Sunnah - Syiah Bersatu: Mungkinkah?
Sebagaimana pernah disiarkan pers, tanggal 4 Juli 2003 silam serangan bom, untuk kesekian kalinya telah mengguncang Pakistan. Diduga dila...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/11/sunnah-syiah-bersatu-mungkinkah.html?m=0
Sebagaimana pernah disiarkan pers, tanggal 4 Juli 2003 silam serangan bom, untuk kesekian kalinya telah mengguncang Pakistan. Diduga dilakukan oleh Muslim Sunni garis keras di kota kecil Quetta, dan diperkirakan telah menewaskan 47 jiwa dan mencederai 65 orang lain dari sekte Muslim Syi'ah. Dan begitulah kemudian tragedi lain menyusul diberbagai negara seiring dengan infiltrasi paham syiah yang semakin deras. Konflik Sampang di Madura, Indonesia, Penyerangan Pondok YAPI di Bangil, konflik Dammaj, Yaman, serta serangkaian ledakan bom di beberapa kota di Irak, telah menelan korban jiwa yang tidak sedikit, belum lagi kerugian materi yang tidak dapat dihutung jumlahnya. Kasus ini seakan telah melahirkan 'teori baru', bahwa radikalisme Islam ternyata tidak saja menjadikan non Muslim sebagai target kekerasan, tetapi kini juga sesama Muslim.
Tragedi yang sudah terjadi beberapa kali ini merupakan akibat polarisasi berkepanjangan antara Sunni-Syi'i, terhitung sejak 'ekspor' Revolusi Iran yang digaungkan oleh Ayatullah Khomeini karena euforia kemenangan revolusi (1979) yang 'dosis'nya berlebihan itu. Saling balas dari masing-masing kubu sering terjadi, dan telah menelan banyak korban sia-sia. Dalam catatan kepustakaan tidak semua sekte Syi'ah revivalis berperilaku stereotip seperti Khomeini pasca revolusi itu. Namun Syi'ah modern di bawah Ayatullah ini, mengingatkan kembali stigma sejarah Syi'ah di bawah Dinasti Shafawi yang menekan kaum Sunni di Iran. Dimasa awal kekuasan tiran Shafawi yang didukung ulama Syi'ah, kaum Sunni dihadapi secara opresif-represif, kecuali mereka yang tentu saja sudah melakukan konversi (eksodus) ke pangkuan Syi'ah. Dan memang pada waktu itu banyak Sunni awam yang berpindah ke aliran sekte tersebut.
Akibatnya, di grass-root umat telah terjadi kristalisasi truth claim (klaim kebenaran). Pihak Syi'ah merasa teologi yang dianutnya mutlak paling benar sendiri. Didukung da'i-da'i kilat yang militant lulusan Qom, lantas mereka mencoba dengan berbagai metode, mendiskulifikasi akidah Sunni. Maka yang terjadi selama ini adalah 'perang teologi'. Propagandis-propagandis Syi'ah yang dilengkapi 'ilmu jidal' sekadarnya; didukung buku- buku euforia revolusi, dan terjemahan pengarang Iran khususnya mengenai filsafat dan pemikiran, rupanya sempat berhasil merekrut sejumlah pemeluk dari kalangan Sunni awam. Inilah yang kemudian menjadi sumber konflik antara dua faham yang diametral dan antagonistis itu.
Agaknya konversi Sunni ke dalam aliran Syiah ini, kemudian direspons Sunni sebagai suatu pembelotan yang harus diberi sanksi dan pembalasan. Karena itu, pembelot Sunni itu kemudian juga larut dan ikut dalam mendiskualifikasi para sahabat, isteri-isteri Nabi (kecuali Khadijah, yang melahirkan Fatimah, suami 'Ali) dan ulama Sunni lainnya.
Maka inilah akar permasalahan yang memicu polarisasi radikal. Dari catatan yang ada, pihak Syi’i sering membalas pemboman itu dengan teror pembunuhan yang sama, dan kemudian diklaimnya sebagai 'jihad melawan kezaliman terhadap ahlul bait' menurut versi Syi'ah. Fanatisme kedua kubu yang amat berlebih-lebihan ini sudah pernah diprediksi oleh Sayidina 'Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah sendiri. Dalam salah satu pitutur beliau yang dimuat Nahjul Balaghah dikatakan:
"Celakalah dua golongan yang meresponsku kelak. Pertama mencintaiku secara berlebih-Iebihan, sedang yang kedua membenciku secara keterlaluan!".
Ada yang mengidentifikasi, bahwa yang mencintai berlebihan itu sekarang adalah Neo-Syi'ah, sedang yang membenci secara keterlaluan itu adalah Neo-Khawarij. Disebut neo (baru) karena aliran ini memang menemukan bentuknya sendiri yang berbeda dengan genre pendahulunya
Karena itu perlu ada rumusan ukhuwah yang kongkret. Akan tapi dalam realitas sekarang kedua pihak yang berhadapan-hadapan ini rasanya sulit disatukan karena memang sepanjang perjalanan sejarah, belum pernah ditemukan adanya persatuan atau ukhuwah sungguhan antara Ahlus Sunnah dan Syi'ah.
Kesadaran untuk memahami hal ini kiranya perlu dibangun agar tidak menjebak umat masuk dalam perangkap ukhuwah yang semu. Atau berupa tawaran yang absurd dan sebetulnya sulit diwujudkan. Dalam kondisi yang seperti ini, maka cita-cita untuk menyatukan keduanya barangkali akan tetap sebagai suatu ilusi belaka. Jika toh itu terjadi, mungkin hanya bisa 'dipaksakan' paling-paling akan berlangsung dalam kepura-puraan semata. Apalagi ada doktrin di pihak Syi' ah yang mengusung sikap taqiyah (menyembunyikan keyakinan sesungguhnya) kepada 'lawan'.
