Menggugat Kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol
Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah Pemikiran Politik Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya Jawa Timur, Abd A’la, menyatakan, ket...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/06/menggugat-kepahlawanan-tuanku-imam.html?m=0
Guru
Besar Bidang Ilmu Sejarah Pemikiran Politik Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan
Ampel Surabaya Jawa Timur, Abd A’la, menyatakan, keterpengaruhan kaum Padri
dengan ajaran Wahabi nyaris tidak bisa diragukan lagi. Misalnya, keduanya
menganggap tarekat dan ajarannya sebagai kesesatan. Kaum Padri menilai Tarekat
Shattariyyah di Minangkabau telah mengajarkan praktik-praktik keagamaan yang
bid’ah, khurafat dan bertentangan dengan Islam. “Karena itu harus diluruskan,
atau bahkan jika diperlukan, diperangi dengan jalan kekerasan,” tulis lulusan
S1 Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya (1977) ini.
Alumni
S2 (1996) dan S3 (1999) Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah ini, menilai kaum
Padri berusaha melakukan purifikasi keagamaan sesuai prinsip yang mereka anut.
Mereka tidak hanya akan meluruskan ritual keagamaan yang dianggap tidak sesuai,
tapi juga akan menghapuskannya melalui cara mereka sendiri.
Menurut
penelitian A’la, ajaran kaum Padri yang rigid itu tidak bisa dilepaskan dari
pemahaman keagamaan mereka yang literal-skripturalis. Bahkan Tuanku Imam Bonjol
sebagai pemuka kaum Padri tetap menghalalkan perbudakan, karena teks tentang
perbudakaan memang ditemukan dalam Islam.
Yang
A’la sayangkan, apa yang dikembangkan kaum Padri tidak berhenti pada tataran
diskursus, melainkan diiringi aksi di lapangan. Dalam melakukan tindakan atas
nama agama itu, mereka terperangkap dalam fundamentalisme radikal yang berujung
pada kekerasan terhadap kelompok lain yang berbeda. Dan kekerasan itu,
dilakukan pada tiga aras: kultural, struktural dan langsung.
Kekerasan
kultural misalya, dibuktikan melalui konsepsi mereka tentang kafir, penyesatan
dan sebagainya. Melalui konsep ini, mereka mengembangkan kekerasan struktural
dengan memarginalisasi kelompok masyarakat yang tidak sesuai dan tidak mengikuti
ajaran mereka. Kekerasan ini lantas diikuti oleh kekerasan langsung berupa
pengepungan dan pembunuhan.
“Semua
itu, eksplisit atau implisit, didasarkan pada ajaran agama. Jadi, kekerasan
mereka muncul dari radikalisme keberagamaan,” simpul Asisten Drektur Bidang
Akademik Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel (2005-sekarang) ini.
A’la
mencontohkan, salah satu kekerasan langsung itu dialami keluarga Kerajaan
Pagaruyung, Tanah Tidar. Kerajaan yang telah memeluk Islam sejak abak ke-16 ini
diserang kaum Padri pada 1808. Tragedi ini, bermula dari pertengkaran antara
kaum Padri dengan kaum adat yang diwakili raja dan pembesar Kerajaan
Pagaruyung.
Tuanku
Lelo, seorang tokoh Padri dari Tapanuli Selatan, menuduh beberapa orang dari
keluarga raja seperti Tuanku Rajo Naro, Tuanku di Talang dan seorang putera
raja lainnya tidak menjalankan akidah Islam secara benar dan bahkan dianggap
kafir. “Karena itu harus dibunuh. Pembantaian massal pun terjadi, sehingga
semua rombongan raja beserta pembantu raja dan para penghulu lainnya terbunuh,”
ungkap A’la.
Menurut
penelitian A’la, tragedi serupa terulang pada 1815. Di bawah kepemimpinan
Tuanku Lintau, kaum Padri membunuh hampir seluruh keluarga kerajaan. Akhirnya
Istana Pagaruyung yang bernama Istano si Linduang Bulan itu terbakar dan nyaris
hancur. Tidak hanya keluarga kerajaan, kekerasan kaum Padri juga mengarah pada
siapapun yang tidak mengikuti ajaran mereka, termasuk keluarga dan kerabat yang
tidak mau mengikuti mereka.
Apa
yang menyebabkan kaum Padri menjadi radikal? Selain pemahaman keagamaan yang
leteralis-skripturalis, tulis A’la, juga karena keinginan mereka untuk
mereformasi masyarakat melalui politik kekuasaan. Karenanya, fundamentalisme
dan radikalisme nyaris tidak bisa dipisahkan.
