Masalah Niat Dalam Puasa Ramadhan
Puasa ramadlan tidak sah tanpa adanya niat, berdasarkan sabda Rasulullah SAW: إنما الأعمال بالنيات ، وإن لكل امرئ ما نوى “Sahnya ...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/07/masalah-niat-dalam-puasa-ramadhan.html?m=0
إنما
الأعمال بالنيات ، وإن لكل امرئ ما نوى
“Sahnya perbuatan
hanya dengan niat. Dan bagi seseorang apa yang ia niatkan”. (HR. Al-Buhkari dan
Muslim dari Umar bin Khathab).
Tidak sahnya puasa
tanpa niat juga disebabkan karena puasa adalah ibadah mahdlah (Ibadah
murni), seperti halnya shalat. Tidak seperti ‘iddah bagi wanita, membayar
hutang dan sejenisnya. Di sini niat tidak diperlukan karena bukan termasuk
ibadah mahdlah.
Keterangan di
atas adalah madzhab Imam As-Syafi’i, baik puasa wajib atau puasa sunnat, serta
tidak ada perpedaan pendapat di kalangan Syafi’iyah. Madzhab Syafi’iyah juga
menjelaskan bahwa tempat niat adalah hati. Mengucapkan niat puasa bukan
merupakan syarat, bahkan puasa tidak sah hanya dengan mengucapkan niat puasa
tanpa adanya niat dalam hati. Hukumnya mengucapkan niat adalah sunat seperti
dalam wudlu’ dan shalat.
Niat puasa wajib
dilakukan setiap hari, karena puasa dalam setiap hari adalah ibadah tersendiri
yang dimulai dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Satu hari puasa
tidak terpengaruh oleh batalnya puasa di hari sebelumnya atau sesudahnya. Hal ini
berlaku untuk semua jenis puasa, baik wajib atau sunah. Inipun tidak ada
perbedaan pendapat dikalangan Syafi’iyah. Dengan demikian jika seseorang niat
di malam pertama ramadlan untuk melakukan puasa selama satu bulan penuh, maka
puasa tidak sah kecuali untuk hari pertama saja.
Imam Malik
mengatakan bahwa jika seseorang niat pada malam pertama ramadhan untuk puasa
keseluruhan ramadhan, maka dianggap cukup dan sah serta tidak perlu memperbaharuinya
setiap malam, karena keseluruhan puasa ramadhan adalah satu ibadah, hingga
sekali niat saja sudah sah, seperti haji yang mempunyai beberapa pekerjaan dan
shalat dengan jumlah rakaatnya.
Puasa ramadlan,
begitu pula puasa wajib yang lain seperti puasa nadzar dan kafarah, tidak sah
dengan niat di siang hari. Niatnya harus dilakukan pada malam hari (tabyit
an-Niyah). Hal ini berdasarkan hadits Sayidah Hafshah binti Umar, isteri
Rasulullah SAW, bahwa Rasulullah bersabda:
من
لم يبيت الصيام من الليل فلا صيام له
“Barang siapa tidak melakukan niat puasa dimalam hari, maka
tidak ada puasa sah baginya”.
Hadits ini
diriwayatkan Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan lain-lain dengan
sanad yang berbeda-beda. Diriwayatkan pula dalam bentuk hadits marfu’, dan
mawquf dari riwayat Az-Zuhri dari Salim bin Abdillah bin Umar dari Ibnu Umar dari
Hafshah –radliyallahu anhum—dengan sanad shahih.
Sebagian ulama
Syafi’iyah mengatakan bahwa jika seseorang niat sebelum terbenam mata hari
kurang sedikit untuk puasa esok hari atau setelah terbitnya fajar lebih
sedikit, maka puasanya tidak sah. Jika niatnya bersamaan dengan terbitnya fajar
maka ada dua pendapat dan yang shahih adalah tidak sah.
Waktu niat puasa
dimulai dari terbenam matahari hingga terbit fajar. Segolongan ulama
berpendapat waktunya adalah separuh terakhir malam. Jika sudah melakukan niat
puasa lalu mengerjakan hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, jimak dan
lain-lain sementara fajar belum terbit,
maka hal ini tidak berakibat batalnya puasa dan tidak perlu memperbarui niat.
Niat puasa harus
ta’yin (jelas). Jika pada malam tanggal 30 sya’ban niat puasa seperti dengan “Jika
besok adalah tanggal 1 Ramadlan, maka saya niat puasa besok”, maka puasa tidak
sah, karena tidak adanya niat murni untuk puasa ramadlan dan masih adanya
keragu-raguan.
Niat yang
mencukupi untuk puasa ramadlan adalah :
نَوَيْتُ
صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى
Nawaytu showma
ghodin ‘an ada’i fardli romadloni hadzihis sanati lillahi ta’ala
Saya niat puasa
besok untuk melaksanakan kewajiban puasa ramadlan tahun ini karena Allah Ta’ala.
Lafadz “ramadlan”
dibaca “ramadlani” (nunnya dibaca kasroh) karena diidhafahkan pada hadzihis
sanah. Artinya “melaksanakan kewajiban puasa ramadlan tahun ini”. Dalam kitab Hasyiyah
al-Bajury ala Fathil Qarib, bila diucapkan “ramadlana” (nun dibaca fathah),
niat masih belum ta’yin (jelas) karena artinya adalah “melaksanakan kewajiban
puasa ramadlan (yang dilakukan) pada tahun ini”. Bisa jadi puasa yang diniati bukan
untuk melakukan kewajiban puasa ramadlan tahun ini, tetapi untuk tahun lalu dan
lain sebagainya.
Namun menurut
kalangan Syafi’iyah yang berasal dari daerah Khurasan, hal ini tidak
menyebabkan batalnya puasa, karena ini hanya kekeliruan penyebutan, tetapi pada
hakikatnya niat itu adalah untuk puasa besok untuk ramadlan tahun ini, bukan
untuk ramadhan tahun kemarin, apalagi untuk tahun depan.
Wallahu A’lam
Bish Shawab
Sumber: Al-Majmu’
Syarah al-Muhadzab