Kedudukan Sang Khaliq dan Makhluq
Perbedaan antara kedudukan Sang Pencipta dan Makhluk adalah batasan yang memisahkan antara kekufuran dan iman. Keyakinan Ahlussunnah wa...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2011/03/kedudukan-sang-khaliq-dan-makhluq.html?m=0
Perbedaan antara kedudukan Sang Pencipta dan Makhluk adalah batasan yang memisahkan antara kekufuran dan iman. Keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah adalah mencampuraduk kedua kedudukan tersebut akan mengakibatkan kekufuran. –wal `iyadzu billah--.
Bagi setiap kedudukan ada hak-hak khusus. Tetapi di sana terdapat masalah-masalah, terutama yang berhubungan dengan Rasulullah SAW, dan keistimewaan-keistimewaan beliau yang membedakan diri beliau dengan manusia dan mengunggulkan beliau atas yang lain. Masalah-masalah ini terkadang menjadi rancu bagi sebagian orang, akibat dangkalnya akal, lemahnya pikiran, terbatasnya pandangan dan buruknya prasangka. Hingga akhirnya ia mengkafirkan sebagian umat Islam dan mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam, karena menyangka bahwa mereka telah mencampuraduk kedudukan Sang Pencipta dan kedudukan makhluk, serta menganggap mereka telah mengangkat derajat Rasulullah kepada kedudukan Tuhan.
Kalangan Ahlussunnah wal Jamaah tahu apa yang wajib bagi Allah dan apa yang wajib bagi RasulNya. Ahlussunnah wal Jamaah juga tahu apa yang hanya menjadi hak Allah dan apa yang hanya menjadi hak RasulNya, dengan tanpa berlebihan dan pemujaan yang mencapai batas pensifatan Rasulullah dengan sifat-sifat uluhiyah.
Sebenarnya, sikap berlebihan dalam mencintai Rasulullah SAW, taat dan bergantung kepada beliau merupakan sikap terpuji, dan dianjurkan, sebagaimana hadits:
لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم
"Jangan kalian memujiku seperti umat Nasrani memuji Isa bin Maryam".
Arti hadits menyebutkan bahwa memuji Rasulullah SAW dan berlebihan didalamnya dengan sikap tidak seperti sikap umat Nasrani adalah terpuji. Jika arti hadits tidak demikian, maka yang dimaksud dalam hadits adalah larangan untuk mencintai dan memuji Rasulullah secara mutlak. Pernyataan ini tidak disampaikan oleh orang terbodoh di kalangan muslimin, karena Allah telah memberi pengagungan kepada Rasulullah serta memerintahkan kita untuk mengagungkannnya, sebatas tidak memberinya sifat-sifat Tuhan. Al-Bushiri mengatakan:
دع ما ادعت النصارى في نبيهم ** واحكم بما شئت مدحا فيه واحتكم
"Tinggalkan apa yang disangkakan umat Nasrani terhadap nabi mereka, dan berilah sifat sifat untuk Rasulullah sesuai keinginanmu".
Pengagungan terhadap Rasulullah SAW, dengan tanpa memberinya sifat-sifat Tuhan bukan merupakan bagian dari kekufuran, bahkan hal itu merupakan seagung-agung ketaatan dan taqarrub. Ini pun juga berlaku bagi orang-orang yang telah diagungkan Allah, seperti para Nabi, para Rasul, para malaikat, para syuhada' dan orang-orang yang shalih. Allah berfirman:
ذًلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ
"Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya". (QS. Al Hajj: 30)
Ka'bah, Hajar Aswad, dan Maqam Ibrahim adalah sebongkah batu. Tetapi Allah telah memerintahkan kita mengagungkannya, semisal dengan cara thawaf, mencium hajar aswad, berdoa di pintu Ka'bah dan Multazam. Ketika kita lakukan semua itu, kita tidak menyembah kecuali kepada Allah SWT, dan tidak berkeyakinan adanya manfaat atau bahaya di dalam benda-benda itu.
Tentang Rasulullah SAW, Ahlussunah wal Jamaah mengatakan, beliau adalah manusia, yang dimungkinkan mengalami hal-hal yang sama dengan yang lain, sebatas tidak mengurangi kedudukan beliau dan mengakibatkan umat lari dari beliau. Pengarang Aqidatul Awam mengatakan :
وجائز في حقهم من عرض ** بغير نقص كخفيف المرض
"Jaiz bagi mereka (nabi dan para utusan) menemukan hal-hal yang bersifat manusiawi dengan tanpa mengurangi derajat beliau, seperti sakin yang ringan".
Beliau adalah hamba yang tidak mempunyai manfaat dan bahaya, tidak pula memberi kematian dan kehidupan. Beliau telah menyapaikan risalah, menyampaikan amanah, menasihati umat, membuka kesusahan, dan berjuang dalam jalan Allah. Beliau pun kembali kepada Allah, ridha dan diridhai Allah.
Maka, dari sini jelas, bahwa memberinya sifat manusia harus disertai sikap yang dapat membedakan diri beliau dengan manusia pada umumnya, dimana hal ini bersifat umum bagi semua nabi dan rasul, supaya padangan kita kepada mereka sesuai dengan kedudukan mereka. Karena menyamakan para nabi dan utusan dengan manusia pada umumnya adalah paham jahiliyah, seperti yang difirmankan Allah:
فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِثْلَنَا
"Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami". (QS. Hud: 27).
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ
"Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?". (QS. Al Furqan: 7)
Itulah diantara firman-firman Allah dalam Al-Qur'an yang menjadi saksi, bagaimana anggapan kaum Jahiliyah terhadap Nabi mereka. (Wallahu A'lam Bish Shawab)
Sumber: Huwa Allah, Karya Sayid Muhammad bin Alawi Al-Maliki