Taqiyah Menurut Syiah dan Ahlussunnah
Pada Kamis 14/02/2013, Himpunan Pelajar Indonesia (HPI) Iran menyelenggarakan diskusi bertema “ Konsep Tabligh dalam Dimensi Keindonesiaa...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2013/04/taqiyah-menurut-syiah-dan-ahlussunnah.html?m=0
Pada Kamis 14/02/2013, Himpunan Pelajar Indonesia (HPI) Iran menyelenggarakan diskusi bertema “Konsep Tabligh dalam Dimensi Keindonesiaan”. bertempat di Universitas Imam Khomeini, kota Qum Iran. Salah satu pembicara, Hendar Yusuf, menyampaikan makalah berjudul “Konsep Taqiyah dalam Islam” (hidayatullah.com 19/02/2013).
Menurut pemakalah, ajaran taqiyah memiliki landasan al-Qur’an dan hadis. Ia menyitir surat al-Nahl ayat 106: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” Bahkan, tambah dia, taqiyah tidak sekedar boleh, tapi itu penting dalam berdakwah. Karena dapat mendukung dalam penyebaran dakwah. Melindungi jiwa raga, agama dari marabahaya.
Taqiyah Syiah: Rukun Agama
Taqiyah adalah merahasiakan keyakinan dari para lawan yang bisa merugikan agama dan jiwanya. Ali Muhammad al-Syalabi menerangkan, dalam Syiah ada empat unsur pokok ajaran taqiyah;
Pertama, menampilkan hal yang berbeda dari apa yang ada dalam hatinya. Kedua, taqiyah digunakan dalam berinteraksi dengan lawan-lawan Syiah. Ketiga, taqiyah berhubungan dengan perkara agama atau keyakinan yang dianut lawan-lawan. Keempat, digunakan di saat berada dalam kondisi mencemaskan (Ali Muhammad al-Syalabi, Fikr al-Khawarij wa al-Syiah fi Mizan Ahlissunnah wal Jama’ah, hal. 311).
Posisi ajaran taqiyah dalam Syiah sangat esensial. Seperti kata al-Kulaini, penulis al-Kafi:
لا دين لمن لا تقية له
“Tidak beragama orang yang tidak menggunakan konsep taqiyah” (al-Kulaini,Ushul al-Kafi, jilid II, hal. 217). Karena itu, Ibnu Babawaih, tokoh besar Syiah klasik, berfatwa bahwa hukum menerapkan taqiyah itu wajib, seperti kewajiban menjalankan shalat.
Ia mengatakan; “Keyakinan kita tentang hukum taqiyah adalah wajib, barang siapa yang meninggalkan taqiyah sama halnya dengan meninggalkan shalat” (Ibnu Babawaihi, al-I’tiqadat, hal. 114).
Dalam keyakinan Syiah, taqiyah merupakan pilar-pilar utama agama. Taqiyah diserupakan dengan sembilan persepuluh dari agama mereka. Sementara rukun-rukun Islam dan kewajiban dalam Islam lainnya hanya sepadan dengan satu persepuluh. Ini artinya, taqiyah lebih utama daripada rukun Islam (lihat al-Kafi,juz II hal. 217, Badzlul Majhud juz II hal. 637).
Taqiyah Menurut Ahlussunnah
Berbeda dengan Syiah, Islam (Ahlussunnah) memberlakukan taqiyah terhadap orang-orang kafir. Dalam paradigma Islam, menyembunyikan keyakinan di hadapan orang kafir dibenarkan jika dalam kondisi darurat. Hukumnya boleh, tidak wajib.
Seperti dalam firman Allah swt: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar” (QS. Al-Nahl 106).
Dari ayat ini jelas terlihat perbedaannya dengan konsep Syiah. Seperti diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal, bahwa menyembunyikan keyakinan di hadapan orang kafir berlaku saat awal-awal Islam, sebelum umat Islam kuat. Adapun sekarang, Allah memberikan kemenangan kepada umat Islam. Sehingga hendaknya mereka tidak merasa takut lagi (Imam al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, jilid IV hal. 57).
