Memposisikan Akal Sebagai Hakim
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Ketika fiqh diartikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syariah yang ditetapkan secara...
https://mutakhorij-assunniyyah.blogspot.com/2012/06/memposisikan-akal-sebagai-hakim.html?m=0
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Ketika fiqh diartikan
sebagai ilmu tentang hukum-hukum syariah yang ditetapkan secara khusus untuk
perbuatan-perbuatan para mukallaf, dan hukum-hukumnya terdiri dari
wajib, haram, mubah, sunnah, makruh, batal dan shahih, maka pengertian ushul
fiqh ialah ungkapan untuk dalil-dalil dari hukum-hukum tersebut, serta tata
cara untuk mengetahui aspek-aspek penerapan dalil terhadap hukum-hukum tersebut
secara global[1].
Lebih singkatnya ushul fiqh dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum
yang bersumber dari beberapa dalil. Maka, pembahasan ushul fiqh adalah seputar
hukum, dalil-dalil dan pembagiannya, teori pengambilan hukum dari dalil dan
kode etik seorang pengambil hukum[2].
Rukun hukum ada empat,
yaitu: hakim; mahkum alayh; mahkum fih, dan hukum itu sendiri[3]. Dari
sini, hakim adalah salah satu rukun hukum dari rangkaian rukun-rukun hukum.
Persoalan tentang hakim adalah penting, sebab berkaitan dengan pembuat hukum
dalam syariat Islam. Dari Hakimlah wahyu yang merupakan sumber syariat
diturunkan, untuk memberi beban tugas keagamaan (taklif) kepada makhluk
dengan maksud memberikan manfaat dan anugerah kepada mereka, sebagaimana Dia
telah memberikan nikmat yang tidak terhingga kepada mereka[4].
Sementara itu, ketika
kita melihat produk hukum yang telah diciptakan oleh para mujtahid, syarat
wajib, atau pun syarat sah dari sebuah perbuatan baik yang bersifat ubudiyah,
mu’amalah ataupun munakahah, sama sekali tidak melepaskan point aqil (berakal)
bagi para pelakunya. Di lain masalah, problematika penentuan sah atau batal, wajib
atau haram dan baik atau buruk bagi sebuah perbuatan, terkadang menggunakan
ukuran akal, seperti keharaman mengkonsumsi benda-benda yang membahayakan badan
atau nyawa, seperti mengkonsumsi racun. Allah pun membenarkan hal ini. Dia
telah mencela orang-orang kafir, karena mereka tidak mau menggunakan petunjuk
(dalil) akal akan keesaanNya, berdasarkan apa yang mereka saksikan dalam diri
mereka dan orang lain. Dalam masalah ini Allah berfirman:
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا
نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Artinya: “Dan mereka berkata: "Sekiranya kami
mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (QS. Al-Mulk: 10)[5]
Al-Imam Al-Mawardi
bahkan mempertegas, bahwa Allah menjadikan akal sebagai pondasi agama, pilar
dunia, sebagai sarana mengawasi dunia dan mempersatukan berbagai macam makhluk,
di tengah ketidaksamaan kehendak dan cita-cita mereka. Lebih lanjut beliau
mengatakan bahwa akal adalah sarana untuk mengetahui hakikat kebenaran dan
untuk membedakan yang baik dan buruk[6].
Dengan problematika
seperti di atas, makalah ushul fiqh kali ini, kami beri judul Memposisikan Akal
Sebagai Hakim
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian
dalam latar belakang masalah di atas, maka permasalahan seputar keberadaan akal
sebagai penentu hukum (al-Hakim) adalah sebagai berikut:
1.
Siapakah al-Hakim yang
sebenarnya
2.
Apakah akal dapat
diposisikan sebagai Hakim
3.
Dimanakah posisi akal yang
sebenarnya di hadapan Syariah
C.
TUJUAN
Setelah diketahui latar
belakang dan rumusan masalah, seperti yang telah dijelaskan di atas, maka
penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui siapa sebenarnya
al-Hakim
2.
