Pati Unus, Thariq bin Ziyad Versi Indonesia
Dalam tradisi Jawa, Pati Unus atau Adipati Unus atau Yat Sun (w=1521) adalah raja Demak kedua, yang memerintah dari tahun 1518 hingga 1...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/07/pati-unus-thariq-bin-ziyad-versi.html?m=0
Dalam tradisi Jawa, Pati Unus atau Adipati
Unus atau Yat Sun (w=1521) adalah raja Demak kedua, yang memerintah dari tahun
1518 hingga 1521. Ia adalah anak sulung Raden Patah, pendiri Demak.
Pati Unus dikenal juga dengan julukan
Pangeran Sabrang Lor (sabrang: menyeberang, lor: utara), karena
pernah menyeberangi Laut Jawa menuju Malaka untuk melawan Portugis di Malaka
Tersebut dalam Hikayat Banjar, nama
aslinya adalah Raden Surya Alam. Ia telah membantu Pangeran Samudera, penguasa
Banjarmasin untuk mengalahkan penguasa kerajaan Negara Daha yang berada di
pedalaman Kalimantan Selatan.
Dalam Suma Oriental-nya, Tomé Pires
menyebut seorang bernama "Pate Onus" atau "Pate Unus", ipar
Pate Rodim, "penguasa Demak". Mengikuti pakar Belanda Pigeaud dan De
Graaf, sejarahwan Australia M. C. Ricklefs menulis bahwa pendiri Demak adalah
seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po. Ricklefs memperkirakan bahwa anaknya
adalah orang yang dijuluki "Pate Rodim", mungkin maksudnya
"Badruddin" atau "Kamaruddin" (meninggal sekitar tahun
1504).
Menurut sebuah riwayat, ia adalah menantu
Raden Patah. Nama asli beliau Raden Abdul Qadir putra Raden Muhammad Yunus dari
Jepara. Raden Muhammad Yunus adalah putra seorang Muballigh pendatang dari Persia
yang dikenal dengan sebutan Syekh Khaliq Al-Idrus. Muballigh dan Musafir besar
ini datang dari Persia ke tanah Jawa mendarat dan menetap di Jepara di awal
1400-an masehi. Syekh yang bernama lengkap Abdul Khaliq Al Idrus bin Syekh
Muhammad Al Alsiy (wafat di Parsi) merupakan keturunan Nabi Muhammad dari jalur
Husein Bin Ali. Ibunya adalah Syarifah Ummu Banin Al-Hasani keturunan Hasan bin
Ali, bin Fatimah binti Rasulullah SAW.
Setelah menetap di Jepara, Syekh Khaliq
Al-Idrus menikah dengan putri seorang Muballigh asal Gujarat yang lebih dulu
datang ke tanah Jawa yaitu dari keturunan Syekh Mawlana Akbar, seorang Ulama,
Muballigh dan Musafir besar asal Gujarat, India yang mempelopori dakwah diAsia
Tenggara. Seorang putra beliau adalah Syekh Ibrahim Akbar yang menjadi Pelopor
dakwah di tanah Campa (di delta Sungai Mekong, Kamboja) yang sekarang masih ada
perkampungan Muslim. Seorang putra beliau dikirim ke tanah Jawa untuk berdakwah
yang dipanggil dengan Raden Rahmat atau terkenal sebagai Sunan Ampel. Seorang
adik perempuan beliau dari lain Ibu (asal Campa) ikut dibawa ke Pulau Jawa
untuk ditawarkan kepada Raja Brawijaya sebagai istri untuk langkah awal
meng-Islam-kan tanah Jawa. Raja Brawijaya berkenan menikah tapi enggan terang-terangan
masuk Islam. Putra yang lahir dari pernikahan ini dipanggil dengan nama Raden
Patah. Setelah menjadi Raja Islam yang pertama di beri gelar Sultan Alam Akbar
Al-Fattah.
