Bid'ah Dalam Perspektif Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh alam ( rahmatan lil 'alamin ). Islam mengajarkan umatnya...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2011/03/bidah-dalam-pespektif-ahlus-sunnah-wal.html?m=0
Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil 'alamin). Islam mengajarkan umatnya untuk selalu bersatu dalam ukhuwah islamiyah, Hukum-hukum syariah terbentuk demi menjaga kekokohan persatuan umat ini, hingga kesalahan dan dosa yang dilakukan seorang muslim terhadap muslim yang lain dapat menghalangi Allah untuk mengampuni dosanya sebelum ia mendapat ampunan dari orang yang ia sakiti.
Dalam mendefinisikan muslim, Rasulullah SAW bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
"Muslim ialah seseorang yang mana orang-orang muslim selamat dari lisan dan tangannya". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini mengajarkan kita untuk tidak tergesa-gesa dalam mengeluarkan ucapan dan menggerakkan tangan yang ditujukan kepada muslim yang lain, hingga mengakibatkan ia merasa tersakiti.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman". (QS. Al Hujurat: 11)
Itulah larangan Allah kepada kita untuk tidak menjelek-jelekkan orang lain atau memanggilnya dengan panggilan yang jelek, apalagi panggilan yang mengarah kepada pengkafiran.
Namun, dengan dalih gerakan kembali kepada Al-Qur'an dan hadits, menghapus bid'ah, menghancurkan kemusyrikan, dan menghidupkan sunah-sunah Rasulullah SAW, sekelompok orang mengklaim dirinya sebagai yang terbenar, paling bertauhid, dan paling memegang teguh al-Quran dan Sunah. Kelompok ini juga mengklaim dirinya sebagai kelompok yang salafi, bahkan sebagai ahli hadits. Padahal mereka sama sekali bukan bagian dari para mujtahidin. Mereka semua hanya para muqallidin yang tidak mereka akui.
Kecongkakan yang dibalut dakwah ini akhirnya berdampak pada penghinaan, menjelek-jelekkan, pembid'ahan bahkan pengkafiran terhadap banyak umat Islam hanya disebabkan perbedaan dalam furu' yang sebenarnya tidak terlalu perlu untuk dipersoalkan. Dan yang lebih memprihatinkan penghinaan, menjelek-jelekkan, pembid'ahan dan pengkafiran itu juga ditusukkan kepada ulama-ulama terdahulu yang tentunya lebih baik kualitas dan kuantitas keilmuannya dari pada mereka. Sayyid Alwi al-Maliki memberi sindiran bahwa banyak orang yang salah paham dalam memahami sebab-sebab yang dapat mengeluarkan seorang muslim dari Islam, mereka tergesa-gesa dalam mengkafirkan muslim yang lain karena suatu perbedaan belaka, hingga tidak ada satupun orang-orang muslim di dunia ini kecuali sedikit.
Inilah kelompok spesialis yang memproduksi penghinaan, pencetak pembid'ahan, penyebar pengkafiran dan penerbit panggilan-panggilan buruk yang sebenarnya tidak layak disandangkan kepada seorang muslim yang bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad SAW utusan Allah. Bacalah buku-buku mereka, simaklah pengajian-pengajian mereka, dengarkanlah radio-radio mereka, lihatkan televisi-televisi mereka dan kunjungilah situs web dan blog mereka. Tiada pernah mereka lupa akan penghinaan, menjelek-jelekkan, pembid'ahan dan pengkafiran.
Salah satu menu utama kegiatan-kegiatan mereka adalah masalah bid'ah. Tulisan dalam kesempatan kali ini akan membahas bid'ah berdasar pandangan Ahlussunnah Wal Jamaah.
Apa Itu Bid'ah?
Bid'ah menurut lughat berarti sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya. Selaras dengan makna ini, firman Allah:
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
"Katakanlah: 'Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul". (QS. Al Ahqaf: 9)
Dalam "Lisan Al Arab" disebutkan, al mubtadi' ialah orang yang sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya, dan dialah orang yang memulainya. Allah berfirman :
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ
"Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah" (QS. Al Hadid: 27)
Secara istilah ta'rif bid'ah diperselisihnya oleh para ulama, disebabkan perbedaan pandangan dalam konsep dan pemahaman dalil. Sebagian ulama memahami dalil bid'ah dengan makna yang luas, hingga mencakup segala bentuk perkara baru baik dalam masalah ibadah maupun adat. Dalam kelompok ulama ini adalah Al-Hafidz Ali Bin Muhammad Bin Hazm. Beliau mengatakan bahwa bid’ah dalam agama adalah segala sesuatu yang tidak ada penjelasannya dalam al-Qur’an dan dalam sunnah Rasulullah SAW. Imam Nawawi pun demikian, beliau mendefinisikan bid’ah dengan mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah.