Mengetahui benar atau
tidaknya menposisikan Akal sebagai Hakim
3.
Mengetahui posisi dalil
akal yang sebernarnya dalam menentukan sebuah hukum.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN HAKIM
Hakim menurut bahasa
mempunyai dua arti, yaitu: Pertama, pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan
sumber hukum. Kedua, yang menemukan, memperkenalkan dan menyingkapkan hukum[7]. Menurut
istilah yang dimaksud hakim adalah Allah yang mensyariatkan dan pemberi beban
makhluk dengan hukum-hukum. Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa hakim
yang sesungguhnya ialah Allah. Dialah yang maha perkasa di atas hambaNya dan
tidak akan terjadi sesuatu kecuali sesuai kehendakNya. Dialah yang memberi
perintah dan memberi larangan kepada hambanya. Dan yang wajib bagi hamba adalah
mentaatinya, hingga diperoleh pahala bagi yang taat dan siksa bagi yang berbuat
maksiat[8].
Hakim adalah rukun
kedua dari rukun-rukun hukum. Hakim adalah Dzat Yang berfirman dan hukum adalah
firmanNya. Maka, tidak ada syarat lain untuk memunculkan bentuk hukum kecuali
adanya point ini. Hak legalitas hukum juga hanya diberikan kepada Allah. Maka
hukum-hukumNya saja yang dianggap legal, dengan kata lain tiada hukum dan tiada
perintah kecuali hanya dari Allah SWT. Adapun Rasulullah SAW, para penguasa,
para majikan (sayyid), orang tua atau suami yang dalam permasalahan tertentu
perintah dan larangan mereka juga menjadi hukum, sebenarnya bukan karena mereka
adalah pembuat hukum, melainkan karena adanya perintah Allah untuk melakukan
taat kepada mereka. Jika perintah Allah ini tidak ada maka tidak ada kewajiban
makhluk untuk taat kepada makhluk yang lain, karena serajat satu makhluk tidak
lebih utama dari pada makhluk yang lain. Jadi, yang wajib adalah mentaati Allah
dan mentaati orang yang perintahkan oleh Allah untuk mentaatinya[9].
Jika dikatakan bahwa
setiap orang yang mempunyai kemampuan untuk mengancam orang lain dengan siksa dan
dapat diwujudkan dalam kenyataan, maka orang tersebut bisa disebut sebagai
pembuat perintah yang wajib ditaati. Dari pernyataan ini, maka bisa ditarik
kesimpulan bahwa hak legalitas hukum bukan semata milik Allah. Hal ini memang
benar. Karena ketika membahas hakikat wajib, ia tidak akan dapat diwujudkan
kecuali dengan adanya kaitan dengan dampak buruk yang menakutkan yang ada di
baliknya, dan manusia juga mempunyai peran dalam hal ini. Bisa saja manusia
yang berkuasa disebut sebagai yang menentukan hukum wajib. Namun bukan berarti
wajib, karena adanya ancaman yang pasti akan terjadi, sebab dalam perkembangan
selanjutnya, bisa saja kekuasaan untuk mengancam orang lain dengan siksa itu sama
sekali tidak terwujud. Sedangkan ancaman Allah, akan benar-benar terwujud
sampai kapanpun sesuai dengan kehendakNya[10].
B.
MEMPOSISIKAN AKAL SEBAGAI
HAKIM
Dalil-dalil hukum ada
empat, yaitu: Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan dalil akal. Ketika diteliti dengan
sebenarnya, maka dalil hukum hanya satu yaitu firman Allah SWT, karena sabda
Rasulullah SAW, bukan merupakan hukum dan tidak menetapkannya. Ia berstatus sebagai
pemberi kabar firman-firman Allah. Ijma’ (Konsensus) ulama juga tidak bisa
disebut sebagai dalil hukum dalam arti yang sebenarnya, sebab ia menunjukkan
sabda Rasul. Akal juga demikian. Ia hanya berstatus penafian hukum ketika
firman Allah dan sabda rasul tidak ditemukan[11].