Setelah Syekh Khaliq Al-Idrus menikah
dengan putri Ulama Gujarat keturunan Syekh Mawlana Akbar lahirlah seorang putra
bernama Raden Muhammad Yunus yang setelah menikah dengan seorang putri pembesar
Majapahit di Jepara dipanggil dengan gelar Wong Agung Jepara. Dari pernikahan
ini lahirlah seorang putra yang kemudian terkenal sangat cerdas dan pemberani
bernama Abdul Qadir yang setelah menjadi menantu Sultan Demak I Raden Patah
diberi gelar Adipati bin Yunus atau Pati Unus.
Sehubungan dengan intensitas persaingan
dakwah dan niaga di Asia Tenggara meningkat sangat cepat dengan jatuhnya Malaka
ke tangan Portugis pada tahun 1511, maka Demak mempererat hubungan dengan
kesultanan Banten-Cirebon yang juga masih keturunan Syekh Mawlana Akbar
Gujarat. Karena Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah adalah putra
Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Mawlana Akbar, sedangkan Raden Patah
seperti yang disebut dimuka adalah ibunya cucu Syekh Mawlana Akbar yang lahir
di Campa. Sedangkan Pati Unus neneknya dari pihak ayah adalah juga keturunan
Syekh Mawlana Akbar.
Hubungan yang semakin erat adalah ditandai
dengan pernikahan ke 2 Pati Unus, yaitu dengan Ratu Ayu putri Sunan Gunung Jati
tahun 1511. Tak hanya itu, Pati Unus kemudian diangkat sebagai Panglima
Gabungan Armada Islam membawahi armada Banten, Demak dan Cirebon, diberkati
oleh mertuanya sendiri yang merupakan Pembina umat Islam di tanah Jawa, Syekh
Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati. Gelar beliau yang baru adalah
Senapati Sarjawala dengan tugas utama merebut kembali tanah Malaka yang telah
jatuh ke tangan Portugis. Gentingnya situasi ini dikisahkan lebih rinci oleh
Sejarawan Sunda Saleh Danasasmita di dalam Pajajaran bab Sri Baduga Maharaja
sub bab Pustaka Negara Kertabhumi.
Tahun 1512 Samudra Pasai yang jatuh ke
tangan Portugis. Hal ini membuat tugas Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam
tanah jawa semakin mendesak untuk segera dilaksanakan. Maka tahun 1513 dikirim
armada kecil, ekspedisi Jihad I yang mencoba mendesak masuk benteng Portugis di
Malaka tapi gagal dan kembali ke tanah Jawa. Kegagalan ini karena kurang
persiapan menjadi pelajaran berharga untuk membuat persiapan yang lebih baik.
Maka direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal perang di
tanah Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal.
Pada tahun 1518 Raden Patah, Sultan Demak
I bergelar Alam Akbar Al Fattah mangkat, beliau berwasiat supaya mantu beliau
Pati Unus diangkat menjadi raja Demak berikutnya. Maka diangkatlah Pati Unus
atau Raden Abdul Qadir bin Yunus, menjadi Sultan Demak II bergelar Alam Akbar
At-Tsaniy.
Expedisi Jihad II
Memasuki tahun 1521, 375 kapal telah
selesai dibangun, maka walaupun baru menjabat Sultan selama 3 tahun Pati Unus
tidak sungkan meninggalkan segala kemudahan dan kehormatan dari kehidupan
keraton bahkan ikut pula 2 putra beliau yang masih sangat remaja dari
pernikahan dengan putri Raden Patah dan seorang putra lagi yang juga masih
sangat remaja dari seorang seorang isteri, anak kepada Syeikh Al Sultan Saiyid Ismail,
Pulau Besar, dengan risiko kehilangan segalanya termasuk putus nasab keturunan,
tapi sungguh Allah membalas kebaikan orang-orang yang berjuang di jalannya.
Armada perang Islam siap berangkat dari
pelabuhan Demak dengan mendapat pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh
Sunan Gunung Jati. Armada perang yang sangat besar dipimpin langsung oleh Pati
Unus bergelar Senapati Sarjawala yang telah menjadi Sultan Demak II. Dari sini
sejarah keluarga beliau akan berubah, sejarah kesultanan Demak akan berubah dan
sejarah tanah Jawa akan berubah.
