Soedirman: Sang Jenderal Klenik
Kepercayaan dan kegemaran Soedirman pada supranatural tak hanya terjadi saat gerilya, tapi juga dalam diplomasi formal dengan Belanda. Mu...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/11/soedirman-sang-jenderal-klenik.html?m=0
Kepercayaan dan kegemaran Soedirman pada supranatural tak hanya terjadi saat gerilya, tapi juga dalam diplomasi formal dengan Belanda. Muhammad Roem punya kisah menarik tentang klenik Soedirman. Syahdan, suatu pagi beberapa hari menjelang perundingan Renville di Yogyakarta pada 17 Januari 1948, Roem dipanggil Presiden Sukarno.
Majalah Tempo, Senin 12 November 2012 menurunkan edisi khusus Jenderal Soedirman, Bapak Tentara dari Banyumas. Presiden meminta Ketua Delegasi Indonesia dalam perundingan itu menemui Soedirman di rumahnya. "Sebagai ketua delegasi, jiwa Saudara harus diperkuat," kata Presiden. "Temuilah segera Panglima Soedirman." Meski awalnya menolak, Roem, yang tak mengerti urusan klenik, menuruti saran itu.
Di rumahnya, Soedirman sudah menunggu. Sang Panglima ditemani seorang anak muda yang ia kenalkan kepada Roem sebagai "orang pintar". Rupanya, anak muda yang dikenal Roem tak punya pekerjaan tetap itu yang akan "memperkuat jiwa" Menteri Dalam Negeri ini. Dukun itu kemudian memberinya secarik kertas. "Jimat ini tak boleh terpisah dari Saudara," kata Soedirman. "Kalau hilang, kekuatannya bisa berbalik. Jagalah sebaik-baiknya."
Jimat itu menemani Roem menghadapi delegasi Belanda yang keras kepala tak mau hengkang dari Indonesia. Seorang diplomat Amerika Serikat yang jadi penengah rundingan itu memuji Roem dan delegasi Indonesia. "Saya sudah kesal karena Belanda begitu legalistik, tapi kalian bisa melawannya dengan legalistik juga. You are wonderful," katanya, seperti ditulis Roem dalam Jimat Diplomat. Roem, lulusan Rechts School (Sekolah Hukum) di Jakarta, hanya mesem sambil meraba jimat itu di saku celananya.
Akan tetapi, cerita paling absurd yang pernah didengar anak bungsunya, Mohamad Teguh Sudirman, adalah kisah seorang santri dari Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kepadanya, santri itu menceritakan kisah gurunya yang ikut bergerilya bersama Soedirman. Dalam sebuah pertempuran sengit, menurut santri itu, Soedirman menjatuhkan pesawat Belanda dengan meniupkan bubuk merica. Teguh berkomentar, "Gila, ini tak masuk nalar."
Sumber: http://www.tempo.co