“Radikalisme
muncul dan dikembangkan di atas keberagamaan yang fundamentalis,” simpul A’la.
Namun
demikian, A’la mengingatkan, kendati antara Padri dan Wahabi ada benang merah,
kita tidak seharusnya melakukan generalisasi apalagi simplifikasi bahwa gerakan
Padri adalah gerakan Wahabi itu sendiri. Ini karena masing-masing gerakan
memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Lebih tidak tepat lagi, imbuhnya, jika
gerakan Padri dianggap sebagai representasi seluruh radikalisme. “Lebih naif
lagi jika itu dipahami sebagai gerakan seluruh umat Islam,” tegasnya.
Yang
jelas, tulisnya, radikalisme dengan kekerasan senantiasa mengancam eksistensi
kemanusiaan. Namun ia mengingatkan, kekerasan ini tidak bisa dihadapi melalui
kekerasan pula. Dengan segera kembali pada moralitas luhur yang kita anut
masing-masing lah ia bisa dilawan.
“Di
atas semua itu, agama harus dilepaskan dari politik kekuasaan dan dijadikan
alat justifikasi. Agama perlu dikembalikan pada eksistensinya sebagai sumber
moralitas luhur. Melalui pendekatan moral ini, langit harapan akan tampak lebih
cerah,” harap A’la.
Karenanya,
A’la mengakui, apa yang ditelisiknya ini bukan untuk menghukumi kaum Padri,
melainkan untuk mendiskusikan radikalisme mereka dan mengungkapkan hubungan
antara kekuasaan dan agama yang membentuk radikalisme mereka. “Setelah itu kita
dapat mengambil pelajaran yang terbaik,” tulisnya berharap.
Pada
Juni 1969, Parlindungan dan ulama terkenal Hamka bertemu dalam diskusi di
Padang. Parlindungan tidak bisa menjawab banyak kritik Hamka. Buku Parlindungan
ditarik, tapi Hamka tidak berhenti. Pada 1974, pemuka agama itu mengeluarkan
buku Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao.
Polemik
Padri tidak lantas mati. Penyebab terpenting, Hamka tidak membahas pokok soal:
pembantaian Pagaruyung dan Batak. Buku Hamka kritis, tapi ia menghindar menulis
tragedi berdarah tadi. Dan kini Tuanku Rao diterbitkan kembali. Bahkan sebuah
buku baru kekejaman Tuanku Tambusai, karangan seorang ahli sejarah Mandailing,
juga muncul.
Tak
perlu cemas menyikapi pengungkapan fakta baru sejarah ini. Sangat tak beralasan
menyulut konflik Minang dan Batak karena ada yang mendedahkan tarikh baru.
Polemik Parlindungan dan Hamka sebenarnya contoh baik. Debat tidak melahirkan
permusuhan etnis atau pembakaran buku histori. Keduanya bersahabat,
Parlindungan selalu menjemput Hamka untuk salat Jumat bersama.
Nama
Imam Bonjol biarlah tetap menghiasi buku sejarah, juga menjadi nama jalan di
berbagai kota. Hanya perlu informasi tambahan tentang kekerasan Padri, tanpa
bumbu sensasi, dalam rumusan yang disepakati bersama. Data baru itu penting
untuk menambah kedalaman buku sejarah kita.
Bagaimanakah
dan kapankah Islam menyebar di Tanah Batak? Apakah Islam baru ke tanah Batak
dibawa oleh Kaum Paderi? Benarkah telah terjadi pembantaian besar-besaran yang
kejam dan biadab ketika Kaum Paderi masuk Tanah Batak membawa Islam sebagaimana
yang dikisahkan M.O. Parlindungan dalam buku Tuanku Rao? Lantas siapakah
sebenarnya Tuanku Rao, Tuanku Lelo dan Tuanku Tambusai yang disebut-sebut
sebagai para panglima perang pendukung ajaran Paderi dari Tuanku Imam Bonjol?
Dimana pula posisi Tuanku Imam Bonjol dalam kejahatan kemanusiaan itu, sikap
apa yang diambilnya? Semua pertanyaan yang bikin greget itu dijawab dalam buku
ini yang ditulis oleh “ensiklopedi berjalan” Tapanuli Selatan, Basyral Hamidiy
Harahap. Sebab itu membaca buku ini, boleh jadi pembaca akan mempertanyakan
sejumlah sejarah yang sudah dianggap sebagai kebenaran sejarah, misalnya
kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai.