Mengenang Ibnu Rusydi; Mengenang Dunia Ilmu
Mengenang Ibnu Rusydi adalah mengenang masa kejayaan islam, mengenang betapa dinamisnya transformasi ilmu, mengenang tokoh-tokoh besar se...
Al-Muntashir Billah mengumpulkan berbagai literatur, membangun perpustakaan besar, yang belum pernah dibangun oleh seorangpun di dunia ketika itu. Ibnu Khaldun dalam Muqadimahnya berkata: “Khalifah mengutus para saudagar dan para pedagang, Dibekalinya uang untuk mencari, memburu kitab di berbagai daerah. Sehingga tak heran jika di Andalusia terkumpul ribuan kitab yang sebelumnya tidak pernah mereka ketahui.
Dikisahkan, khalifah menghadiahkan sejumlah uang pada seorang ulama yang mengarang kitab al-Aghani, Abul Faraj al-Isfihani, seorang ulama yang masih mempunyai hubungan darah dengan Bani Umayah. Selain dihadiahi uang seribu dinar, Abul Faraj al-Isfihani diberi salinan kitab itu sebelum dibawa ke Andalusia.
Al Hadhrami berkisah : “Suatu ketika aku singgah di kota Cordova, aku mendatangi took-toko buku di kota itu. Aku berharap aku bisa mendapatkan kitab yang sudah lama aku cari. Ulam dicinta pucuk ditiba. Kitab yang kucari itu aku temukan. Tulisannya bagus, penjelasannya memukau. Aku senang tidak kepalang. Aku hargai kitab itu dengan sangat mahal, melebihi harga standar kitab itu. Tiba-tiba ada seseorang yang datang kemudian menawar kitab itu lebih mahal lagi. Mencapai harga yang sungguh tinggi sekali. Aku berkata: ‘Wahai tuan siapa gerangan yang menawar kitab itu sebegitu tinggi?’.
Si penawar tadi mengajak sesorang ke hadapanku, dia memakai pakaian yang bagus. Kemudian aku menghampirinya, aku menegurnya: ‘Tuan yang dimulyakan Allah. Jika tuan berminat untuk membeli kitab itu, aku tak jadi membelinya. Tuan telah menawarnya dengan harga yang tinggi sekali’. Orang itu menjawab: ‘Aku bukan seorang alim, tidak pula aku memahami apa isi dari kitab itu. Hanya saja aku membangun sebuah perpustakaan di kediamanku supaya aku lebih terhormat dalam pandangan para pemuka negeriku. Dalam perpustakaanku itu masih ada tempat yang kosong, aku kira cukup untuk kitab ini. Waktu aku melihat tulisannya yang rapi, sampulnya bagus aku tak memikirkan seberapa mahal harga kitab itu. Al Hamdulilah Allah telah memberiku harta yang melimpah”.
Dalam kondisi sosial seperti itulah Ibnu Rusydi tumbuh. Ibnu Rusydi pernah berkelekar pada Ibnu Zuhri seorang ulama sekaligus filsuf. Saat itu keduanya berada di hadapan al-Manshur bin Abd Mu’min, Khalifah bani Muwahidun: “Aku tidak mengerti apa yang kau katakan wahai Ibnu Zuhri!. Yang aku tahu jika seorang cendikiawan di Isybilah (Sevilla) wafat, kitab-kitabnya di jual ke Cordova. Di sana pasti laku. Tapi jika ada orang yang wafat di Cordova, harta peninggalannya dijual di Isybilah, sebab di sana pasti laku”.
Dua tokoh itu adalah cendikiwan muslim cemerlang. Kepakaran dan penguasaan mereka dalam berbagai cabang ilmu menjadi bukti pencapaian luar biasa Islam pada abad itu. Pakar-pakar kenamaan di Cordova berusaha membentuk keluarga intelektual sehingga capaian yang telah mereka gapai diraih oleh anak cucunya.
Itu menjadi kebanggan tersendiri bagi mereka. Masyarakat dan para ulama di Cordova menyebut Ibnu Rusydi al-Jid (kakek), Ibnu Rusydi al-Ibnu (anak), Ibnu Rusydi al-hafid (cucu). Untuk membedakan antara kakek anak dan cucu, yang sama-sama di panggil Ibnu Rusydi. Demikian juga untuk menyebut keluarga intelektual lainnya. Ibnu Zuhri misalnya. Mereka menyebut Ibnu Zuhri al-Ashgar untuk membedakan dari Ibnu Zuhri al-Hafid.
Pantaslah jika ulam berkata; “Bukanlah lelaki sejati orang yang berkata: “Inilah ayahku yang terhormat. Lelaki sejati adalah orang yang berkata: “inilah aku yang berkepribadian dan berkemampuan”.