Jumhur ulama -termasuk para Imam di atas- membagi bid’ah menjadi dua; bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela). Bahkan Izzuddin bin Abdissalam membagi bid’ah menjadi lima sebagaimana pembagian hukum-hukum syara’. Namun intinya segala sesuatu yang baru jika tidak menyalahi sunnah Rasul, disebut mahmudah dan jika menyalahi sunnah Rasul maka disebut madzmumah.
Al Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari mengatakan bahwa pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka menjadi tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka menjadi baik dan jika termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima.
Pada dasarnya pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyi’ah tidak lain adalah pengertian bid’ah secara bahasa. Kita semua tidak meragukan bahwa bid’ah secara syara’ –yang merupakan tambahan (ziyadah) dalam agama dan dinisbatkan kepada syari’at- adalah perbuatan yang sesat (dhalalah) dan fitnah yang tercela, ditolak dan dibenci. Karena bid’ah secara syara’ diungkapkan untuk setiap perbuatan baru yang menyalahi nash-nash syari’ah. Oleh sebab itu, kita harus membawa hadits "semua bid’ah adalah sesat " untuk setiap sesutau yang baru dalam ruang lingkup syari’ah yang menyalahi nash. Adapun jika ia tidak menyalahi nash maka tidak masuk ke dalam cakupan hadits "semua bid’ah adalah sesat".
Kelompok ulama kedua mengartikan dalil secara sempit, sehingga menganggap semua bid'ah adalah sesat baik berupa ibadah maupun adat. Definisi inilah yang menjadi rujukan orang-orang yang suka mengkairkan itu. Al-Syatibi dalam kitabnya al-I’tisham membuat bid’ah menjadi dua definisi. Pertama, bid'ah ialah jalan yang ditempuh dalam mengamalkan agama, yang merupakan hal baru yang menyerupai syariat serta diniatkan mubalaghah (berlebih-lebihan) dalam beribadah kepada Allah swt. Definisi ini tidak memasukkan ‘adat (kebisaaan). Adapun definisi bid’ah yang memasukkan ‘adat ke dalam bid'ah dan ini adalah definisi bid'ah kedua menurut Al-Syarhibi, adalah suatu jalan yang ditempuh dalam mengamalkan agama, yang merupakan hal baru yang menyerupai syariat, serta di dalam pengamalannya dimaksudkan sesuai dengan apa yang dimaksudkan syariah. Contohnya ialah nadzar puasa berdiri menghadap matahari, dan mengurangi porsi makan dan kwalitas pakaian tanpa ada sebab. Kedua definisi ini yang sering digunakan kelompok yang merasa paling islam itu.
Kelompok ulama ini tidak mengakui pembagian bid'ah menjadi bid'ah hasanah dan bid'ah sayyi'ah. Dalam pandangan mereka tidak ada yang namanya bid’ah hasanah, karena semua bid’ah adalah dhalalah (sesat). Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan berkata bahwa barang siapa yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, maka dia telah berbuat suatu kesalahan dan menyalahi sabda Nabi “setiap bid’ah itu sesat”, Rasul menghukumi semua bid’ah sesat.
Dalil yang digunakan kelompok ini adalah:
Pertama, Firman Allah
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمْ الْإِسْلَامَ دِينًا
"Hari ini Aku menyempurnakan untuk kalian agama kalian. Dan Aku menyempurnakan bagi kalian nikmat-nikmatKu dan Aku meridloi Islam untuk kalian sebagai agama". (QS. Al Maidah: 3)
Menurut mereka melalui ayat ini Allah menginformasikan bahwa syariah telah sempurna sebelum Rasulullah SAW wafat. Maka tidak jika ada orang membuat sesuatu yang baru dalam syariah, karena penambahan tersebut merupakan usaha ralat terhadap apa yang telah disampaikan Allah dan RasulNya, serta menganggap syariah masih kurang.
Kedua; Semua hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan bid'ah, datang dengan mencela perbuatan bid'ah, salah satunya adalah hadits Al `Irbadh bin As Sariyah. Dalam hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah SAW memberikan nasihat yang dalam kepada para sahabat. Mendengar nasihat itu, banyak mata menangis dan banyak hati menjadi susah. Salah seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah! Tampaknya nasihat ini adalah nasihat orang yang akan berpisah. Apa (gerangan) yang akan Anda sampaikan kepada kami?". Rasulullah SAW bersabda:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ لِوُلَاةِ الْأَمْرِ , وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا , فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا , فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ , تَمَسَّكُوا بِهَا , وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ , وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ . فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ , وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
"Aku berwasiat kepada kalian dengan taqwa kepada Allah dan dengan mendengar dan taat kepada para penguasa (ulil amri), meskipun ia seorang budak habasyah. Sesungguhnya, barang siapa diantara kalian hidup sesudahku, maka ia akan melihat banyak perbedaan. Maka tetaplah pada sunnahku dan sunah Khulafa'ur Rasyidin. Berpegang teguhlah dengan sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham. Takutlah kalian akan perkara yang baru, sesunggunnya setiap perkara baru adalah bid'ah dan setiap bidah adalah tersesat".