Mengapa demikian? Karena memang hakikatnya kedua faham teologi ini berbeda 'meja'. Kedua a1iran tersebut sulit dikompromikan karena memiliki perbedaan prinsipal yang mustahil disatukan. Ahlus Sunnah wal jamaah (selanjutnya disebut Sunnah) mengatakan bahwa sepeninggal Nabi tidak ada lagi lanjutan sistem nubuwwah dan kenabian. Karena beliaulah Nabi dan Rasul terakhir, dan tak ada pula yang boleh 'menyekutukan' Rasul terakhir ini dengan yang lain atau pun menyamainya. Tidak ada nash ataupun wasiat yang menunjuk pengganti beliau secara jelas dan tegas orang per orang, dengan menafikan syura dan bai'ah sebagai prosedur legitimasi. Sebab jika dicermati, Nabi sendiri yang ditunjuk dan dipilih Allah, legitimasi kepemimpinannya diterima dengan bai'ai umat. Jika kemudian Nabi kala itu menunjuk langsung penggantinya seperti model dinasti kerajaan tanpa syura, niscaya wacana itu akan mengemuka. Dan para sahabat penerus dakwah Nabi tinggal melanjutkannya.
Oleh karena itu sepeninggal beliau, masa depan umat itu diserahkan kader-kader hasil didikan Nabi sendiri melalui syura dan bai'ai. Sunnah yang menggunakan prosedur politik ini dituduh Syi'ah telah meninggalkan nash llahi (al-Quran) dan wasiat Nabi (Sunnah/Hadits). Belakangan hari oleh Syi'ah diyakini: karena Ali tidak terpilih di Saqifah Bani Sai'dah, maka dinilai telah terjadi penyimpangan.
Secara de jure Sayidina 'Ali RA memang memiliki kualifikasi yang sarna dengan pembesar sahabat yang lain, namun dalam kenyataan (de facto) Sayidina Ali tidak mendapat dukungan mayoritas perwakilan (tokoh sahabat). Maka inilah realitas pemilihan khalifah pertama yang mutlak ditolak Syi'ah Ithna 'Asyariyah. Namun ketika Ali berbai'at pada khalifah pertama, perdebatan politik itu segera selesai. Tetapi setelah Al-Husain putra beliau dibantai secara sadis di Karbala oleh pemerintahan tiran klan Umayyah, wacana penolakan atas sistem khalifah dan tuntutan Syi'ah kembali dimunculkan. Begitulah secara transformatif, sampai kini mereka menolak semua riwayat para sahabat yang dinilai tak memilih 'Ali. Dan itu mewariskan permusuhan yang panjang di dalam tubuh umat, hingga menimbulkan pertanyaan: “Bagaimana bersatu jika standar untuk menyatukan tidak sama”.
Seperti secara absolut diyakini sampai kini, bahwa penerus nubuwah itu adalah mutlak imamah berdasarkan nash (teks) dan wasiat (testament) Nabi sendiri. Bersumber dari esensi suksesi setelah kenabian inilah hakikatnya yang menjadi sumber ketegangan Sunni dan Syi'i sepanjang masa. Perbedaan yang tajam ini pernah dilukiskan oleh H. Syu'bah Asa (penerjemah Kitab Hadis Bukhari) lebih jauh ketimbang perbedaan antara Katolik dan Protestan.
Konflik internal keumatan ini begitu lama terjadi karena kekakuan pihak Syi'ah (terutama Syi'ah Ithna 'Asyariah Jajariyah, untuk membedakan dengan Syi' ah Zaidiyah yang kompromistis dengan Sunni). Sulit dicarikan solusi untuk bersatu kecuali keduanya harus 'berpisah' dalam wadah yang berbeda seperti yang terjadi di Libanon: ada Islam Sunni dan Islam Syi'i. Di Pakistan jika dibiarkan umat pun akan terbelah seperti itu. Juga tak terkecuali di Indonesia, jika dialog kedua pihak ini ditabukan, dan kalaupun diadakan tidak secara transparan, maka tidak mustahil akan menimbukan konflik yang massif. Di Brunei sejak dua dasawarsa lampau sudah ada 'revans' atas kezaliman penguasa Shafawi' terhadap Sunni, sehingga secara resmi faham ini dilarang mutlak.
Di bawah tanah, militansi dibangun. Konon karena ada doktrin, bahwa bukan pemeluk Syi'ah jika tidak ditekan, Al-Husain saja dibantai, masih mending jika ditekan. Doktrin inilah yang merasuk dalam keyakinan penganut Syi'ah hingga sekarang, mereka percaya Syiah yang baik itu harus dimusuhi. Militansi ini yang membuat rata-rata mereka tegar dengan klaim kebenarannya. Dan dakwah Syi' ah yang menciptakan dikotomi sahabat versus ahl al-Bayt, dan diskualifikasi terhadap para isteri Nabi terus digencarkan lewat buku-buku, kaset dan CD/DVD.
Tidak seorang pun yang dapat memprediksi: kapan konflik internal muslim ini berakhir. Jika Khomeinisme, sebuah faham ekslusif radikal masih tetap dipertahankan dan tidak dapat dikompromikan dengan Sunnah, maka itu akan terus menjadi momok ukhuwah dan solidaritas Islam Dunia. (Sumber)