Tafsir Birra'yi: Tafsir Sekehendak Hati
Tafsir secara lughat bermakna menjelaskan. Secara istilah tafsir ialah menjelaskan firman Allah atau sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/11/tafsir-birrayi-tafsir-sekehendak-hati.html?m=0
Tafsir secara lughat bermakna menjelaskan. Secara istilah tafsir ialah menjelaskan firman Allah atau sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atsar shahabat, kaidah-kaidah sastra atau kaidah-kaidah aqliyah. Pada perkembangan selanjutnya tafsir diungkapkan untuk usaha memberi penjelasan terhadap firman Allah dalam al-Quran. Al-Jurjani mengatakan tafsir ialah menjelaskan makna, keadaan dan kisah ayat Al-Quran, dan sebab diturunkannya ayat itu dengan menggunakan lafadz yang memberi petunjuk kepada ayat tersebut secara dzahir. Penjelasan ayat ini dapat menggunakan bahasa Arab atau bahasa lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menafsiri al-Quran dengan pendapat sendiri (tafsir birra’yi). Beliau bersabda:
من قال في القرآن برأيه أو بما لا يعلم فليتبوأ مقعده في النار (رواه أبو داود والترمذي)
“Barang siapa berbicara tentang al-Quran dengan pendapatnya, atau dengan sesuatu yang tidak ia ketahui, maka hendaknya ia mempersiapkan tempat duduk di neraka”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وأن تقولوا على الله ما لا تعلمون (الأعراف 33)
“Dan Allah (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-A’raf: 33)
Sebenarnya Allah telah membebankan tugas menjelaskan Al-Quran kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui firmanNya:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ (النحل: 44)
“dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. (QS. An-Nahl: 44)
Oleh sebab itu, barang siapa mencari penjelasan Al-Quran tanpa berdasar sunnah nabawiyah, maka ia akan jauh dari kebenaran dan tersesat dari jalan yang lurus. Dalam hadits riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i Rasulullah bersabda:
من تكلم في القرآن فأصاب فقد أخطأ
“Barang siap berbicara tentang al-Quran dengan dasar pendapatnya, lalu benar, maka sungguh ia telah salah”.
Ibnu ‘Athiyah memberikan gambaran hadits ini. Beliau mengatakan bahwa makna hadits ini ialah ada seseorang yang ditanya tentang makna al-Quran, lalu ia menjelaakannya dengan pendapatnya sendiri tanpa memperhatikan pendapat para ulama dan pedoman-pedoman ilmu nahwu dan ushul.
Al-Qurthubi mengatakan bahwa hadits ini shahih dan merupakan hadits pilihan sekian banyak ulama. Maka orang yang mengatakan sesuatu tentang Al-Quran dengan dasar pemahaman sendiri, atau berdasar apa yang spontan mucul dalam pemikirannya tanpa melakukan pencarian dalil (istidlal) dengan kaidah ushul, maka ia telah salah.
Untuk mengetahui apa dan bagaimana tafsir birra’yi yang dilarang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka berikut ini akan dibeberkan beberapa bentuk penafsiran yang termasuk dalam larangan Rasulullah tersebut.
Pertama: Seseorang yang mempunyai sebuah pendapat, keyakinan atau doktrin yang sangat ia yakini berdasarkan kecenderungan tabiat dan hawa nafsunya, lalu ia menggunakan ayat-ayat al-Quran dan menjelaskannya dengan penjelasan yang sesuai dengan pendapat tersebut. Kalau seandainya kecenderungan tabiat dan hawa nafsu tersebut tidak ada dalam dirinya, maka ia tidak akan menjelaskan al-Quran dengan penjelasan tersebut.
Bentuk penafsiran semacam ini terkadang berdasarkan ilmu yang memadai, seperti orang yang berhujjah dengan ayat-ayat al-Quran sekadar untuk membenarkan bid’ah yang ia lakukan, padahal ia tahu bahwa makna kandungan ayat tersebut tidak seperti apa yang ia jelaskan. Tujuan utama melakukan hal ini hanya semata-mata untuk membuat lawan debat atau orang-orang yang tidak sependapat dengannya mau menerima.
Kadang-kadang penafsiran semacam ini berdasar ketidaktahuan. Seperti adanya ayat yang mempunyai beberapa makna. Akibat minimnya ilmu yang dimilikinya, ia memahami bahwa ayat tesebut sesuai dengan pendapatnya.
Kedua: Seseorang yang mempunyai tujuan dan pendapat yang dibenarkan. Lalu ia menggunakan al-Quran untuk dijadikan hujjah. Tetapi sebenarnya ayat tersebut bukan menjadi dalil pendapatnya. Ia memberikan makna yang terlampau jauh dari ayat al-Quran yang ia gunakan.
Ketiga: Terburu-buru menafsiri Al-Quran dengan memberikan makna dzahir ayat tanpa mencari informasi jelas yang berdasar pada riwayat-riwayat yang shahih. Penafsiran semacam ini biasanya terjadi ada lafadz-lafadz al-Quran yang tidak mempunyai kejelasan makna (mubham), adanya takhsir (pemendekan), idlmar (penyimpanan lafadz), ta’khir (pengakhiran lafadz) dan hadzf (pembuangan). Orang yang memberi makna dzahir ayat al-Quran hanya berdasar kemampuannya dalam bahasa Arab, maka akan terjadi banyak kesalahan dan termasuk golongan mereka yang menafsiri al-Quran dengan pendapat sendiri. Wallahu A'lam