Ketika melihat
hukum-hukum yang ditetapkan kepada manusia, sebenarnya hukum-hukum tersebut
tidak akan dapat diketahui, kecuali dengan sabda Rasulullah, karena kita tidak
bisa mendengar firman Allah secara langsung atau melalui perkataan malaikat
Jibril. Jadi, jika yang menjadi acuan adalah proses tersiarnya hukum, maka
dalil hukum hanyalah sabda Rasul SAW[12].
Tidak ada hakim kecuali
Allah, Tuhan semesta alam. Oleh sebab itu, kalangan Asy’ariyah mengatakan bahwa
hukum atas perbuatan para mukallaf sebelum diangkatnya Rasulullah SAW (masa
fatrah), atau tidak sampainya da’wah kepada mereka, tidak ada hubungannya
dengan Allh SWT. Maka saat itu kekufuran tidak haram dan iman tidak diwajibkan.[13] Allah
SWT berfirman:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ
حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا (الإسراء: 15)
Artinya:
“Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS.
Al-Isra’: 15)
Ada riwayat shahih yang
menunjukan adanya siksa bagi para manusia yang hidup dalam masa fatrah. Namun
demikian riwayat ini tidak bertentangan dengan tidak adanya siksa bagi
orang-orang yang hidup pada masa fatrah. Atau riwayat ini bisa diartikan bahwa
adanya manusia yang mendapat dosa pada masa fatrah disebabkan sesuatu yang
hanya diketahui oleh Allah dan RasulNya. Bisa pula dijawab bahwa yang disiksa
seperti tersebut dalam riwayat, hanya orang-orang merubah atau mengganti dengan
hal-hal yang tidak ditolelir, seperti menyembah berhala dan mengganti syariat.
Jawaban ini sebenarnya
tidak cocok dengan pernyataan bahwa tidak ada kewajiban kecuali berdasar
syariah, hingga Imam al-Haramin berpendapat bahwa jika yang dimaksud dengan
yang disiksa Allah saat masa fatrah itu adalah orang yang bertemu dengan
sisa-sisa syariah yang ditetapkan oleh nabi sebelumnya, maka tidak akan
ditemukan kemusykilan. Selanjutnya, Al-Haramain menambahkan bahwa yang dimaksud
masa fatrah ialah orang-orang yang hidup diantara dua Rasul dan rasul pertama
tidak diutus untuk mereka, dan mereka tidak menjumpai nabi sesudahnya. Dari
uraian ini dapat dimengerti bahwa perselisihan ini terjadi ketika dikaitkan
dengan hukum iman. Untuk masalah-masalah furu’iyah, para ulama tidak ada khilaf
tentang tidak adanya siksa, kecuali bagi mereka yang menerima dakwah para Rasul[14].
Kalangan Mu’tazilah berpendapat
bahwa akal adalah yang memutuskan wajib dan haram. Singkat kata ia adalah
al-Hakim secara independen. Apa yang dianggap baik oleh akan adalah wajib,
seperti mengenal Allah sebagai Tuhan, dan mengenal diri sebagai hamba,
kewajiban bersyukur kepada Allah, dan penyelamatan terhadap korban banjir dan
kebakaran. Apa yang dianggap akal jelek adalah haram secara pasti, seperti
kufur nikmat, perbuatan sia-sia dan perbuatan aniaya. Mereka memposisikan akal
diposisikan diatas posisi dalil-dalil syar’i, hingga mereka tidak memperkenankan
menetapkan hukum dengan dalil syar’i, selama akal tidak mengetahuinya[15].
