Dakwah Lewat Musik
Musik memang bahasa universal. Dia bisa digunakan untuk menyampaikan beragam pesan, mulai cinta, persahabatan, hingga dakwah. Kelenturan ...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/06/dakwah-lewat-musik.html?m=0
Musik memang bahasa universal. Dia bisa
digunakan untuk menyampaikan beragam pesan, mulai cinta, persahabatan, hingga
dakwah. Kelenturan itulah yang dicoba beberapa pegiat dakwah ditangkap dan
diaktualisasikan. Tercatat beberapa penyanyi dan group musik dakwah
bermunculan, terutama di bulan suci Ramadan. Fenomena ini memang memunculkan
pertentangan antara tuntutan dakwah dan teks-teks agama yang melarang kegiatan
memainkan alat-alat musik tertentu. Beberapa kalangan ada yang menjadikan
kegiatan dakwah Sunan Kalijaga dan Sunan Drajat sebagai justifikasi atas
keabsahan metode dakwah ini.
Tulisan berikut mengurai aspek hukum
nyanyian (syair/Nasyid) dalam prespektif fiqh.
Sya’ir Islami/Nasyid
Disebut sya’ir/nasyid Islami karena didalamnya
tidak sedikitpun mengandung unsur-unsur kemungkaran atau sekedar
bersenang-senang melupakan Allah SWT.
Ada beberapa model sya’ir/nasyid Islami:
- An-Nasyid Ad-Dini; sya’ir islami yang berisikan dzikir, menyintai Allah dan RasulNya, dan unggkapan akan sifat-sifat sorga dan neraka.
- Nasyidul Hub wal Munajat; syair berisikan ungkapan cinta kepada Allah dan RasulNya dengan cinta yang sangat mendalam melebihi apapun. Biasanya sya’ir ini menggunakan bahasa sastra yang tinggi, bahkan terkadang menggunakan tamsil-tamsil yang sulit dipahami oleh orang awam. Sya’ir model ini biasanya dilantunkan atau ditulis oleh para awliya’. Terutama ketika kejiwannya sedang melayang dan dikuasai oleh perasaan khawf/takut, roja’/lapang dada mengharap rahmat Allah dan dikuasai oleh perasaan cinta kepada Allah atau RasulNya.
- Nasyid Nabawy; sya’ir berisikan sejarah Rasulullah SAW, perjalanan hidupnya, mukjizatnya, pujian-pujian kepadanya serta kepada keluarha dan para sahabatnya.
- Nasyidul Hikmah wal Maw’idhoh; sya’ir yang berisikan petuah-petuah Islam serta hikmah-hikmah.
Sya’ir/nasyid model-model inilah yang
berkembang di kalangan para ulama dan para sufi. Bahkan sejak masa Rasulullah
SAW dan para sahabatnya. Para ulama hampir bersepakat atas kebolehan
model-model sya’ir diatas.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, berkata: “Para
sahabat Rasulullah SAW pernah melantunkan nasyid di samping Rasulullah SAW
sedangkan beliau tersenyum”. (HR.Turmudzi).
Diriwayatkan dari Hasan Al-Bashri, berkata:
Sekelompok orang mendatangi sahabat ‘Umar bin Khotthob ra, lalu berkata: Hai
‘Umar Amirul Mukminin, sesungguhnya kami mempunyai imam shalat. Apabila imam
telah selesai shalat ia melantunkan sya’ir/nyanyian. Umar berkata: Siapa itu?.
Lalu disebutkan nama imam tersebut. Umar berkata: Ayo berangkat kesana
bersamaku, karena kalau aku sendirian kesana ia akan mencuriga aku
mengawasinya. Kemudian ‘Umar ra berangkat bersama-sama dan menjumpai lelaki itu
didalam masjid. Ketika orang itu melihat ada Umar ra, maka berdiri menyambutnya
dan berkata: Wahai Amirul mukminin, apa keperluan anda datang kemari, jika anda
mempunyai hajat kepada kami, maka kami yang seharusnya datang menghadap anda.
Umar menjawab: Celaka kamu…telah sampai kepadaku berita bahwa engkau telah
melakukan perbuatan yang mencoreng aku. Lelaki itu berkata: Apa gerangan wahai
Amirul Mukmini. ‘Umar ra menjwab: Apakah kamu bersenandung dalam ibadah kamu.
Orang itu menjawab: Tidak wahai Amirul Mukminin, akan tetapi aku memberi petuah
kepada diriku sendiri. Umar berkata: Coba ucapkan, jika isinya kalimat yang
bagus aku mengikuti kamu dan jika jelek aku akan melarang kamu. Lalu orang itu
melantunkan sya’ir:
وفؤادي
كلما عاتبته # في مدى الهجران
يبغي تعبي
لا اراه
الدهر إلا لاهيا # في
تماديه فقد برح بي
........................
نفس لو
كنت ولا كان الهوى # راقبي
المولى وخافي وارهبي
Lalu ‘Umar ra menirukannya melantunkan sya’ir:
نفس لو
كنت ولا كان الهوى # راقبي
المولى وخافي وارهبي
Kemudian ‘Umar ra berkata: Seperti ini
seharusnya para pelantun melantunkan sya’irnya.
