorang ulama yang masih mempunyai hubungan darah dengan Bani Umayah. Selain dihadiahi uang seribu dinar, Abul Faraj al-Isfihani diberi salinan kitab itu sebelum dibawa ke Andalusia.
Hal yang sama dilakukan pula pada Qadhi al-Abhuri al-Maliki atas jasanya dalam
mensyarahi Mukhtashar Ibni Abdil Hikam. Demikian pula dengan ulama-ulama
lainnya. Khalifah mengumpulkan para penulis handal, serta ahli penjilid kitab.
Hingga Andalus memiliki perpustakaan yang sangat lengkap. Sebuah capaian
yang tidak dapat digapai oleh orang setelah maupun sebelumnya.
Suri tauladan khalifah dalam mendedikasikan hidupnya untuk ilmu, dan
semangatnya, perhatiannya dalam mengumpulkan kitab-kitab itu ditiru oleh para
saudagar, dan para konglomerat di Andalusia. Baik mereka yang gemar membaca
maupun tidak. Al-Hadhrami mengisahkan satu kejadian yang membuatnya
terkagum-kagum.
Al Hadhrami berkisah : “Suatu ketika aku singgah di kota Cordova, aku mendatangi took-toko buku di kota itu. Aku berharap aku bisa mendapatkan kitab yang sudah lama aku cari. Ulam dicinta pucuk ditiba. Kitab yang kucari itu aku temukan. Tulisannya bagus, penjelasannya memukau. Aku senang tidak kepalang. Aku hargai kitab itu dengan sangat mahal, melebihi harga standar kitab itu. Tiba-tiba ada seseorang yang datang kemudian menawar kitab itu lebih mahal lagi. Mencapai harga yang sungguh tinggi sekali. Aku berkata: ‘Wahai tuan siapa gerangan yang menawar kitab itu sebegitu tinggi?’.
Si penawar tadi mengajak sesorang ke hadapanku, dia memakai pakaian yang bagus. Kemudian aku menghampirinya, aku menegurnya: ‘Tuan yang dimulyakan Allah. Jika tuan berminat untuk membeli kitab itu, aku tak jadi membelinya. Tuan telah menawarnya dengan harga yang tinggi sekali’. Orang itu menjawab: ‘Aku bukan seorang alim, tidak pula aku memahami apa isi dari kitab itu. Hanya saja aku membangun sebuah perpustakaan di kediamanku supaya aku lebih terhormat dalam pandangan para pemuka negeriku. Dalam perpustakaanku itu masih ada tempat yang kosong, aku kira cukup untuk kitab ini. Waktu aku melihat tulisannya yang rapi, sampulnya bagus aku tak memikirkan seberapa mahal harga kitab itu. Al Hamdulilah Allah telah memberiku harta yang melimpah”.
Dalam kondisi sosial seperti itulah Ibnu Rusydi tumbuh. Ibnu Rusydi pernah berkelekar pada Ibnu Zuhri seorang ulama sekaligus filsuf. Saat itu keduanya berada di hadapan al-Manshur bin Abd Mu’min, Khalifah bani Muwahidun: “Aku tidak mengerti apa yang kau katakan wahai Ibnu Zuhri!. Yang aku tahu jika seorang cendikiawan di Isybilah (Sevilla) wafat, kitab-kitabnya di jual ke Cordova. Di sana pasti laku. Tapi jika ada orang yang wafat di Cordova, harta peninggalannya dijual di Isybilah, sebab di sana pasti laku”.
Dua tokoh itu adalah cendikiwan muslim cemerlang. Kepakaran dan penguasaan mereka dalam berbagai cabang ilmu menjadi bukti pencapaian luar biasa Islam pada abad itu. Pakar-pakar kenamaan di Cordova berusaha membentuk keluarga intelektual sehingga capaian yang telah mereka gapai diraih oleh anak cucunya.
Itu menjadi kebanggan tersendiri bagi mereka. Masyarakat dan para ulama di Cordova menyebut Ibnu Rusydi al-Jid (kakek), Ibnu Rusydi al-Ibnu (anak), Ibnu Rusydi al-hafid (cucu). Untuk membedakan antara kakek anak dan cucu, yang sama-sama di panggil Ibnu Rusydi. Demikian juga untuk menyebut keluarga intelektual lainnya. Ibnu Zuhri misalnya. Mereka menyebut Ibnu Zuhri al-Ashgar untuk membedakan dari Ibnu Zuhri al-Hafid.
Pantaslah jika ulam berkata; “Bukanlah lelaki sejati orang yang berkata: “Inilah ayahku yang terhormat. Lelaki sejati adalah orang yang berkata: “inilah aku yang berkepribadian dan berkemampuan”.
Sumber: http://www.habiblutfiyahya.net/