Disamping al-Quran dan Sunnah, kelompok ini memperkuat pendapatnya dengan dawuh-dawuh sahabat seperti dawuh Abdullah bin Umar RA, seperti yang diriwayatkan oleh Mujahid, dia berkata bahwa dia bersama Ibnu Umar masuk ke sebuah masjid. Setelah adzan dan iqamah, lalu hendak shalat, Ibnu Umar keluar dan berkata, "Keluarlah bersama kami dari ahli bid'ah ini".
Sumber Perselisihan
Dari pengertian dan macam-macam bid'ah, yang menjadi sumber perselisihan adalah dalam memberikan ta'rif terhadap bid'ah berikut macam-macamnya, meskipun dasar pendefinisian hanya berdasar hadits :
كل بدعة ضلالة
"Setiap bid'ah adalah sesat"
Dengan berpegangan kepada redaksi dzahir hadits di atas kelompok yang tidak punya adab ini menyimpulkan bahwa semua bid’ah itu sesat, dan tidak ada yang namanya bid’ah hasanah dan lain sebagainya. Mereka memperlakukan hadits tersebut di atas keumumannya tanpa memperhatikan hadits-hadits yang lain dan tidak melihat kepada perbuatan dan perkataan para sahabat yang diyakini sebagai orang yang paling paham atas sabda-sabda Rasulullah SAW.
Dengan mudahnya mereka membawa keumuman hadits "kullu bid’atin dhalalah" terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at maupun yang tidak, dengan demikian berarti mereka telah mencampuradukkan kata bid’ah itu antara penggunaannya secara syar’i dan lughawi dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits tersebut hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari'at. Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Padahal jika kita memperhatikan nash-nash yang lain, maksud hadits tersebut tidaklah bermakna demikian, seseorang tidak bisa langsung memberikan kesimpulan atas suatu hadits tanpa melihat kepada hadits-hadits yang lain. Karena ada banyak hadits Nabi yang tidak bisa langsung kita pahami dan kita ambil suatu hukum darinya sebelum memperhatikan redaksi-redaksi hadits yang lain, dengan demikian hadits di atas merupakan suatu hadits yang masih memerlukan penafsiran. Jika hadits tersebut tidak ditafsirkan, maka dalam kehidupan kita sehari-hari selalu berlumuran dengan perbuatan-perbuatan bid’ah di mana semua hal tersebut tidak pernah ada pada zaman Nabi. Saw dan para sahabatnya.
Ketika dihadapkan pada realitas semacam ini para pelontar bid’ah kerap berkilah dengan dalil bahwa hal-hal baru yang disebutkan di atas adalah termasuk bid’ah duniawiyyah. Dan bid’ah seperti ini tidaklah sesat, karena yang sesat adalah bid’ah diniyyah (keagamaan). Dengan pernyataan seperti ini mereka telah berbuat suatu kesalahan mendasar karena telah memutuskan bahwa semua bid’ah duniawiyyah (dengan tanpa memberikan batasan) hukumnya boleh atau tidak sesat. Padahal sebenarnya kita masih memerlukan tafshil bahwa bid’ah duniawiyyah ada yang baik dan ada pula yang buruk sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang. Jika bid’ah duniawiyyah tidak ditafhsil maka akan menjatuhkan manusia dalam musibah dan keburukan yang besar.
Dengan jawaban seperti di atas mereka sebenarnya telah menunjukkan atas ketidak konsistenan pernyataan mereka sendiri, karena jika kita memaksakan hadits itu untuk diperlakukan secara umum (baaqin ‘ala ‘umumihi) maka semua hal baru baik dalam hal duniawiyyah maupun diniyyah adalah sesat. Di satu sisi mereka mengingkari pembagian bid’ah sebagaimana dijelaskan di atas dan mereka menyalahkan para ulama yang membagi bid’ah menjadi hasanah dan sayyi’ah, namun di sisi yang lain mereka sendiri membagi bid’ah menjadi duniawiyyah dan diniyyah. Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki menjelaskan bahwa orang yang menganggap pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyi’ah tidak ada dalilnya dari syari’at, maka kita katakan juga kepada mereka bahwa pembagian bid’ah menjadi diniyyah dan duniawiyyah itu merupakan suatu bid’ah (karena pembagian seperti ini juga tidak ada dalam istilah syari’at). Karena syari’ berkata ‘semua bid’ah itu sesat’ dengan mutlak.
Wallahu A'lam Bish Shawab