Imam As-syafi’i berkata: “Sya’ir adalah untaian
kalimat, jika baik maka tentu baik pula dan jika jelek maka tentu jelek”.
Imam Nawawi berkata: “Tidak apa-apa melantunkan
sya’ir di masjid apabila berisikan pujian-pujian kepada Nabi atau Islam, atau
berisikan kalam-kalam hikmah, akhlaq-akhlaq mulia, zuhud dan lain-lain dari
segala macam kebaikan”.
Imam Ibnu Hajar Al-Haytami berkata:
Sesungguhnya semua sya’ir yang berisikan perintah untuk berbuat ta’at, hikmah,
akhlaq mulia, zuhud dan lainnya dari segala perbuatan yang baik sebagaimana
ajakan untuk ta’at, mengerjakan sunnah dan menjauhi ma’siat, maka hukum sya’ir
dan mendengarnya adalah bagian dari kesunnahan sebagaimana yang dijelaskan oleh
para ulama’.
Imam Al-Ghozali menulis bab tersendiri dalam
kitab Ihya’ ‘Ulumuddin tentang hukum melantunkan sya’ir, mendengar, tata cara
dan pengaruhnya pada kejiwaan. Uraian Imam Al-Ghozali ini oleh sebagian ulama’
dinilai yang paling lengkap dan luas. Sebab beliau tidak hanya menggunakan
pendekat dalil naqli dari al-Qur’an, hadits Rasulullah SAW, atsar para sahabat
serta pendapat para ahli fiqh dan sufi, bahkan secara gamblang beliau
menjelaskan pula analog-analog logis yang mengesankan serta seberapa jauh
pengaruh alunan sya’ir terhadap kejiwaan pelantun dan pendengarnya.
Pada akhirnya beliau berkesimpulan bahwa
lantunan sya’ir dan hukum mendengarkannya adalah sunnat jika dapat mendorong
perbuatan yang sunnah dan mengingatkan akherat. Sebab wasilah menuju kebaikan
adalah bagian dari kebaikan itu juga.
Anasyid Bid’ah
Yang dimaksud dengan ansyid bid’ah adalah
lantunan sya’ir-sya’ir yang berisikan model-model sya’ir diatas, akan tetapi
terdapat kemungkaran-kemungkaran didalamnya, seperti diiringi dengan alat-alat
musik yang diharamkan atau dilantunkan oleh perempuan dihadapan laki-laki yang
bukan mahromnya dan sebaliknya.
Disebut bid’ah karena dibungkus dengan dakwah
yang seolah-olah bagian dari ajaran agama, sehingga perbuatannya diyakini
sebagai bentuk ibadah. Sementara yang disebut bid’ah dalam istilah fiqh adalah;
segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang bukan bagian dari ajaran Islam,
dikesankan seolah-olah bagian dari ajaran Islam. Alasan dakwah tidak dapat
menjadi pembenar mengabaikan kemungkaran didalamnya. Dakwah tidak dapat
dilakukan dengan cara-cara yang justru merusak nilai dakwah itu sendiri. Tidak
mungkin dakwah yang seharusnya mengajak kepada keta’atan beragama justru
disampaikan dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Model nasyid seperti ini yang populer saat
sekarang. Banyak kita saksikan terutama pada bulan Ramadan, penyanyi-penyanyi
perempuan menyanyikan lagu-lagu Islami, terkadang shalawat dengan membuka aurat
dan berdandan dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Tidak ketinggalan pula
beberapa alat musik mengiringinya.
Yang lebih memperihatinkan, terkadang beberapa
ustadz atau kiyai turut serta menyaksikan atau bahkan sengaja mendatangkan
untuk acara-acara keagamaan.
Imam Ibnu Hajar Al-Haytami berkata: Telah lewat
penjelasan mengenai hukum nyanyian/sya’ir yang tidak disertai kemungkaran
sebagaimana diatas. Yang dimaksud disini –pembahasan menganai hukum nyanyian
yang diserta tari-tarian atau alat-alat musik– sesungguhnya apabila nyanyian
itu diperbolehkan atau dimakruhkan, jika dibarengi dengan yang diharamkan, maka
dengannya menjadi haram hukumnya. Dan apabila haram hukumnya, maka keharaman
itu akan semakin berat dosanya karena bercampurnya sesuatu yang diharamkan.
Selanjutnya beliau berkata: Berkata sebagian
ulama’ Yaman: Adapun hukum mendengar nyanyian pada waktu sekarang ini adalah
diharamkan, karena didalamnya terdapat kemungkaran-kemungkaran, bercampurnya
laki-laki dan perempuan.
Wallohul muwaffiq ila Aqwamit Thoriq.
Ditulis Oleh : Oleh : KH. Muhib Aman Aly (Wakil Ketua LBMNU Jawa Timur)
Sumber: http://solusinahdliyin.net