Menurut kalangan
Mu’tazilah, sebuah pekerjaan jika mengandung kemaslahatan murni dan berskala
yang besar akan dianggap oleh akal bahwa Allah mewajibkannya. Jika mengandung
kerusakan murni dan berskala besar, maka akal akan mengatakan bahwa Allah
melarangnya. Jika maslahah dan mafsadah dalam posisi seimbang atau sama sekali
tidak mengandung keduanya, maka ia adalah mubah dan tidak bisa disebut dengan
hukum, sebab ia telah ada sebelum syariat di datangkan. Akal akan mampu
memahami bahwa Allah dengan kebijaksanaanNya yang tinggi secara pasti tidak
akan meninggalkan maslahah sesaatpun kecuali Dia mewajibkannya dan memberinya
pahala. Akal juga tidak akan meninggalkan kerusakan kecuali Dia mengharamkannya
dan memberinya siksa[16].
Menurut Mu’tazilah
kedudukan syariah yang sebenarnya hanya sebagai tanda dan ia mengalami
perubahan dan penggantian. Sementara akal dengan sendirinya telah mewajibkan
atau mengharamkan tanpa ada perubahan dan penggantian. Yang dimaksud mewajibkan
menurut mereka ialah adanya bentuk pengunggulan terhadap iman –misalnya--,
mengakui ketuhanan, dan mempercayai wujudnya Allah untuk selama-lamanya. Jika
akal mengharamkan, maka ia terjadi saat akal menetapkan pengunggulan untuk
tidak melakukan kemusyrikan, dan tidak melakukan pengakuan Tuhan untuk selain
Allah[17].
Akibat aqidah yang
batal ini, kalangan Mu’tazilah mengingkari kemampuan mata manusia untuk melihat
Allah. Mereka mengatakan bahwa melihat Allah yang bersifat wujud tidak mungkin
dilakukan menurut akal, sebab Allah bebas dari arah dan posisi. Dan tidak
mungkin dilakukan melihat sesuatu tanpa arah dan jarak yang tertentu.
Mereka juga mengingkari
bahwa segala kejelekan, kekufuran dan maksiat termasuk dalam wilayah kehendak
Allah, karena menyandarkan kejelekan, kekufuran dan maksiat kepada Allah
termasuk hal yang dianggap buruk oleh akal[18].
Masih menurut kelompok
yang didirikan oleh Abu Ali Al-Jubba’i ini, jika dalam satu keadaaan akal
manusia mendorong melakukan isdidlal, maka alasan yang mewajibkan akan menjadi
nyata. Dengan ini mereka berkata bahwa orang yang berakal, baik kecil atau
besar tidak ada udzur berhenti mencari kebenaran dan meninggalkan iman
kepada Allah. Maka anak kecil yang
berakal harus beriman. Begitu pula orang yang ada dipedalaman yang tidak sampai
kepada mereka dakwah Islam, mereka adalah ahli neraka[19].
Titik perbedaan
pandangan antara Kalangan Mu’tazilah dan Asy’ariyah hanya terletak pada
pemberian status pada sesuatu yang baik (al-Husn) dan yang buruk (al-Qubh),
Menurut jumhur, sesuatu yang baik (al-Husn) dan yang buruk (al-Qubh), jika
dimaknai kesenangan dan kebencian hati seperti kebaikan manis dan kejelekan
pahit atau sifat kesempurnaan dan kekurangan, seperti kebaikan ilmu dan
kejelekan bodoh, maka ia bersifat aqli, dalam arti yang menentukan baik buruk
adalah akal. Jika dimaknai munculnya pujian dan hinaan di dunia atau pahala dan
siksa di akhirat, maka ia bersifat syar’i, artinya ia tidak dihukumi kecuali
oleh syariah yang bawa Rasulullah SAW.
Menurut Kaum Mu’tazilah
ini pun juga bersifat aqli, artinya akan yang menghukumi baik dan buruk, karena
dalam sebuah pekerjaan terdapat maslahah dan mafsadah yang diikuti baik dan
buruk menurut Allah, dalam arti akal memahaminya secara dhoruri, seperti
kebaikan sifat jujur yang bermanfaat dan kejelekan sifat bohong yang berbahaya.
