Al-Ghazali; Majikan Para Penulis
Abad ke-5 hijriah telah memilihkan seorang alim dalam dunia intelektual Islam, dia adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, A...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/09/al-ghazali-majikan-para-penulis.html?m=0
Abad ke-5 hijriah telah memilihkan seorang alim dalam dunia intelektual Islam, dia adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Al-Imâm Hujjah al-Islâm Abû Hâmid Al-Ghazâlî. Dilahirkan di Thusia, suatu kota di Khurasan pada tahun 450 H (1058 M). Ayahnya adalah seorang yang hati dan tangannya selalu mengekang keharaman (‘iffah). Ia bekerja sebagai pembuat pakaian dari wol dan menjualnya di pasar Thusia. Di waktu senggang ia selalu mengunjungi para ulama, menimba ilmu dari pengajian-pengajian mereka, hingga memberikan dampak yang besar bagi perkembangan jiwanya. Hal ini membuatnya selalu beribadah kepada Allah dengan kerendahan hati, meminta kepadaNya keturunan yang selalu bergaul dengan ulama dan menjadi bagian dari mereka, mengajarkan manusia masalah-masalah agama dan menunjukkan mereka kepada kebaikan dunia dan akhirat. Allah mengabulkan. Ia diberi dua orang anak yakni Muhammad al-Ghazali dan Ahmad Al-Ghazali.
Sebelum meninggal ayah al-Ghazali meninggalkan kata kepada seorang ahli tasawuf temannya, supaya mengasuh dan mendidik al-Ghazali dan adiknya, Ahmad dengan menyertakan harta yang sedikit sebagai bekal pendidikan mereka. Setelah ayahnya meninggal, al-Ghazali dan adiknya hidup di bawah asuhan ahli tasawuf tersebut, hingga harta yang titipan ayahnya tidak cukup bagi biaya hidup dan pendidikan mereka. Keduanya pun dititipkan pada salah satu madrasah yang bisa mencukupi kebutuhan hidup dan pendidikan mareka.
Pada masa kecil Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri, yakni pada Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani. Kemudian pergi ke negeri Jurjan dan belajar kepada Imam Abi Nasar Al-Isma’ili. Setelah kembali ke tanah kelahiran selama beberapa waktu, al-Ghazali berangkat ke negeri Nisapur dan belajar pada Imam Al-Haramain. Di sanalah mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu, seperti ilmu mantiq (logika), filsafat dan fiqh mazhab Syafi’i .
Inilah masa di mana al-Ghazali mengarang kitab Al-Mankhûl dan memperlihatkan kepada Imam Al-Haramain. Imam al-Haramain takjub akan karya ini hingga berkata:
دفنتني وأنا حي ! هلا صبرت حتى أموت!
Artinya: “Engkau telah menguburku, padahal aku masih hidup! Hendaknya engkau bersabar dahulu hingga aku mati”.
Setelah Imam Al-Haramain wafat, Al-Ghazali berangkat ke Al-‘Askar mengunjungi Menteri Nizam Al-Mulk dari pemerintahan Bani Saljuk. Ia disambut dengan kehormatan sebagai ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama dan pemuka-pemuka ilmu pengetahuan. Semuanya mengakui ketinggian ilmu dan keahlian Al-Ghazali. Menteri Nizam Al-Mulk lalu melantiknya menjadi guru besar Perguruan Tinggi Nizamiyah pada tahun 484 H. Empat tahun di perguruan tinggi ini karir al-Ghazali semakin meningkat, hingga dikatakan bahwa, majlis al-Ghazali dihadiri lebih dari 300 orang ulama-ulama besar .
Pergolakan Jiwa Al-Ghazali
Jabatan sebagai Guru Besar di Madrasah Nizamiah Bagdad tidak lama ia pegang, walau keharuman namanya melalui berbagai tulisan terbentuk di sana. Saat di Bagdad inilah ia mengalami guncangan-guncangan spiritual, dan berada pada puncak keraguannya mengenai apakah pengetahuan itu hakiki, diperoleh melalui indra atau akal, atau melalui jalan lain. Keraguan ini dialami selama enam bulan, hingga menyebabkannya berpetualang dalam berbagai macam disiplin ilmu serta mazhab untuk mencari kemantapan yang tidak kunjung didapat. Keranguan ini hanya terhapus bukan karena membuat alasan atau keterangan, melainkan melalui nur Allah ke dalam hatinya. Peristiwa ini diabadikannya dalam al-Munqiź min al-Dalâl.
Karena kebingungan spiritual ini pulalah, jabatan Guru Besar Madrasah Nizâmiyah ditinggalkan dan kemudian digantikan oleh adiknya, Ahmad Al-Ghazali .
Ia menyadari kemulian ilmu pengetahuan yang ia peroleh, dan mengajar yang dilakukan, bukan murni karena Allah SWT, bahkan keduanya mendorongnya memperoleh jabatan dan popularitas. Kesimpulannya, ia mengatakan bahwa semuanya salah, dan merasa dirinya berada di tepi jurang curam dan dekat kepada kebinasaan, jika ia tidak segera mengubah sikap.