Portugis sudah siap menyambut armada
perang Islam dengan puluhan meriam besar yang mencuat dari benteng Malaka.
Kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena
peluru meriam ketika akan menurunkan perahu untuk merapat ke pantai. Ia gugur
sebagai Syahid. Komando pasukan segera diambil alih Fadhlulah Khan (Falathehan/Fatahillah/Tubagus
Pasai) atas pesan Sunan Gunung Jati.
Sebagian pasukan Islam yang berhasil
mendarat kemudian bertempur dahsyat hampir 3 hari 3 malam lamanya dengan
menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Portugis. Karena itu sampai
sekarang Portugis tak suka mengisahkan kembali pertempuran dahsyat pada tahun
1521 ini .
Armada Islam gabungan tanah Jawa yang juga
menderita banyak korban kemudian memutuskan mundur.
Putra pertama dan ketiga Pati Unus ikut
gugur, sedangkan putra kedua, Raden Abdullah dengan takdir Allah untuk
meneruskan keturunan Pati Unus, selamat dan bergabung dengan armada yang
tersisa untuk kembali ke tanah Jawa. Turut pula dalam armada yang balik ke Jawa,
sebagian tentara Kesultanan Malaka yang memutuskan hijrah ke tanah Jawa karena
negerinya gagal direbut kembali dari tangan penjajah Portugis. Mereka orang
Melayu Malaka ini keturunannya kemudian membantu keturunan Raden Abdullah putra
Pati Unus dalam meng-Islam-kan tanah Pasundan hingga dinamai satu tempat
singgah mereka dalam penaklukan itu di Jawa Barat dengan Tasikmalaya yang
berarti Danau nya orang Malaya (Melayu).
Kegagalan expedisi jihad yang ke II ke
Malaka ini sebagian disebabkan oleh faktor-faktor internal, terutama masalah
harmoni hubungan kesultanan-kesultanan Indonesia. Tidak semua kadipaten dan
kesultanan mendukung invasi tersebut dengan sepenuh hati. Misalnya Kadipaten
Tuban, yang dengan sengaja memperlambat armada lautnya sehingga praktis selamat
dari kahancuran akibat kekalahan dari Portugis. Adipati Tuban pada saat itu,
yang notabene adalah Ayah Sunan KaliJogo merasa khawatir apabila Tuban mengirim
kekuatan tempurnya secara penuh, Demak akan dengan mudah membokong dan
menduduki Tuban yang praktis kosong.
Wilayah-wilayah yang dikuasai Demak ada yang
belum sepenuhnya memeluk Islam. Kemungkinan besar tidak mendukung invasi ke
Malaka. Wilayah-wilayah tersebut bagaimanapun juga, yang notabene penduduknya
masih menganut Hindu atau Budha, menganggap Islam sebagai ancaman yang akan
menggeser agama tua.
Selanjutnya, masalah peralatan. Salah satu
suku bangsa yang mampu membangun kapal yang baik adalah Bugis, dan suku-suku di
Sulawesi dan Maluku. Pada saat Majapahit menguasai wilayah tersebut, akses
teknologi perkapalan, baik sumber daya manusia maupun kayu bisa mengalir dengan
lancar sehingga menjadi modal yang besar bagi ekspansi Majapahit, bahkan
perjalannya sampai ke Tanjung Harapan di Afrika. Akan tetapi, pendudukan
Majapahit atas wilayah Sulawesi dan Maluku tetap dianggap sebagai penjajahan
oleh masyarakat lokal. Oleh karena itu, bukan hal yang mustahil bahwa akses
teknologi perkapalan yang didapat oleh Demak tidak sepenuhnya karena masyarakat
Maluku dan Sulawesi tetap menganggap Demak sebagai kelanjutan dari Majapahit.
Sumber : http://id.wikipedia.org
Sumber : http://id.wikipedia.org