Golongan lain
berpendapat sebaliknya. Syariah datang sebagai penguat, atau sebagai pembantu
untuk menentukan baik dan buruk yang tidak mampu dipahami sepurna oleh akal,
seperti kebaikan puasa.[20]
Ahlussunnah Wal Jamaah (Asya’irah)
dan Mu’tazilah sependapat bahwa akal akan mampu menemukan kebaikan dan
kejelekannya sesuatu sebelum datangnya syariah. Dalam masalah pahala dan siksa
mereka berbeda pendapat. Mu’tazlilah mengatakan bahwa pahala dan siksa
menetapkan sesuatu. Maka akal menghukumi tentang adanya pahala dan siksa
sebelum datangnya syariah, disebabkan adanya kebaikan dan keburkan sebelumnya. Jika syariah datang, maka ia
menjadi penguat bagi hukum akal. Sedangkan ulama sunni mengatakan bahwa pahala
dan siksa tidak dapat diketahui kecuali dari arah syariah.
Ada tiga madzhab dalam
masalah ini. Yaitu: Pertama: Baik dan buruk sesuatu, dan pahala dan siksa
adalah syar’i. Ini adalah pendapat Asy’ariyah, Kedua: kedua-duanya adalah
aqliyah. Ini pendapat Kaum Mu’tazilah. Ketiga: kebaikan dan keburukan suatu
ditetapkan berdasar akal dan pahala dan siksa tergantung syariah, tidak ada
pahala dan siksa kecuali ketika akal sudah terbit. Inilah sesuai dengan apa
yang disampaikan As’ad bin az-Zanjani, dari kalangan Syafi’iyyah, Abu Khathab
dari kalangan Hanabilah, juga kalangan Hanafiyah dan meriwayatkannya sebagai
nash dari Imam Abu Hanifah.[21]
C.
AKAL SEBAGAI PENEMU HUKUM
Sudah jelas bahwa akal
bukan sebagai pencipta hukum (al-Hakim) menurut Jumhur ulama Ahlussunnah Wal
Jamaah. Ketika akal merupakan bagian dari dalil-dalil syariah maka posisi akal
adalah sebagai penemu (al-Mudrik) hukum, bukan sebagai pencetus hukum
(al-Hakim). Jadi, yang benar adalah dikatakan “Hukum syara’ ditemukan oleh
akal”, tidak boleh dikatakan, “ilmu Syara’ diwajibkan akal”[22].
Yang menjadi sandaran
dalam membatalkan kebaikan dan keburukan adalah tidak adanya kewajiban menjaga
maslahah dan mafsadah. Sebagai contoh adalah penciptaan alam, apakah untuk
maslahah atau tidak? Jika untuk maslahah, maka Allah SWT telah melakukan
pekerjaan maslahah sepanjang masa dan tiada batasnya. Jika tidak untuk maslahah,
maka pekerjaan Allah tidak wajib ditetapkan untuk maslahah, dalam arti menjaga
maslahah dunia bagi Allah bukan sesuatu yang wajib. Jika sudah demikian maka
tidak wajib berdasarkan akal, Allah akan mengikat hukum-hukumNya di alam ini,
tetapi hal ini adalah hal yang jaiz. Dari sini maka kaidah tahsin (pembaikan)
dan taqbih (pemburukan) menjadi batal, sebab kewajiban mengikat hukum-hukum
dengan maslahah dan mafsadah secara akal adalah kebaikan dan keburukan itu
sendiri yang bersifat aqli. Dari dasar (ashl) ini, para sahabat membuat cabang
dengan dua masalah:
Masalah pertama:
Kewajiban bersyukur kepada Dzat yang memberi kenikmatan. Syukur adalah memuji
kepada Allah dengan mengingat-ingat kenikmatan dan kebaikan Allah. Syukur
adalah sesuatu yang baik secara pasti berdasarkan pengetahuan akal. Adapun
hukum wajib bersyukur adalah berdasarkan syara’ bukan berdasar akal. Menurut
ulama lain, syukur wajib secara akal, tetapi wajib dari segi dalil, bukan dari
segi pengetahuan akal yang pasti. Segolongan ulama dari ashab Syafi’i, sepakat
tentang hal ini seperti Abul Abbas bin Al-Qash, Abu Bakar As-Syasyi, Abu
Abdillah Az-Zubairi, Abul Hasan bin Qathan dan Abu Bakar As-Shairafi.