Dalam keadaan ini terbesit dalam hatinya untuk keluar dari Bagdad meninggalkan seluruh kemewahan kota ini. Karena khawatir diketahui khalifah dan murid-muridnya ia mengumumkan bahwa ia akan pergi ke Mekah, padahal ia hendak ke Syam. Dengan penyamaran ia keluar Bagdad, dengan bekal yang hanya cukup sebagai bekal perjalanan, serta biaya anak-anaknya yang masih kecil. Selain untuk itu, seluruh hartanya habis dibagi-bagikan. Dia berjanji tidak akan kembali ke sana lagi selama-lamanya.
Selama dua tahun di Syam, ia menyendiri, melakukan riyadlah dan memerangi nafsu, mengisi waktu hanya dengan usaha membersihkan diri, memuliakan akhlak, membersihkan hati dengan berdzikir kepada Allah. Ia menutup diri dengan ber-i‘tikâf di masjid Damaskus dan menaiki menaranya sepanjang hari. Hal ini belum mendatangkan kepuasan hingga ia berkunjung ke Baitul Maqdis, dan menutup diri di padang pasir sepanjang hari.
Petualangan dilanjutkan ke Mekah, menunaikan rukun Islam kelima, dan berziarah ke makam Rasulullah SAW, dilanjutkan ke Hijaz, hingga timbul keinginan atas dorongan anak-anaknya untuk kembali ke tanah kelahiran.
Perjalanan panjang yang menghabiskan waktu sekitar sepuluh tahun semenjak meninggalkan Bagdad, dipenuhi dengan sikap berpaling dari dunia, berpakaian sederhana, menyedikitkan makan dan minum, berziarah ke makam-makam ulama dan masjid-masjid, mujahadah dan memaksakan dan membiasakan diri akan beratnya ibadah. Di pertengahan perjalanan ini ia menulis Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn .
Kembali ke Kampung Halaman
Pada tahun 499/1105, al-Ghazali pulang ke Nisapur, dan ditunjuk oleh Fakhr al-Mulk, putra Nizam al-Mulk untuk mengajar dan memimpin kembali Madrasah Nizamiyah. Namun tidak lama kemudian, ia malah kemabali ke Tus, dan mendirikan pesantren sufi (khanaqâh). Ia membagi waktunya dengan beberapa kegiatan, seperti menghatamkan al-Qur’an, mujâlasah bersama para sufi, mengajar, dan meng-istiqâmah-kan shalat, puasa dan ibadah-ibadah yang lain, hingga ia menghadap Allah dengan husnul khâtimah –semoga Allah memberikan husnul khâtimah di akhir hidup kita—pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111 M dalam pangkuan saudaranya, Ahmad Al-Ghazali .
Jenazahnya dikebumikan di makam Ath Thabiran, berdekatan dengan makam Al-Firdausi, seorang ahli syair yang termasyhur. Sebelum wafat, al-Ghazali pernah mengucapkan kata-kata yang diucapkan pula oleh Francis Bacon seorang filsuf Inggris:
“Ku letakkan arwahku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat bumi sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir umat manusia masa depan” .
Pemikiran Al-Ghazali
Dalam bidang fikih, al-Ghazali adalah penganut mazhab Syafi’iyyah, dimana karya-karyanya dalam bidang fikih merupakan kitab induk mazhab Syafi’iyyah. Karya beliau, Al-Basîth adalah rangkuman dari kitab Nihâyah al-Matlâb fî Dirâyah al-Mazhab karya guru beliau Imam Al-Haramain Abul Ma’ali Al-Juwaini yang merupakan rangkuman dari kitab Al-Umm, Al-Buwaitî dan Al-Imlâ’ karya Imam As-Syafi’i dan Muhtasar Al-Muzânî. Dari kitab Al-Basît ini muncul generasi kitab-kitab fiqh Syafi’i karya ulama-ulama Syafi’iyah, seperti Imam An-Nawawi, Ar-Rafi’i, dan Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshari .
Dalam bidang akidah (ilmu kalam), al-Ghazali sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy‘ariyyah Ahlussunnah wal Jamâ‘ah, bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab ini. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al-Iqtisâd fî al-I‘tiqâd, yang berarti moderat dalam akidah. Kitab ini menjadi referensi utama karya-karya ulama dalam bidang ilmu kalam. Menurut Al-Ghazali, ilmu kalam bertujuan menjaga akidah dari keragu-raguan dan kekacauan pemikiran dari para ahli bid‘ah. Akan tetapi, meskipun al-Ghazali telah mendalami ilmu kalam secara sempurna, beliau masih belum bisa menyembuhkan nafsunya dan tidak mampu memperoleh tujuannya. Hal ini disebabkan oleh sering terjunnya para ahli ilmu kalam dalam perdebatan, yang kurang memberikan manfaat terutama bagi mereka yang masih belum Islam. Sementara keinginan al-Ghazali ialah menemukan hakikat keagamaan secara yakin .