Dalam Islam (Ahlussunnah), taqiyah merupakan rukhshoh (dispensasi) ketika dalam kondisi darurat. Parameter darurat itu seperti digambarkan oleh Ibnu Mundzir; “Para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa kafir, saat keselamatan jiwanya terancam, kemudian mengucapkan kata-kata kufur, tapi hatinya tetap teguh keimannnya, demi menyelamatkan nyawa adalah diperbolehkan” (Ibn Hajar, Fathul Bari, 12 hal. 314).
Jadi, ada perbedaan mendasar antara taqiyah dalam Ahlussunnah dan Syiah. Ahlussunnah mensyaratkan dalam kondisi darurat. Darurat ini ukurannya seperti ukuran dalam fikih. Yakni nyawa terancam. Sedangkan Syiah, tidak ada syarat seperti itu. Bahkan merupakan kewajiban agama di tengah mayoritas golongan lain. Taqiyah dalam Syiah bukan dispensasi, tapi kewajiban asasi.
Kaum Sunni, meskipun hidup di tengah mayoritas orang kafir, selama tidak dalam kondisi terancam nyawa mereka, tidak boleh menyembunyikan identitas. Tidak ada anjuran berdakwah dengan taqiyah, sebagaimana Syiah. Syiah bahkan menjadikannya kewajiban kolektif.
Justru Islam mengajarkan keberanian. Seperti dikatakan oleh Ibn Bathal, bahwa para ulama’ Ahlussunnah yang mendasarkan konsep taqiyah berdasarkan al-Qur’an dan Hadis, bersepakat bahwa jika seorang Muslim dipaksa kafir, kemudian si Muslim tetap teguh menampakkan keimannnya, sehingga mengakibatkan ia dibunuh orang kafir. Maka baginya pahala yang besar di sisi Allah swt (Ali Muhammad al-Syalabi, Fikr al-Khawarij wa al-Syiah fi Mizan Ahlissunnah wal Jama’ah, hal. 319).
Dengan demikian, konsep taqiyah di dalam Syiah lebih cenderung kepada ajaran kemunafikan. Sebab, diajarkan untuk menjadi karakter pribadi, tanpa ada rukhshoh. Karena itulah, Syiah dinilai sangat eksklusif dan tertutup.
Mengancam Ukhuwah
Menurut Prof. Dr. Mohammad Baharun, topeng taqiyah Syiah menjadi masalah dalam interaksi dengan Ahlussunnah. Dakwah Syiah yang menggunakan taqiyah kerap mengelabui umat. Menurut Baharun, banyak pengikut Syiah tidak mengaku Syi’i secara konsekuen dan terang-terangan. Mereka Syi’i biwajhin Sunni(Syiah berwajah Sunni). Pengelabuan ini memiliki target khusus. Setelah mereka menguasai, baru menampakkan wujud aslinya (Mohammad Baharun, Tantangan Syiah terhadap Ahlussunnah, hal 108).
Faktor inilah yang menjadi sebab buntunya dialog Sunnah-Syiah. Selama ada pengelabuh dalam bentuk taqiyah, pasti konflik akan terus terjadi. Ketika duduk di meja dialog, mereka bertaqiyah, memakai wajah Sunni. Namun di saat yang lain, melakukan Syiahisasi secara massif. Jelas, cara-cara eksklusif tersebut menyulut ‘api’.
Di tengah meluasnya konflik Sunnah-Syiah, saran yang paling baik adalah kejujuran dan keterbukaan. Tidak perlu lagi memakai topeng taqiyah. Cara-cara taqiyah seperti diajarkan Syiah akan bisa mengkristal dalam bentuk amaliyah kolektif yang berpotensi memecah-belah umat. Tidak akan tercipta ukhuwah, jika berpura-pura menjadi Sunni, tapi kerjaannya di belakang mengkritik Sunni.
Ditulis Oleh : Kholili Hasib (Peniliti InPAS Surabaya)