Az-Zubairi mengatakan
bahwa ibadah dilihat dari aspek dalil sam’i (al-Quran dan Hadits) tidak
didatangkan kecuali pada tiga aspek:
1.
Ibadah yang didatangkan
dengan pewajiban yang sama dengan apa yang diwajibkan berdasarkan akal, seperti
Iman kepada Allah dan mensyukuri nikmatNya.
2.
Datang dengan pengharaman
yang sama dengan apa yang diharamkan berdasarkan akal, seperti kufur kepada
Allah
3.
Ibadah datang karena akal
memperbolehkannya, seperti shalat, zakat dam haji.
Ibnul Qash mengatakan
bahwa sesuatu berdasar tinjuan akal ada tiga macam. Yaitu: sesuatu yang
diwajibkan akal, sesuatu yang dinafikan akal, dan sesuatu yang diperbolehkan
oleh syariah[23].
Masalah kedua: Hukum
sesuatu sebelum datangnya Syariah. Para ulama menetapkan masalah ini secara
mutlak dalam setiap masalah ushul dan furu’. Namun demikian didalamnya ada
hukum yang dipahami berdasar pengetahuan dharuri akal, dan ada yang dipahami
berdasar pertimbangan akal. Ada pula yang dipahami tanpa keduanya. Menurut
kalangan syafi’iyah, kewajiban dan keharaman dalam sesuatu tidak dapat
diketahui berdasarkana akal. Ia tidak akan diketahui hukumnya kecuali dengan
syariah sesudah Rasulullah diangkat menjadi Rasul.
Apa yang telah
dipaparkan diatas adalah i’tiqad ahlussunnah waljamaah dan berdasar kesepakatam
imam madzahib al-Arba’ah dan murid-murid mereka. Seorang ulama Hanabilah
mengatakan bahwa hukum pekerjaan sebelum datangnya syariah ada dua pendapat,
yaitu boleh dan haram, berdasar perkataan Imam Ahmaad[24].
Untuk hukum benda-benda
yang dapat dimanfaatkan sebelum datangya syariah ada beberapa pendapat.
1.
Boleh. Ini adalah pendapat
kaum Mu’tazilah Bashra seperti yang dikatakan Al-Ustadz Abu Mansur. Abu Zaid
Al-Dabusi mengatakan bahwa ini adalah pendapat ulama Hanabilah
2.
Haram. Ini pendapat kaum
Mu’tazilah Bagdad[25].
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Yang Jelas Hukum untuk
para mukallaf adalah milik Allah. Mayoritas ulama Ahlussunnah Waljmaah
mengatakan hal ini. Sedangkan pendapat kalangan Mu’tazilah tentang posisi akal
yang seakan mengalahkan firman Allah, adalah pendapat yang tidak sesuai dengan
nash-nash al-Quran dan Hadits, bahkan walaupun mereka lebih mengandalkan
perhitungan akal dalam setiap langkah, tetapi ketika pendapat mereka
dipertanggung jawabkan secara akal, justeru pendapat mereka menjadi lemah dan
mudah untuk dipatahkan. Walaupun demikian keberadaan kaum mu’tazilah menjadi
sebuah kemajuan intelektual bagi ahlussunnah waljamaah, yaitu sebagai tonggak
munculnya ilmu kalam, untuk mempertahankan aqidah dari serangan pemikiran yang
lebih mengutamakan akal.
