Bid'ah Dalam Dzikir Bersama Sesudah Shalat
Dzikir bersama-sama dengan suara keras sesudah shalat hukumnya sunat, karena dengan dzikir bersama ini hati menjadi lebih bersemangat, ...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2011/11/bidah-dalam-dzikir-bersama-sesudah.html?m=0
Dzikir bersama-sama dengan
suara keras sesudah shalat hukumnya sunat, karena dengan dzikir bersama ini
hati menjadi lebih bersemangat, dan menjadi tentram.
Diriwayatkan dari Abdullah
bin Abbas –radhiyallahu 'anhuma--, beliau berkata: "Sesungguhnya
mengeraskan suara ketika berdzikir setelah selesai shalat maktubah terjadi pada
masa Nabi –shallallahu 'alayhi wa sallam—"[1].
Beliau juga berkata: "Aku mengetahui shalat Nabi –shallallahu 'alayhi wa
sallam—telah selesai dengan takbir"[2].
Al-Hafidz Ibnu Hajar
Al-'Asqalani –rahimahullah—dalam Fathul Bari; 2/325 mengatakan bahwa dalam
hadits di atas terdapat dalil diperbolehkannya mengeraskan suara saat dzikir
sesudah shalat.
Orang yang tidak sependapat
dengan pendapat ini tidak perlu diperhatikan, meskipun mereka berhujjah dengan
hadits:
أربعوا
على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائب – الحديث
Disebabkan hadits ini turun
dalam masalah larangan mengeraskan suara dzikir di jalan di tengan perjalanan. Sedangkan
hadits Ibnu Abbas di atas khusus menjelaskan dzikir sesudah shalat. Perbedaan sangat
jelas.
Kalaupun mereka berhujah
dengan pendapat ulama, maka sesungguhnya Al-Imam As-Syafi'i berkata: "Jika
hadits itu shahih, maka itu adalah madzhabku", dan seperti yang dijelaskan
di atas bahwa hadits mengeraskan dzikir adalah hadits shahih terdapat dalam
shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Ibnu Taimiyah
Al-Harrani dalam Al-Fatawa Al-Kubra; 5/38 mengatakan: "Membaca idarah
adalah baik menurut mayoritas ulama. Diantara membaca idarah ialah membaca bersama-sama
dengan satu suara".
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam
I'lam al-Muwaqi'in; 2/289 mengatakan: "diataranya adalah ketetapan nabi –shallallahu
'alayhi wa sallam— terhadap masalah mengeraskan suara dzikir setelah salam,
sekira orang yang di luar masjid dengan suara itu dapat mengetahui selesainya
shalat dan Nabi tidak mengingkarinya".
Diantara hadits-hadits lain yang
menunjukkan sunatnya berdzikir bersama-sama dengan suara keras adalah:
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu
anhu—ia berkata, sesungguhnya Rasulullah –shallallahu 'alayhi wa sallam—bersabda:
أنا عند
ظن عبدي بي ، وأنا معه إذا ذكرني ، فإن ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي ، وإن ذكرني
في ملأ ذكره في ملأ خير منهم[3]
Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar
(Fathul Bari; 13/387), berdasarkan jawaban sebagian ahlussunnah bahwa yang
dimaksud al-mala' (golongan) yang lebih baik dari pada golongan orang yang
berdzikir ialah para nabi dan para syuhada, dimana mereka hidup di sisi Tuhan
mereka. Dan dzikir dalam al-mala' dilakukan dengan suara keras.
Dari Abdullah bin Zubair –radhiyallahu
anhuma—ia berkata bahwa ketika Rasulullah –shallallahu 'alayhi wa sallam— salam
dari shalatnya ia berkata dengan suara tinggi:
لا إله
إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو علي كل شيء قدير ، ولا حول ولا
قوة إلا بالله ، ولا نعبد إلا إياه له النعمة ، وله الفضل ، وله الثناء الحسن لا
إله إلا الله مخلصين له الدين ولو كره الكافرون[4]
Adapun hadits:
لا يشوش
قارئكم على مصليكم
"pembaca kalian jangan sampai membuat bingun orang yang shalat"
adalah hadits maudlu' dan
tidak bersanad. Dalam Kasyful Khafa' (2/527 nomor: 3149) disebutkan bahwa
An-Najm berkata; "tidak diketahui dengan lafadz tersebut".
Dalam masalah ini Syaikh
Sulaiman bin Sahman An-Najdi al-Hanbali (w: 1348 H) dalam kitab "Tahqiq
al-Kalam fi masyru'iyah al-jahr bidz dzikr ba'das salam", hal. 48
mengatakan. "hadits shahih tentang sunatnya mengeraskan bacaan dzikir
sesudah shalat fardlu tidak membuat bingung orang lain. Sebaliknya orang yang
mengatakan bahwa dzikir ini membuat bingung orang lain, bahkan terbilang
sebagai perkara yang paling batil dan paling munkar".
Dari hadits-hadits dan penjelas
ulama di atas dapat diketahui bahwa dzikir bersama-sama dengan suara keras
sesudah shalat adalah sunnat, tidak makruh jauh dari sebutan bid'ah. Wallahu
A'lam. (*)
Footnotes
[1] Diriwayatkan Oleh Al-Bukhari; 2/324 (Hamisy
kitab Fathul Bari). Muslim meriwayatkannya dalam Shahihnya; 1/410.
[2] Diriwayatkan Al-Bukhari; 2/325 dan Muslim;
1/410
[3] HR. Al-Bukhari; 13/384 dan Muslim; 4/2068
[4] HR. Imam Syaf'i dalam Al-Um (1/110),
Al-Baihaqi dalam Ma'rifah as-sunan wal Atsar (3/106), Al-Baghawi dalm Syarh
As-Sunnah (3/226). Dalam Shahih Muslim (1/415 nomor 594) tanpa menyebutkan
lafadz "bi shautihil a'la/dengan suara tinggi", namun bisa dimaknai
demikian, sebab Abdullah bin Zubair ketika itu bersama dengan anak-anak kecil
di shaf terakhir. Bagaimana ia bisa mendengar ucapan nabi kalau nabi tidak
membacanya dengan suara keras.