Al-Ghazali pernah memuji ilmu filsafat dan mempelajarinya selama dua tahun, lalu menyelidiki, serta menelaah inti ilmu filsafat. Hingga akhirnya beliau mengatakan :
فإني رأيتهم أصنافاً، ورأيت علومهم أقساماً؛ وهم على كثرة أصنافهم يلزمهم وصمة الكفر والإلحاد
Artinya: “Saya melihat para filsuf terdiri dari banyak golongan dan saya melihat (pula) mereka mempunyai ilmu yang bermacam-macam. Atas dasar banyaknya kelompok mereka, mengakibatkan mereka terjerumus dalam noda kekufuran”.
Karya al-Ghazali yang berisikan bantahan terhadap terori-teori filsafat, diantaranya adalah kitab Tahâfut al-Falâsifah.
Pada saat pemerintahan khalifah Al-Mustazhir dari dinasti Abbasiyah, muncul kelompok Batiniah yang berpendapat wajibnya ta’wîl Al-Qur’an, membahas isi batinnya, dan tidak mau menerima makna dzahirnya. Kelompok ini mempunyai pemikiran yang sesat dan menyebabkan keragu-raguan dalam rukun syari’ah. Untuk membantah keyakinan kaum Bâtiniyah, al-Ghazali mengarang kitab “Fadâ’ih al-Bâtiniyah”.
Kelompok lain yang muncul adalah kelompok Ta‘lîmiyah yang berbaur dengan masyarakat dan berbincang dengan mereka tentang makna segala sesuatu menurut tinjauan pemimpin maksum yang selalu berdiri dengan kebenaran. Tentang hal ini al-Ghazali bahwa pendapat mereka tidak kuat. Tetapi karena adanya dukungan kuat, aliran ta‘lîmiyah yang ahli bid‘ah ini mampu berkembang, akibat fanatisme yang mendorong masyarakat keluar dari kebenaran .
Dalam bidang tashawuf, beliau adalah pakar, dan di sinilah perjalanan akhir perantauan beliau dalam mencari kebenaran hakiki. Inti dari pada mazhab ini adalah memutus rintangan-rintangan nafsu, dan membersihkannya dari akhlak-akhlak tercela dan sifat-sifatnya yang kotor, hingga sampai pada kekosongan hati dari selain Allah SWT. Manhaj tasawuf al-Ghazali menekankan sikap jalan tengah, menentang fanatisme bermazhab dan pemikiran-pemikiran takfîr (pengkafiran), dan mengembalikan jauhnya manusia dari jalan yang benar .
Karya-Karya Al-Ghazali
Al-Faqîh Muhammad bin Al-Hasan bin Abdillah Al-Husaini Al-Wasithi dalam kitabnya “Al-Tabaqât al-‘Aliyah fî manâqib al-Syâfi’iyyah” mengatakan bahwa karya Al-Ghazali mencapai 98 karya tulis. Sedang menurut al-Subky dalam “Thabaqât al-Syâfî‘iyyah”, jumlah karya tulis al-Ghazali mencapai 58 karya tulis. Abdur Rahman Badawi dalam kitabnya “Mu’allafât al-Ghazâli”, menyebutkan jumlah karya Al-Ghazali mencapai 457 karya tulis, diantaranya:
- Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn
- Al-Adab Fî al-Dîn
- Al-Arba‘în fî usûl al-Dîn
- Asâs al-Qiyâs
- Al-Istidraj
- Asrâr mu‘âmalât al-Dîn
- Al-Iqtsâd fî al- I‘tiqâd
- Ayyuhâ al-Walad
- Bidâyah al-Hidâyah
- Al-Basîth Fi al-Furû‘
- Al-Ta’wîlât
- Al-Tabarruk al-Masbûk fî Nasâ’ih al-Mulûk
- Talbîs Iblîs
- Tahâfut al-Fulâsifah
- Tahźil al-Ushû
- Hujjah al-Haqq
- Haqîqah al-Qur’ân
- Kimyâ’ As-Sa‘âdah
- Al-Munqiź min al-Dalâl
- Al-Wasît
- Al-Mustasfa fî ‘ilm al-Usûl
- Lubâb al-Nazr
- Qawâsim Al-Bâtiniyyah
- Haqîqah al-Qaulain
- Minhâj al-‘Âbidîn
- Al-Wajîz
Karya-karya tersebut banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa lain, seperti kitab Ayyuhâ al-Walad yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Prancis oleh Taufîq Shabbâgh pada tahun 1951 dengan judul Traité du Disciple. Tahâfut al-Fulâsifah, diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, oleh C. Calonymus pada tahun 1527 dengan judul Destretio Philosophiac .
Minhâj al-‘Âbidîn merupakan karya tulis, al-Ghazali yang terakhir kali disyarahi (komentar) oleh ulama. Ulama ini adalah KH. Ihsan Jampes, Kediri dengan judul Sirâj Al-Thâlibîn. Kitab ini menjadi diktat resmi Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, dan menjadi rujukan wajib dibeberapa universitas Mesir dan Eropa .
Dari Berbagai Sumber