Meskipun akal bukan
sebagai pemutus hukum, bukan berarti syariah membatasi ruang gerak akal. Sesuai
dengan prinsip hukum yang lebih mengedepankan posisi akal bagi pribadi para
mukallaf, kebanyakan produk hukumnya mensyaratkan fungsi akal bagi objeknya. Dalam
masalah istimbat hukum, akal menjadi salah satu sumber hukum. Sesuai dengan
uraian dalam makalah ini, sumber hukum akal seakan menjadi alternatif kedua
saat ketidak adaan dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits.
Fungsi akal dalam
menentukan hukum adalah sebagai penemu dan pemaham atas suatu masalah yang akan
dicarikan hukumnya, bukan sebagai penentu hukum. Maka apa yang dianggap baik
oleh akal dan diamini oleh syariah, maka baik juga menurut syariah. Syariah
datang sama sekali tidak bertentangan dengan akal. Wallahu A’lam…..
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ghazali, Abu
Hamid Muhammad bin Ahmad, “Al-Mushtashfa”, pada Software Gamee Fiqh ver.1.0,
Kairo: Harf, 1988
Al-Mawardi, Ali
bin Muhammad bin Habib, Adab al-dunya waddin, pada Software Gamee Fiqh ver.1.0,
Kairo: Harf, 1988
Az-Zarkasyi, Badruddin
bin Muhammad Bahadur, Al-Bahrul Muhith, pada Software Gamee Fiqh ver.1.0,
Kairo: Harf, 1988
Rahmat
Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia, 1998
Wizarah awqaf
Wa Syu’un al-Islamiyah al-Kuwaitiyah, Mawsu’ah al-Fiqhiyah, pada
Software Maktabah Syamilah Ver. 3.48,
Ibnu Amir
Hajj, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, al-Taqdir wa al Tahbir, pada
software Gamee’ Fiqh ver.1.0,
Al-Bukhari
Al-Hanafi, Abdul Aziz bin Ahmad Bin Muhammad, Kasyf al-Asrar, pada
software gamee fiqh ver.1.0 Kairo: Harf, 1988
Al-‘Athar, Hasan
bin Muhammad bin Mahmud, Hasyiah al-‘Athar ala al-Jalal, pada Sofware
gamee fiqh ver.1.0 Kairo: Harf, 1988
[1]
Al-Ghazali, “Al-Mushtashfa”, pada Software Gamee Fiqh, Kairo: Harf, 1988, hlm.
5
[2]
Ibid, hlm. 8
[3]
Ibid, hlm. 66
[4]
Al-Mawardi, Adab al-dunya waddin, pada Software Gamee Fiqh, Kairo: Harf, 1988,
hlm. 86
[5]
Az-Zarkasyi, Al-Bahrul Muhith, juz. 1 hlm. 182
[6]
Al-Mawardi, loc.cit, hlm. 16
[7]
Rahmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia, 1998, hlm. 345
[8]
Wizarah awqaf, Mawsu’ah al-Fiqhiyah, juz. 16 hlm. 268
[9]
Al-Mustashfa, 66
[10]
Ibid, 67
[11]
Ibid, 80
[12]
Ibid
[13]
Ibnu Amir Hajj, al-Taqdir wa al Tahbir, pada software Gamee’ Fiqh ver.1.0,
Kairo: Darul Kutub al-‘Ilmiyah , hlm. 89
[14]
Ibid: 89-90
[15]
Al-Bukhari Al-Hanafi, Kasyf al-Asrar pada gamee fiqh, Juz. 4 hlm. 230
[16]
Al-Bahr al-Muhith. Juz1 hlm. 190-191
[17]
Al-Bukhari Al-Hanafi, Kasyf al-Asrar pada gamee fiqh, Juz. 4 hlm. 231-232
[18]
Ibid
[19]
Ibid
[20]
Al-‘Athar, Hasyiah al-‘Athar, 1/82-84
[21]
Al-Bahr Muhith, 1/191-192
[22]
Ibid, 195
[23]
Ibid, 1/196
[24]
Ibid, 202
[25]
Ibid, 204